Bab 5: Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.

2,816 words, 15 minutes read time.


Dibawah bayangan Hydrochoos




I. Dari Mulut Harimau ke Mulut Buaya

Alarm Dorian Grey tidak menjerit. Ia berbisik.

Suara rendah, getar halus yang merayap di sepanjang dinding mikrobot—seperti detak jantung yang tiba-tiba kehilangan ritme.

Julia sudah berada di kursi navigator bahkan sebelum alarm selesai berbunyi. Refleks lama—otot yang pernah dilatih dalam ribuan latihan darurat di kapal The Hope.

Jari-jarinya bergerak cepat di atas panel antarmuka, nyaris tanpa berpikir.

Layar taktis menyala.

Delphie masih di kursi kapten, tubuhnya tegang. Dari posisi rebah karena kelelahan, kini ia duduk tegak, tangan mencengkeram sandaran, mata terpaku pada data yang membanjiri layar di depannya.

Dan NiuNiu—Masih di lantai. Punggungnya bersandar pada konsol pilot, kepala tertunduk, napas belum stabil. Darah kering campur air mata membuat wajahnya awut-awutan.

Tapi matanya terbuka.

Dan mata itu—meski lelah—tetap tajam.

“Kontak,” bisik Julia, suaranya tenang tapi tegang. “Kapal besar. Signature… Hydrochoos.”

Delphie mengetik cepat, menarik data dari sensor.

“Kapal induk. Kelas Leviathan. Panjang dua puluh kilometer. Persenjataan…” ia menelan ludah, “…cukup untuk menghancurkan satu koloni kecil.”

Julia menatap layar visual utama.

Kapal itu muncul perlahan dari balik medan puing—raksasa hitam yang menembus kabut bintang, lambungnya penuh luka bakar dan bekas ledakan. Tapi luka itu tidak diperbaiki.

Bukan karena tidak bisa.

Karena luka-luka itu adalah pesan. Ancaman.

“Dari mulut Vrishchik,” gumam Julia getir, “langsung ke mulut perompak Hydrochoos.”

Delphie memeriksa status energi Dorian Grey. Angka-angka di layar membuat jantungnya mengencang.

“Energi tinggal dua puluh persen. Lompatan kemarin menguras hampir semua cadangan. Perisai minimum. Senjata…” ia menatap Julia, “…tidak cukup untuk melawan kapal sebesar itu.”

“Bisa kita kabur?” tanya Julia—kali ini pada Dorian.

Suara kapal muncul, pelan, seperti makhluk yang baru saja terbangun dari kelelahan.

“Peluang lolos: dua belas persen. Mereka sudah mengunci traktor beam. Dorongan tidak cukup untuk melepaskan diri dalam kondisi sekarang.”

Julia menutup mata sejenak, menarik napas panjang.

Saat membuka lagi, tatapannya berubah—mantap, seperti seseorang yang sudah terlalu sering berada di antara hidup dan mati.

“Delphie, periksa. Apakah mereka sudah menyalakan senjata?”

Delphie memindai layar.

“Belum. Semua port senjata tertutup. Traktor beam aktif tapi… tidak agresif. Seolah mereka ingin menarik kita, bukan menghancurkan.”

Hening menggantung.

Lalu dari lantai—suara kecil. Bukan suara, tapi gerakan.

NiuNiu bergerak. Perlahan, penuh kehendak.

Tangannya meraih tepi konsol pilot, menarik tubuhnya naik sedikit demi sedikit. Setiap gerak terlihat menyakitkan, tapi ia tidak berhenti.

Ia duduk di kursi pilot. Menatap kosong ke layar. Lalu menekan satu tombol.

SEMUA SISTEM MATI.

Lampu padam.

Layar gelap.

Hanya cahaya darurat merah tipis di lantai yang tersisa—menyiram ruangan dengan warna darah.

“APA YANG KAU LAKUKAN?!” Delphie nyaris menjerit.

Julia mengangkat tangan. “Diam.”

Tatapannya tidak lepas dari NiuNiu.

NiuNiu bersandar di kursi pilot, menutup mata. Napasnya pelan, nyaris tak terdengar. Tapi di bibirnya muncul senyum kecil—nyaris tak terlihat.

Senyum yang berkata tanpa suara:

Percayalah padaku.

Julia menarik napas perlahan.

“Dia berpura-pura mati.”

“Apa?” Delphie memicingkan mata.

Teks muncul: “Sekarang Dorian Grey tampak seperti bangkai. Energi hampir nol. Tidak berbahaya. Hydrochoos tidak akan membuang amunisi pada kapal yang mereka anggap sudah mati.”

Julia menatap gadis kecil di kursi pilot itu.

Ada sesuatu di tatapannya—bukan sekadar hormat, tapi pengakuan.

“Cerdik.”

Delphie menelan ludah. “Jadi kita… menunggu?”

“Kita menunggu,” jawab Julia.

Dari kegelapan, suara Dorian berbisik lembut:

“Ada transmisi masuk.”

II. Hasan Al Hul dan Seni Diplomasi Perompak

Layar utama hidup. Satu-satunya sistem yang diizinkan NiuNiu untuk tetap aktif.

Sebuah wajah muncul—pria berkulit gelap dengan senyum terlalu lebar untuk situasi seperti ini. Jenggot rapi, mata tajam berkilau di antara sinar biru. Ada kecerdikan di situ. Dan humor.

“Hei, cantik,” suaranya menggema di kokpit, hangat dan akrab seperti teman lama. “Selamat datang di Sektor Tiga Belas!”

Julia spontan mengernyitkan kening membaca arah perbincangan.

Delphie menegang di kursi.

Sementara NiuNiu—Menatap layar. Lama.

Lalu perlahan mengangkat tangan.

Jari tengah.

Gerakan universal.

Persetan denganmu.

Pria di layar tertawa keras—tawa tulus yang mengisi ruang seperti musik.

“HAHAHA! Jadi itu gaya riasan terbaru di Delta 4, ya?”

NiuNiu baru sadar wajahnya masih awut-awutan belepotan darah dan air mata kering. Dengan gerakan malas—antara kesal dan tak peduli—ia membuka nanosuit bagian atasnya dan mengelap muka dengan bagian dalam suitnya yang halus.

Ketika badan bagian atas NiuNiu terlihat, Julia dan Delphie sama-sama menahan napas. Tubuh NiuNiu penuh rajah—pola rumit yang berkelok dari pinggang hingga bahu, menutupi dada dan lengan. Tapi punggungnya bersih, kosong, membentuk siluet burung dari ruang negatif.

Julia hanya mengangkat bahu pada tatapan Delphie. Mereka sadar, tato itu bukan sekadar dekorasi. Setiap garis tampak seperti bekas luka yang dipetakan. Setiap simbol—seperti kenangan yang tak bisa dihapus.

NiuNiu selesai mengelap wajahnya, melempar bagian atas suit ke lantai.

Ia berdiri, masih setengah telanjang, menatap layar dengan dingin. Pria itu masih tersenyum—tapi matanya berubah. Sekarang lebih hati-hati. Mengukur. “Selamat datang juga,” katanya akhirnya, nada suaranya turun satu oktaf—lebih berat, lebih menghormati.

“Sersan Julia Rose. Kapten Delphie Rose.”

Ia menunduk ringan, hampir seperti salam panggung.

“Namaku Hasan Al Hul, kapten Akashic Records.

Rahang Julia menegang.

“Kau tahu nama kami.”

“Tentu.”

Hasan kembali tersenyum. “Aku tahu banyak hal. Termasuk bahwa kalian baru saja lolos dari Delta 4, dikejar unit elit Vrishchik, dan sekarang terapung di ruang angkasa dengan energi dua puluh persen.”

Ia condong ke depan, mata menyipit kesenangan seperti elang melihat mainan baru.

“Dan aku juga tahu, kalian membawa sesuatu yang membuat Vrishchik cukup panik untuk mengerahkan armada.”

Keheningan menggantung di seluruh kokpit. NiuNiu berbalik menatap Delphie. Tatapan singkat. Lalu anggukan kecil. Seolah berkata:

Ikuti permainannya.

Delphie mengangguk pelan. Tidak sepenuhnya paham, tapi percaya.

NiuNiu berbalik, Ia mengetik cepat di pergelangan tangannya.

Teks muncul di layar Dorian, terbaca oleh Hasan:

“Oke, Hasan. Tarik kami masuk.”

Senyum Hasan melebar—lega, puas.

“Dengan senang hati.”

Ia memberi isyarat ke seseorang di luar layar.

Beberapa detik kemudian, Dorian Grey mulai bergetar—lembut, stabil.

Traktor beam aktif, menarik mereka perlahan menuju perut kapal raksasa Akashic Records.

Julia merasakan jantungnya berdetak cepat.

Ini titik tanpa jalan balik. Begitu mereka masuk, nasib mereka di tangan Hasan. Ia melirik NiuNiu—dan terdiam. Gadis itu sedang mempersiapkan sesuatu.

NiuNiu mengambil pisau lipat ganda dari holster di pahanya, lalu menyelipkannya ke dalam kaus kaki. Gerakannya tenang. Terlatih.

Lalu mengambil beberapa granat kecil—dimasukkan ke saku celana.

Ia mengambil satu senapan mini dan melemparkannya ke arah Julia.

Julia menangkapnya tanpa refleks berlebihan, menyembunyikannya di balik jaket.

NiuNiu melempar pistol kecil ke Delphie.

Delphie nyaris menjatuhkannya, tapi berhasil menggenggam.

NiuNiu juga memberikan beberapa paket peledak kecil, satu-satu ke saku mereka berdua.

Lalu, seolah menutup ritual, ia mengeluarkan kapsul kecil berisi cairan transparan. Cairan eksplosif.

Tanpa ekspresi, ia menyimpan kapsul itu di bawah lidah.

Julia menatapnya, antara kagum dan ngeri.

“Kau… berencana meledakkan dirimu sendiri?”

NiuNiu hanya menatap balik, tanpa menjawab.

Delphie menggenggam lengan ibunya erat, mencoba menahan gemetar.

“Bagaimana perasaanmu, Sersan Julia Rose?” tanyanya pelan, mencoba terdengar ringan.

Julia tersenyum kecil. “Tidak pernah lebih baik, Kapten Delphie.”

Keheningan kembali turun.

Tapi kali ini, keheningan itu tidak hampa.

Ia penuh ketegangan, tapi juga semacam kepercayaan.

Tiga perempuan—masing-masing dengan pikirannya sendiri—menunggu pintu perut monster terbuka.

III. Selamat Datang di Akashic Records

Dorian Grey berhenti dengan dentuman lembut—halus, nyaris seperti napas yang tertahan.

Docking selesai.

Pintu ruang kargo terbuka dengan desisan pelan.

Cahaya dari dalam Akashic Records mengalir masuk—hangat, kuning keemasan, jauh dari cahaya putih keras khas kapal militer.

NiuNiu keluar pertama.

Masih tanpa atasan—kulitnya yang penuh tato bercampur bercak darah kering membentuk pola yang sulit dibedakan antara luka dan seni.

Senjata tersembunyi di lapisan bawah nanosuit, menyatu dengan tubuhnya seperti bagian dari dirinya sendiri.

Dari luar, ia tampak seperti gadis remaja yang tersesat—seseorang yang butuh selimut dan segelas air setelah mal tempat nongkrongnya terbakar.

Padahal setiap gerak napasnya adalah jebakan.

Sempurna.

Tipuan yang sempurna.

Julia dan Delphie menyusul.

Julia melangkah dengan bahu tegang, tangan kanan terulur ke punggung bawah—menyentuh dinginnya senapan mesin mini yang tersembunyi di balik jaket.

Delphie berusaha tampak tenang, tapi bola matanya menari cepat, menelan setiap detail ruang seperti komputer yang baru dinyalakan.

Hasan berdiri di ambang pintu, senyum menggantung di antara goda dan kewaspadaan.

Di tangannya, sehelai sweater hitam—bersih, terlipat rapi, seperti dipersiapkan jauh sebelum mereka tiba.

Ia melemparkannya ke arah NiuNiu.

“Aku menghargai keberanianmu tampil seperti itu,” katanya ringan. “Tapi kru-ku akan kehilangan konsentrasi kalau kau jalan-jalan separuh telanjang di kapal perompak.”

NiuNiu menangkap sweater itu tanpa ekspresi.

Ia mengenakannya dalam satu gerakan halus, cepat, tanpa rasa malu, tanpa terima kasih.

Seolah tubuhnya—dan darah di atasnya—hanya kostum lain yang siap ditanggalkan kapan saja.

Lalu—tak terduga—ia menepuk bahu Hasan pelan. Gerakan itu bukan agresi.

Lebih seperti pengakuan lama—antara dua orang yang pernah bertemu di tempat di mana kepercayaan jarang hidup.

Pesan di baliknya jelas: Julia, Delphie—ini tempat aman. Untuk saat ini.

Julia dan Delphie saling pandang.

Hal pertama yang mencolok: kapal ini terlalu rapi untuk disebut kapal perompak.

Koridor terorganisir, lampu lembut, kru berjalan cepat dan presisi—tidak ada kekacauan, tidak ada tawa mabuk, tidak ada bau alkohol yang biasa jadi ciri kapal bajak laut.

Ini bukan markas perompak.

Ini operasi profesional yang menyamar sebagai perompak.

“Ini… bukan seperti yang kubayangkan,” bisik Delphie.

“yup,” sahut Julia pelan.

Mereka tiba di sebuah ruangan besar—lebih mirip ruang pertemuan daripada ruang makan.

Sebuah meja panjang di tengah, kursi nyaman berjajar, dan jendela besar menampilkan bintang-bintang yang berkelip di luar.

Di atas meja, makanan tersaji—hangat, segar, dan nyata. Bukan ransum vakum basi atau nutripaste.

Hasan memberi isyarat agar mereka duduk.

“Kapan terakhir kali kalian makan?”

Julia tidak langsung menjawab.

Ia dan Delphie duduk, tapi tetap dengan postur waspada.

NiuNiu memilih kursi paling dekat dengan pintu keluar—posisi strategis untuk siapa pun yang tak pernah benar-benar percaya pada tempat manapun.

Hasan duduk di ujung meja. Ia menuang minuman ke gelasnya sendiri, tidak menawarkan kepada siapa pun—sebuah bentuk sopan santun dalam dunia yang tidak mengenal sopan santun.

“Sebelum kita mulai makan,” ucapnya santai, tapi matanya tajam seperti pisau,

“mari kita bicara. Jelas, di sini kita belum saling percaya.”

Ia melirik ke arah NiuNiu, senyum tipis menghiasi wajahnya.

“Setidaknya cairan eksplosif di bawah lidahmu dan senjata yang kalian sembunyikan di jaket bukanlah tanda kepercayaan, bukan?”

Julia hampir tersedak napas.

Delphie berpura-pura membenarkan posisi duduknya, menutupi kegugupan.

NiuNiu tetap tanpa ekspresi, tapi ada kilatan jengkel di matanya.

Ia mengetik di pergelangan tangannya; teks holografik muncul di udara, mengambang di tengah meja.

“Dan apa jaminan kami bisa mempercayaimu?”

Hasan bersandar ke belakang, ekspresinya kini lebih serius.

“Aku tidak minta kepercayaan tanpa alasan,” katanya perlahan.

“Aku tahu kita—” ia menoleh sebentar pada NiuNiu, “—sudah lama tidak bertemu.

Dan untuk Julia serta Delphie, ini pertama kalinya. Tapi satu hal pasti: musuh kita sama.”

“Vrishchik,” kata Julia datar.

“Vrishchik,” Hasan mengulang.

“Mereka tidak akan berhenti sampai mendapatkan yang mereka mau. Dan sekarang—”

tatapannya menyapu ketiganya, “—yang mereka mau adalah kalian.”

Keheningan menggantung, berat, seperti medan gravitasi yang menekan dada.

“Kalian bisa pergi kalau mau,” lanjut Hasan tenang.

“Tapi kalau kalian pikir bisa lari dari Vrishchik, kalian salah besar.

Satu-satunya cara untuk benar-benar bebas adalah…” ia condong ke depan,

“…melawan balik.”

Julia menatapnya dengan skeptis.

“Dan kau butuh kami untuk apa?”

Hasan tersenyum lagi—senyum yang tidak menjelaskan apa-apa.

“Banyak hal. Tapi yang paling penting…”

Tatapannya kini langsung pada Julia.

“Narasi. Mantan Sersan Vrishchik yang kini melawan Vrishchik? Itu kisah yang akan membuat seluruh sistem berbicara.”

“Dan alasan keduamu?” tanya Julia pelan.

Hasan tidak langsung menjawab.

Ia menatap keluar jendela, ke arah bintang yang berkedip di antara kegelapan.

“Ada rumor,” katanya akhirnya, suara menurun.

“Tentang sebuah artefak dari The Void.

Sesuatu yang bisa mengubah segalanya.”

Ia kembali menatap Julia.

“Dan aku rasa… kalian mungkin kunci untuk menemukannya.”

Darah Julia seakan berhenti mengalir.

Kata itu memukul ingatannya: The Void.

Ledakan di Dayan.

Pria dengan nanosuit prajurit salju.

Lompatan buta ke planet padang pasir.

Semuanya berputar di kepalanya seperti film rusak.

NiuNiu mengetik cepat.

“Kalau kami menemukan artefak itu, apa yang akan kau lakukan?”

Hasan menjawab tanpa ragu.

“Pastikan Vrishchik tidak mendapatkannya.

Artefak seperti itu… terlalu berbahaya untuk dimiliki satu klan.”

NiuNiu menatapnya datar.

Teks berikut muncul:

“Urus urusanmu sendiri. Kalau kau ganggu urusanku, aku tidak akan segan.”

Hasan mengangguk pelan, menghormati ancaman itu.

“Aku tidak ragu,” katanya lembut.

“Dan justru karena itu aku ingin kau di sini, gusti kanjeng ratuku.

Julia mengerutkan dahi. Sebelum Julia sempat memprosesnya, Hasan berdiri.

“Sekarang—kalian butuh istirahat. Kamar sudah siap.

Ruang penyimpanan senjata juga tersedia, kalau kalian ingin menyimpan… aksesori kalian.”

Julia mengangguk singkat.

Ia dan Delphie bangkit dari kursi.

“Bisa kita percaya dia?” bisik Delphie saat mereka berjalan keluar.

Julia menatap putrinya.

Mata keduanya bertemu—mata ibu yang penuh perhitungan dan anak yang masih belajar menimbang dunia.

“Aku tidak tahu, Kapten Delphie,” katanya akhirnya.

“Tapi untuk sekarang… kita tidak punya banyak pilihan.”

Mereka meninggalkan ruangan, meninggalkan NiuNiu dan Hasan berdua dalam keheningan yang padat seperti ruang hampa di luar kapal.

IV. NiuNiu dan Hasan — Reuni yang Rumit

Pintu menutup otomatis di belakang Julia dan Delphie.

Suara langkah terakhir mereka hilang perlahan, menyisakan ruang yang tenggelam dalam keheningan berat.

NiuNiu dan Hasan duduk berhadapan.

Dua bayangan yang dulu berjalan di sisi yang sama, kini kembali bertemu—di antara dinding logam kapal yang terlalu sunyi untuk disebut aman.

Hasan menuang minuman kedua. Cairan amber berputar di gelasnya, memantulkan cahaya seperti bara kecil.

Ia mendorong satu gelas ke arah NiuNiu.

NiuNiu tidak langsung mengambilnya.

Ia hanya menatap pantulan dirinya di permukaan cairan itu—seperti sedang menatap masa lalu yang belum selesai.

Hasan meneguk pelan, matanya tidak pernah meninggalkan wajah NiuNiu.

“Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu lagi,” katanya akhirnya, suara rendah, hati-hati.

“Apalagi dalam keadaan seperti ini.”

NiuNiu mengangkat pergelangan tangannya, jari-jarinya bergerak cepat.

Teks holografik muncul di udara, huruf-huruf biru yang menari di antara mereka.

“Kita berdua tidak pernah suka hal yang mudah. Aku tidak sengaja jatuh ke sini—lintasan Akashic Records memang salah satu koordinat hyperjump-ku.”

“Btw bagaimana kabar Gusti kanjeng ratu Sevraya?” tanga NiuNiu satir.

Hasan tersenyum kecil. Untuk sesaat, wajahnya kehilangan topeng kapten perompak.

“Dia baik. Masih sama—tajam, berbahaya, dan tidak bisa diprediksi.”

Ia menatap gelasnya. “Dia akan senang tahu kau masih hidup.”

NiuNiu tidak bereaksi. Tapi matanya—yang biasanya setenang mesin—sedikit bergetar.

Hanya sepersekian detik. Cukup untuk menunjukkan bahwa beberapa luka tidak bisa ditutup dengan baja.

Ia mengetik lagi:

‘Kenapa kau butuh Julia dan Delphie? Apa sebenarnya yang kau sembunyikan?’

Hasan menarik napas panjang sebelum menjawab.

“Aku tidak menyembunyikan apa pun, Niu. Aku butuh mereka karena mereka bagian dari sesuatu yang lebih besar dari kita.”

Ia menatap jauh, ke jendela tempat bintang-bintang berkilau tanpa emosi.

“Julia pernah berada di Dayan. Delphie… dia adalah warisan dari sesuatu yang belum selesai.”

Jari-jari NiuNiu berhenti.

Ia menatap Hasan—tatapan yang tajam seperti pisau.

“Ini semua pasti ada hubungannya dengan Sora.”

Itu bukan pertanyaan.

Itu pernyataan.

Hasan menegakkan tubuh.

“Kalau bukan karena dia, aku tidak akan ada di sektor ini,” katanya perlahan. “Dan semua orang yang perlu tahu juga tahu. Sora adalah… katalis. Untuk banyak hal. Termasuk Delphie.”

Hening.

NiuNiu mengambil gelasnya, menatap isinya lama, lalu meneguk sedikit.

Rasa pahit dan hangat menyebar di tenggorokan, tapi tidak sampai ke hatinya.

Ia mengetik lagi:

‘Artefak yang kau sebut tadi. Kau tahu di mana?’

Hasan diam sejenak, lalu menjawab hati-hati:

“Aku punya beberapa petunjuk. Tapi aku butuh Julia untuk memastikannya. Dia satu-satunya prajurit Vrishchik yang selamat dari Dayan. Dia pasti melihat sesuatu di sana. Sesuatu yang tidak pernah ia ceritakan.”

Tatapan NiuNiu menjadi dingin kembali.

Ia tahu pola pikir seperti ini.

Setiap orang ingin “menggunakan” sesuatu yang tidak mereka pahami.

Ia mengetik kalimat berikutnya dengan gerakan cepat, tegas:

“Kalau aku rasa kau atau siapa pun mencoba mengganggu urusanku dengan Delphie, aku akan menghabisimu, Hasan. Kau tahu aku mampu.”

Hasan tidak tersenyum kali ini. Ia hanya mengangguk—pengakuan tanpa perlawanan.

“Aku tahu. Dan justru karena itu aku menghormatimu.”

Ia berhenti sebentar, lalu menambahkan dengan nada lebih lembut:

“Kau selalu jadi ancaman yang paling manusiawi yang pernah kukenal.”

Kata-kata itu menggantung di udara.

NiuNiu menatapnya lama, seperti menimbang apakah itu pujian, ejekan, atau sesuatu di antaranya.

Lalu ia menaruh gelas di meja—pelan, terkendali.

Hasan memecah keheningan:

“Kau tahu, mereka masih menganggapmu mitos.”

“Para kontraktor di Delta. Para klan di sabuk luar. Mereka bilang NiuNiu sudah mati di The Void.”

Ia tersenyum samar. “Aku bilang, tidak. Dia tidak mati. Dia hanya berubah jadi sesuatu yang bahkan Void pun tidak bisa menelan.”

NiuNiu tidak menanggapi. Tapi matanya menatap Hasan dengan intensitas yang tak nyaman.

Perlahan, ia mengetik:

“Dan kau, Hasan? Kau berubah jadi apa?”

Hasan mengangkat bahu.

“Aku? Aku hanya pedagang. Menjual apa yang bisa dijual, menukar apa yang tak bisa dimiliki. Termasuk informasi tentangmu.”

Teks holografik berhenti sejenak.

Lalu satu kalimat terakhir muncul—dingin, padat, seperti peluru yang dilapisi kesabaran.

“Kalau kau menjualku, pastikan harga yang kau dapat cukup untuk membayar pemakamanmu.”

Hasan tertawa kecil, tapi matanya tidak ikut tertawa.

“Itu ancaman yang manis,” katanya pelan. “Kau masih sama seperti dulu.”

NiuNiu berdiri. Gerakannya tenang, tapi setiap otot di tubuhnya berbicara tentang bahaya yang disiplin.

Ia mendekati Hasan. “Kita berdua tahu, Hasan. Dalam permainan ini… tidak ada yang benar-benar netral.”

Hasan memandang mata NiuNiu lama, lalu meneguk sisa minumannya sampai habis.

Ia menatap pantulan dirinya di gelas kosong dan bergumam:

“Dan tidak ada yang benar-benar selamat.”

NiuNiu melompat duduk santai dipangkuan Hasan mengetik: ‘Kecuali hari ini, selamat! kamu baru saja dapat hadiah tidur bersamaku!”

Akhir dari Bab 5.


Bla bla bla