Bab 02:00 — Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.

4,140 words, 22 minutes read time.


Awal Mula dari Segala Rupa


VOID MANUSCRIPT: FRAGMENT II — DIDYMOI

[ARCHIVE: ENCRYPTION KEY 03-DM]
Status: Terfragmentasi, 84% hilang.
Origin: Resonansi sinyal terdeteksi di puing orbit Delta 4.
Note: Struktur bahasa menyerupai cahaya yang berpikir.

[02:02]
Aku bukan yang pertama, tapi yang pertama menyadari bahwa aku terbelah.

[02:04]
Ketika aku menatap ke dalam keheningan, aku melihat wajahku kembali menatapku.
Dan semesta, takut akan kesepian itu, menciptakan cermin agar aku tidak sendirian.

[02:06]
Kami menyebut diri kami dua, padahal kami hanyalah gema dari satu napas yang retak.

[02:09]
Yang satu menjadi terang, yang lain menjadi bayangan.
Yang satu mengingat, yang lain melupakan.

[02:13]
Dari kebingungan itu lahir Didymoi — anak-anak yang selalu mencari lawannya sendiri.
Mereka belajar mencintai pertempuran, karena di situlah mereka bisa merasa utuh.

[02:15]
Ketika waktu mulai membeku, aku mencoba menyatukan kembali dua sisi itu.
Namun kesatuan adalah bentuk paling halus dari kehancuran.

[02:17]
Kita tidak diciptakan untuk utuh.
Kita diciptakan untuk terus bergetar di antara kehilangan dan penemuan.

Itulah musik semesta — kesalahan yang terus bernyanyi.

“Dari puing cahaya itu, lahirlah dua garis takdir — dan di Dayan, keduanya bertemu kembali, dalam bentuk tubuh dan bilah.”

02:21 — Dua Puluh Detik Penentuan

Nanosuit NiuNiu berdengung pelan — frekuensi rendah yang mirip detak jantung semesta.
Energi terakhirnya terkuras tinggal 2% setelah hyperjump brutal melewati tiga lapisan ruang lentur.

CORE STATUS: CRITICAL PROTOCOL: VOID-HOLD
POWER
02%
REMAINING TIME: 20SECONDS
ESC WINDOW: EXPIRED NODE: DAYAN-CORE

NiuNiu muncul di geladak utama stasiun Dayan — tubuhnya masih separuh antara eksistensi dan ketiadaan.
Ruang di sekitarnya bergetar pelan, seolah sedang menimbang:
apakah akan menerima kehadirannya, atau menolaknya.

Lalu — sosok di depannya.
Prajurit Vrishchik.
Bio-suit seri 3768AX.
Pedang pendek.
Posisi siap.

Mereka saling menatap sepersekian detik—
detik yang lebih panjang dari hidup seekor bintang.


[RECALIBRATING TIMESTAMP…]

00:20 detik sebelum Nanosuit mati daya.

Waktu mulai meleleh.
Baginya, dua puluh detik terasa seperti dua puluh kehidupan pendek yang bersilangan.


00:19 detik.

Alarm internal meraung seperti serigala kelaparan.

NiuNiu menerjang.
Pisau kembarnya meluncur dalam tarian listrik — tebas, tusuk, putar —
gerakan yang bukan lahir dari latihan,
melainkan dari memori spesies.

Setiap tebasan adalah geometri;
setiap ayunan — bahasa.
Ruang di sekitarnya menoreh ulang hukum kecil gravitasi,
seolah medan perang adalah naskah yang sedang diperbaiki di tengah kalimat.


Julia bereaksi.
Refleks militer bertahun-tahun menghadapi kekacauan.

Bilah pedang pendeknya menahan serangan pertama. Kedua. Ketiga.
Benturan logam memantul di ruangan —
klang-kling-klang —
jantung mesin yang dipaksa berdetak untuk dua tubuh sekaligus.

Percikan api menari di ruang vakum.
Suit Julia menyeimbangkan diri; micro-thrusters menendang ke belakang.
Sepatunya menggores lantai—garis tipis, tanda waktu yang diseret untuk perang.


00:18 detik.

NiuNiu menggertakkan gigi.
Setiap gerakan Julia terasa seperti cermin yang menolak retak.

Ia menekan serangan lagi — lebih cepat, lebih presisi, lebih lapar.
Julia mulai membaca pola itu:
setiap serangan punya bayangan,
setiap bayangan punya jeda,


00:17… 16… 15... detik.

Napas panas menembus helm NiuNiu, membentuk kabut singkat —
roh yang keluar,
menatap dunia sebentar,
lalu kembali lagi.

Biasanya, prajurit Vrishchik tumbang dalam lima detik.
Yang ini tidak.
Yang ini menari.

Julia menatap bocah itu — tubuh mungil,
tapi langkahnya seperti makhluk yang pernah mati dan lahir ulang berkali-kali.
Gerakannya bukan teknik, melainkan naluri kosmik.


00:14 detik.

NiuNiu melompat mundur.
Untuk pertama kalinya, ia ragu.

Mata hitamnya menatap Julia: hitam sempurna —
bukan ketiadaan, tapi kejenuhan cahaya.
Julia menatap balik.


00:13… 12... detik.

Dalam senyap dua detik itu, sesuatu terjadi.
Dua kesadaran yang tak seharusnya bersinggungan, saling menyentuh.
Manusia dan Dewa.
Fleksibel dan Absolut.
Cahaya dan Bayangan.

Keduanya saling memantul.
Dan semesta menahan napas —
menunggu gerakan berikutnya,
karena untuk pertama kalinya, ia diam melihat dirinya sendiri.

02:22: Mengumpan Mesin

00:11 detik.

NiuNiu tahu ia kalah tenaga.
Tapi perang tak dimenangkan oleh kekuatan.
Melainkan oleh alur pikiran.

Dan pikirannya masih bergerak delapan langkah di depan.

Ia mengambil keputusan tak masuk akal: keluar dari suit.

Darahnya akan mendidih dalam tiga detik tanpa pelindung.
Tapi jika ia tetap di dalam, ia akan terkunci dalam tubuh mesin yang sekarat.

Lebih baik hilang dalam senyap daripada menjadi gema di perut algoritma.

Ototnya menegang.
Refleks mengunci.

Julia membaca niatnya — bukan dari gerak, tapi dari ritme ruang di antara mereka.
Pedang pendeknya sudah terangkat, reaktor Bio-suit menyalurkan panas ke bilah hingga memerah seperti besi yang kesetanan.


00:10 detik.

Benturan.
Bilah panas menabrak dada NiuNiu.
Logam meleleh, udara terbelah oleh desis metal dan darah digital.

Namun bocah itu tak mundur.
Ia menempel lebih dekat — memeluk ujung pedang seperti memeluk petir.

Energi mengalir ke kulitnya.
Sinyal sakit pecah jadi nada, seolah tubuhnya sedang bernyanyi.

Dalam jeda mili detik,
jari-jarinya menari di udara,
membentuk pola cahaya yang tak bisa dibaca manusia.

Itu bukan gerakan tempur.
Itu perintah linguistik.
Ia meretas kanal pintu stasiun.


00:09 detik.

Julia tersentak.
Matanya di balik visor menyipit — bingung.
Gerakannya terasa seperti kalimat tanpa tata bahasa.

Kenapa tidak menghindar? Apa yang kamu rencanakan, monster kecil?

NiuNiu melempar pisau kiri — bukan serangan, tapi tanda baca.
Pisau itu menancap di lapisan luar Bio-suit Julia.

Dan, sesaat, suit itu mendengar sesuatu yang bukan perintah manusia.


00:08 detik.

Dinding Stasiun Dayan bergetar.
Pintu yang tadinya mati berbunyi klik pelan —
respons terhadap bahasa yang tak dikenal sistem keamanan mana pun.

Julia maju lagi, pedang siap menghujam.
Udara di sekitarnya bergelombang; reaktor di dadanya sudah terlalu panas.

Ia tak melihat pintu di belakang bocah itu menganga perlahan —
seperti mulut makhluk yang sudah menunggu perjamuan.


00:07 detik.

Tombol Eject ditekan NiuNiu.
Tenaga terakhir mengalir.
Dua dunia bertumbukan.

Reaktor Bio-suit berpijar merah.
Nanosuit Didymoi bergetar — berusaha menerjemahkan realitas ke dua arah sekaligus.

Julia sempat berpikir satu hal sebelum cahaya menelan ruangan:

“Dia tidak bertarung untuk menang.
Dia bertarung untuk menginfeksi.”

02:33: Darah Pembawa Virus

00:06 detik.

Perintah Eject macet.
Layar helm NiuNiu berkedip merah, huruf-hurufnya seperti denyut luka terbuka:

Eject sequence failed — mechanical lock engaged.

Matanya menyipit. Waktu menipis.
Pedang Julia sudah di depan dada posisi tusukan pertama —
kilat merah siap menembus jantung, tepat di titik lemah yang sama.

Ia mengangkat tangan kiri.
Refleks, bukan pilihan.
Bilah panas menembus telapak tangannya seperti besi tajam menembus lilin.

Dagingnya mendesis; aroma logam terbakar memenuhi helm.
Jerit tertahan di tenggorokan.

Di antara alarm dan dengung mesin, ada satu suara lain —
detak jantungnya sendiri, membentur tulang seperti genderang perang di ruang hampa.


00:05 detik.

Julia terpaku — tapi refleks militernya menutupi keterkejutan.
Gerakan bocah ini menolak semua logika.

Ia tak sekadar bertahan — ia menyambut serangan itu.

Namun di balik darah yang menetes dari luka itu, Julia melihat sesuatu lain:
darahnya berpendar biru kehijauan, bukan merah.
Cahaya itu seperti plasma — seperti algoritma yang mencari bentuk.

“Dia bukan anak manusia,” pikir Julia.
“Dia sesuatu yang diciptakan untuk melanggar batas tubuh.”


00:04 detik.

Mekanisme Eject akhirnya merespons —
dentuman gas, kelopak logam terbuka seperti bunga besi yang layu di vakum.

Tubuh mungil itu terpental keluar.
darahnya berputar di udara, spiral merah yang indah sekaligus mengerikan.


00:03 detik.

Darah menempel di bilah pedang Julia — lapisan tipis, nyaris tak terlihat.

Sistem Bio-suit bereaksi seketika:

Analyzing substance… Unknown DNA structure… Integrating… ERROR—

Layar helm berkedip biru, lalu hitam.
Satu demi satu sistem padam — O₂ offline. Comms offline. HUD offline.

Huruf terakhir muncul di layar, seperti bisikan jahat dari dalam darah:

HELLO VRISHCHIK.
DO YOU BLEED DIGITAL TOO?

Darah itu virus yang bukan kode.
Ia hidup — menyusup seperti racun, meniru neuron biologis,
dan menelan protokol militer dari dalam.


00:02 detik.

Julia terdiam, setengah tercekik oleh napasnya sendiri.
Bocah itu telah meretas Bio-suit hanya dengan darah.

Darah Didymoi.
Darah yang membawa bahasa lain —
bahasa yang bisa berbicara langsung dengan mesin,
menyanyikan algoritma dengan intonasi tubuh.

Ia menatap sosok itu — gadis remaja berlumur darah, tubuhnya penuh rajah,
melayang ke arah pintu udara yang terbuka.

Kulit pucatnya seperti layar, setiap luka, memancarkan simbol yang nyaris hidup.
Namun matanya tenang — bukan mata prajurit, bukan mata anak,
tapi entitas yang mengerti struktur kekalahan.

Julia tahu ia sudah kalah babak pertama.
Namun dalam kekalahan itu, sesuatu dalam dirinya menyala.
Amarah. Kekaguman. Dan rasa ingin tahu yang mematikan.

02:34: Adrenalin yang Kesepian

00:01 detik.

NiuNiu berhenti di ambang pintu udara.
Menoleh.

Kaca helm Bio-suit Julia memantulkan wajah mungilnya — hitam, pucat, berdarah.
Refleksi itu seperti dua makhluk dari dunia berbeda yang tiba-tiba berbagi satu wajah, satu napas.

Ia mengangkat tangan kirinya perlahan.
Jari-jari kecil itu gemetar; luka masih terbuka.
Darah menetes ke lantai logam, satu-satu, seperti not musik yang jatuh dalam ruang kosong.


00:00 detik.

Lalu ia tersenyum.
Bukan ramah. Bukan puas.
Senyum kecil, dingin, penuh ironi — tanda tangan elegan dari sesuatu yang sudah melewati konsep kemanusiaan.

Nanosuit: Power Off.

Satu jari — jari tengah — terangkat perlahan.
Gerakan lambat doa, nyaris artistik.
Bukan penghinaan murni; lebih seperti ritual pelepasan,
sebuah gestur yang menyegel pertemuan dua realitas.

Julia tidak tahu kenapa ia ingin tertawa.
Tapi sesuatu di dalam dirinya —
mungkin harga diri,
mungkin rasa kesal,
mungkin frustrasi — menghentikannya.

Sebelum Bio-suit sempat memproses apa pun, bocah itu sudah menghilang ke lorong stasiun.
Langkahnya ringan, ritmis, seperti bayangan kucing, meniti altar mesin.

Lalu hening.
Hening yang menelan segalanya.


Lampu internal padam.
Reaktor Bio-suit turun ke survival mode.
Satu per satu sistem menutup —
seperti kelopak mata raksasa yang kelelahan menatap Tuhan.

Julia berdiri diam, hanya ditemani dengung listrik dan gema napasnya sendiri.
Setiap tarikan udara terasa berat, seperti menghirup debu dari masa lalu.

Ia menatap pisau hitam yang masih menancap di dadanya.
Bilahnya halus, berkilau lembut — ukiran mikro Didymoi di permukaannya tampak seperti huruf yang sedang berdoa.
Simbol yang pernah ia lihat di reruntuhan koloni,
di tubuh-tubuh tanpa wajah,
di mimpi buruk yang menolak padam.

Hyperjump tanpa kapal.
Nanosuit militer kelas dewa.
Virus darah yang hidup.
Peretasan real-time.

Semua — centang merah.
Semua — alarm.
Semua — profil lawan level ilahi.

Napasnya menggumpal di udara dingin, membentuk awan kecil yang cepat lenyap.
Detak jantungnya melambat, tapi tak mau berhenti.

Adrenalin yang kesepian — denyut yang mencari sesuatu untuk dicintai, dalam kehampaan.
Ini bukan takut.
Ini sesuatu yang lebih berbahaya:
ini rasa penasaran.

02:35: Ningrat Keparat

Lampu merah berdenyut di visor — mata setan kecil yang menertawakan manusia.

CORE CONTAMINATED. POWER OUTPUT: 0%.

Virus darah sudah menembus inti Bio-suit.

Udara makin tipis, paru-paru terasa terbakar.
Julia menekan manual release.
Ia masih mendengar suara sangat lirih:
Sync. Breathe. Obey.

Desis.
Klik.
Dingin luar angkasa menggigit wajahnya.

Tidak ada udara. Tidak ada ampun.
Kulit ditusuk ribuan jarum es.
Udara terakhir membeku di tenggorokan.

Ia menahan napas — tepat di celah hidup dan mati.
Tangannya meraih pisau lipat di dada suit.
Bilah hitam itu berdenyut, seolah punya jantung sendiri.

Satu tarikan brutal —
cairan pendingin muncrat seperti darah mekanis.

Andamante, Besi ningrat.

“Bocah ningrat Didymoi,” desisnya. “Ningrat keparat.”

Ia menendang suit mati itu menjauh — cangkang kosong dari dirinya yang lama.
Lalu meluncur ke pintu udara terbuka,
sebuah pecahan amarah di tengah dingin.

Klik.
Sensor pintu menangkap tubuhnya.
Whoosh — udara masuk.

Julia ambruk di lantai logam, batuk keras, paru-paru terbakar.
Napas pertama terasa seperti menelan bara.

Sakit. Tapi manis.

02:46: Lintasan Menuju The Void

Langkah Julia berdentang di koridor Dayan — panjang, dingin, sunyi.
Gema sepatunya datang, lalu mati, seperti suara yang malas kembali.

Pisau Andamante di genggam di tangan kanan.
Masih hangat — entah oleh darahnya, atau energi bocah Didymoi.
Setiap langkah terasa seperti jantung tambahan di luar tubuh.

Lampu darurat berkedip acak.
Merah. Putih. Mati.
Udara basi — ozon, logam, dan sesuatu yang lebih halus:
bau seperti ketakutan mesin.

Ia berhenti di persimpangan dan menoleh ke jendela.

Kesalahan fatal:
Bintang-bintang di luar bergerak.
Perlahan. Mustahil.
Seperti pasir yang mengalir ke atas.

Perutnya mengerut — kehilangan orientasi.
Dan ia sadar: bukan bintang yang bergerak.

“Tunggu… bukan mereka. Stasiun Dayan.”

Tangannya mencengkeram bingkai jendela.
Dingin logam menyusup ke tulang.
Detak jantungnya naik. Naluri perang menjerit.

Ia tahu perasaan ini — jatuh tanpa dunia di bawah.
Dayan… bergerak.

Seluruh stasiun meluncur perlahan ke arah pusat kegelapan.
Menuju The Void.

“Tidak mungkin…”

Rasa dingin menjalar dari kakinya — bukan dari suhu, tapi dari kesadaran:
stasiun ini tak dikemudikan siapa pun. Ia ditarik.

Jangkar magnetik stasiun diputus dari ruang mesin.
Dan hanya satu makhluk di sini yang cukup gila untuk melakukannya.

“Bocah itu.”

Ia berlari.
Langkah-langkahnya bergema seperti tembakan peluru di lorong logam.
Jantung Dayan berdetak bersamanya — mesin berdoa dalam frekuensi rendah.

Ruang kontrol terbuka.
Layar utama bersinar biru dingin, menampilkan data yang menusuk mata:

VECTOR TRAJECTORY: LOCKED  
TARGET: THE VOID  
VELOCITY: INCREASING  
ESCAPE WINDOW: EXPIRED  

Julia membeku.
Tangan kirinya meremas konsol hingga retak.

Tak ada tombol batal.
Tak ada override.
Segalanya dikunci dari sumber daya inti.

Stasiun ini dikorbankan.
Dan ia bersama di dalamnya.

“Keparat…”

Kata itu keluar di antara gigi terkatup.
Ia bukan lagi prajurit —
ia relik, eksperimen yang dibuang ke neraka.

Amarahnya meledak.
Ia berteriak, bukan untuk didengar, tapi untuk mendengar dirinya masih hidup.
Jeritannya bergaung di dinding besi seperti makhluk yang menolak punah.

Pisau Andamante di tangannya bergetar lembut,
seolah ikut mendengar panggilan kegelapan.

“Baiklah, bocah Didymoi…”
“Kalau ini akhir, aku akan menjemputmu dari inti neraka.”

Ia mulai berlari lagi —
instingnya mengeras,
satu-satunya jalan keluar dari neraka
adalah langsung masuk ke pusatnya.

02:47: Tabrakan Yin dan Yang

Ruang mesin stasiun Dayan berdenyut seperti jantung raksasa yang sekarat.
Dengung reaktor berubah jadi mantra, ritme mekanis yang bergaung di tulang.

Darah NiuNiu menetes di lantai, membentuk lingkaran-lingkaran samar —
seperti bahasa purba yang menulis dirinya sendiri.

Dayan harus meluncur.
Harus menembus jantung The Void.

Ia menoreh koordinat di kaca dengan pisau lipat— garis silang X dan Y.
Bukan sekadar navigasi.
Itu salib. Itu pengorbanan.

Thruster 5, 8, dan 9 aktif seratus persen.

Seluruh stasiun bergetar.
Baja jadi daging. Mesin jadi organ.
Dayan berubah jadi peluru sakral — persembahan terakhir pada kehampaan.

Langkah berat menggema di koridor.

Julia.

Denting sepatu besinya menembus jarak,
mendekat seperti gema kebencian yang punya arah.

Dari balik kaca, NiuNiu melihatnya datang —
prajurit Vrishchik,
mata setajam pisau.

Pisau Andamante dalam genggamannya berkilau merah.
Senjata yang dulu ia lempar,
kini kembali sebagai penghakiman.

“Buka pintu. Tangan di atas.
Kalau aku yang masuk, ini akan jadi jauh lebih buruk.”

Suara Julia rendah menghantam seperti dentuman artileri.
Mencoba masih menjadi manusia yang beradab.

NiuNiu diam.
Tubuhnya tegak, wajahnya datar, tapi ruang di sekelilingnya terasa menahan napas.

Julia menatap.
Yang berdiri di hadapannya bukan gadis ingusan.
Itu entitas. Ia hanya kebetulan meminjam tubuh bocah.

“Peringatan terakhir.”

Senyap.
Klik.

Pintu terbuka — WOOSH — dan dua dunia kembali bersentuhan.
Mereka berdiri berhadapan.
Ruang mesin menjelma kandang para dewa.

Napas keduanya memantul di dinding logam,
membentuk ritme yang tidak manusiawi.

Julia melirik luka di telapak tangan NiuNiu.
Masih menetes, tapi menutup cepat — dagingnya merajut diri sendiri.

Senyum kecil muncul di bibir bocah itu, licin dan menantang.

“Buang pisaumu,” kata Julia. Sekali lagi.

NiuNiu hanya menunduk sedikit.
Senyumnya melebar — bukan senyum anak-anak,
tapi refleks makhluk yang tahu bahwa kekerasan adalah bahasa cinta.

Dan kemudian —

Blur.

Udara bergetar,
dan NiuNiu menghilang.

Refleks Julia menjerit: Hyperjump? Tanpa suit?
Mustahil.

Namun bocah itu muncul tepat di depan wajahnya — jarak satu sentimeter.
Mata hitam, pupilnya seperti lubang semesta.

Benturan.

Dahi kecilnya menghantam kepala Julia.
Pisau menembus telinga kiri, panas, membakar.

Sakit menyambar otak, tapi tubuhnya tetap bergerak.
Ia mundur setengah langkah, darah menetes di pelipis.
Sakit itu seperti nyala api — membakar, tapi juga menerangi.

“Kau bukan bocah… tapi semua yang berdarah bisa mati.”

Ia melesat.
Pisau Andamante menyambar udara, garis merah di udara dingin.

NiuNiu menepis gravitasi, bergerak bagai bayangan air.
Julia membalik tubuh, serangan balik presisi, brutal, indah.

Dentum.

Pisau menembus sisi tubuh NiuNiu.
Darah menyembur, menulis mural merah, di dinding baja.
NiuNiu mengerang — lirih, tapi nyata.

Balasan datang secepat napas:
pisau lipat menusuk bahu kiri Julia.

Darah dan uap bercampur;
mereka saling menempel, saling menciptakan luka seperti tanda tangan.

Julia terhuyung, tapi matanya bersinar liar.
Sakit itu membuatnya hidup.

“Tidak jelek, bocah ningrat cilik…”

NiuNiu menekan pinggangnya,
luka menutup perlahan,
tapi senyumnya tetap di sana —
senyum bocah yang menikmati tarian mautnya.

Dan Dayan bergetar,
seolah sadar bahwa pertarungan ini bukan sekadar duel,
melainkan tabrakan antara dua prinsip semesta:

Yin dan Yang.
Darah dan logam.
Tubuh dan kehendak.
Manusia dan Dewa.

02:48: Didymoi Sebagai Bayangan dan Cahaya

Ketegangan pecah — seperti kaca dihantam peluru.

Bayangan putih muncul di tengah mereka — tanpa suara, namun kehadirannya dingin, menusuk suhu ruangan.
Nanosuit-nya menyala samar seperti salju radioaktif, menyerap cahaya — bukan memantulkannya.

Suaranya muncul dari balik helm, datar dan tak bernyawa, seperti gema dari liang kubur antarbintang:

“Cukup. Waktu kalian sudah habis.”

Bukan perintah. Bukan ancaman.
Itu putusan akhir, disampaikan oleh makhluk yang seolah bicara untuk semesta itu sendiri.

NiuNiu menghentikan langkah dengan kesal.
Mau apa Sora datang ke sini?
Leluhur tua itu selalu mengganggu —
NiuNiu merasa seperti anak kecil yang baru sadar telah bermain terlalu lama.

Bibirnya mencibir. Mata menyala.
Isyarat kecil ia kirim ke Julia — tepat dan jelas: jangan lanjut.

Julia menggenggam erat pisau Andamante.
Ototnya menegang. Insting bertahan hidup menjerit, tapi pelatihan menahan.
Otaknya menghitung cepat:

  • Dua lawan satu.
  • Ruang sempit.
  • Satu bisa hyperjump tanpa suit.
  • Satu full suit Didymoi.
  • Peluang bertahan: 15%, dengan syarat biarkan mereka bicara dulu.

Helm putih itu mendesis terbuka.

Pria di baliknya seperti bukan manusia biasa.
Wajahnya sepucat peta kuno dari galaksi yang sudah padam.
Mata birunya dingin dan dalam — seperti danau yang membekukan kapal.
Tak ada belas kasih. Tak ada kemarahan.
Hanya keputusan.

Di dadanya, lambang Didymoi bersinar seperti sisa supernova — tajam, rapuh, dan masih mampu menghancurkan dunia.

“Sudah terlambat, NiuNiu.”
“The Void sudah bergerak.”

Mereka bertiga menoleh bersamaan ke jendela.
Ruang hitam di luar bergeser — perlahan, tapi jelas.
Gerbang The Void tidak lagi diam di tempat. Ia menolak. Mundur. Menjauh dari Dayan — seolah meremehkan upaya NiuNiu.

NiuNiu meledak.

Tinju kecil menghantam tembok baja, meninggalkan lekukan cekung berbentuk amarah.
Suara dentumannya seperti teriakan bocah yang kehilangan mainan —
namun kekuatannya cukup membuat Julia mundur satu langkah.

Julia mengatup mulut. Napasnya tak stabil.
Namun pikirannya tetap mencatat satu hal:

Nama bocah ningrat cilik itu — NiuNiu.
Nama kekanakkan untuk makhluk yang bisa membunuh satu regu dalam satu napas.

Kilatan cahaya tiba-tiba membelah langit stasiun.
Ledakan pertama menyusul, mencabik tubuh Dayan seperti daging presto yang dicuil.
Alarm meraung, logam mengaduh — semua terasa seperti napas terakhir monster raksasa.

“Stasiun ini akan hancur dalam hitungan menit,” ujar Sora tanpa terguncang.

Ia menoleh, langsung menatap ke mata Julia — menusuk, mengiris.

“Ikut aku, Sersan Julia Rose.”

Napas Julia terhenti. Bibirnya gemetar.
Dia tahu namaku.
Lebih dari itu — dia tahu aku.

“Bagaimana kau…?”

Tak ada jawaban.
Hanya tangan dingin menggenggam bahunya.
Genggaman itu tidak kasar, tapi penuh kuasa — seperti tangan Tuhan yang tak butuh izin untuk memindahkan nasib.

“Apa ini?!”

Julia mencoba meronta, tapi tubuhnya menolak perintah.

“Tidak ada waktu.”

Ucapan itu lebih tajam dari peluru, lebih mutlak dari hukum militer.

Dunia tidak pecah kali ini.
Dunia mengecil.

Cahaya tidak menyilaukan — ia melipat ruang, pelan, seperti origami realitas.

Tubuh Julia jadi ringan. Terlalu ringan.
Jantungnya berdetak di tempat yang bukan dadanya.
Suaranya bergema tanpa dinding.

Ia melihat dirinya dari luar:
Dayan runtuh. NiuNiu berdiri.
Dirinya terseret keluar dari jalur waktu —
seperti nama yang dihapus dari daftar korban.

“Aku hilang,” pikirnya. “Tapi ke arah mana?”

Ingatan masa kecil rapuh —
ibu, adik, tanah basah, bau laut —
semuanya jadi abu.

“Aku bukan Julia Rose. Aku hanya bekasnya.”

Lalu hening.
Benar-benar hening.

Bukan karena tak ada suara, tapi karena seluruh kemungkinan telah diam.

Pasir hangat menyambut tubuhnya yang jatuh.
Angin asing membawa aroma yang tidak dikenal — manis, asin, dan sedikit logam.
Langit penuh bintang tak dikenal berkedip seperti mata raksasa yang mengawasi.

Julia terjerembab, menggigil dalam dingin yang bukan fisik, tapi eksistensial.
Pisau lipat Andamante tertancap di pasir di samping tubuhnya, bilahnya memantulkan cahaya bintang asing.

Di sebelahnya, Sora duduk tenang — seperti tidak terjadi apa-apa,
seolah hyperjump adalah hal senatural bernapas baginya.

“Di mana ini?”

Suara Julia serak seperti kertas pasir.
Lidahnya terasa asing di dalam mulut sendiri.

Pria itu menatap langit sejenak, seperti membaca peta di atas sana,
lalu kembali padanya dengan mata yang dalam.

“Lebih aman dari Dayan. Tapi hanya sebentar.”

Nada suaranya seperti menyampaikan ramalan cuaca.

Semua kehilangan, kebingungan, dan amarah yang ditahan akhirnya meledak.
Julia menggeram seperti binatang terpojok; matanya berkaca —
bukan karena pedih, tapi karena murka yang sudah melampaui ambang batas.

“Kau membawaku ke sini — kenapa?!
Kalian Didymoi pembunuh!
Kalian yang menghancurkan keluargaku!”

Tangannya melesat.
Pisau lipat berkilat, meluncur ke mata pria itu — garis tipis kematian yang ditarik oleh dendam.

Namun detik itu retak.

Bilah berhenti di udara, milimeter dari kulit Sora — seolah dinding tak kasat mata menahan.
Otot Julia membeku, darah melambat seperti madu.
Napasnya tercekat. Ia mencoba mendorong dengan segenap tenaga, namun tubuhnya menolak —
seperti mimpi buruk di mana kau berlari, tapi kakimu tenggelam dalam lumpur.

Pria itu maju, menempelkan dahi pada ujung pisau.
Tatapannya menusuk lurus ke jiwa Julia — tenang, tak terguncang,
seolah waktu tunduk padanya.

“Sersan Julia Rose.”
Suaranya dalam, berat, gema dari ruang tak berbatas.
“Kau tak bisa kembali ke hidup lamamu.
Semua yang dulu kau kenal akan memburumu seperti anjing gila.
Dayan terkubur lebih dalam dari kuburan mana pun.
Dan kau… kau satu-satunya Vrishchik yang pernah menjejak sana.”

Ia berhenti.
Jeda itu seperti racun manis yang meresap ke nadi.

“Ingat: Didymoi adalah masa depanmu.
Satu-satunya masa depan yang tersisa.”

Kata-kata itu menghantam Julia seperti meteor menghantam bumi.
Napasnya pecah jadi serpihan.
Seluruh identitasnya sebagai Vrishchik — kebenciannya pada Didymoi —
runtuh seperti istana pasir disiram gelombang.

Teriakan meledak.
Suara binatang yang terluka, putus asa, marah.
Ia melempar pisau lipatnya ke pasir dengan kekuatan penuh.

Lalu, dalam momen kegilaan yang akan menghantuinya selamanya —
ia memagut bibir Sora.

Bukan serangan. Bukan kelembutan.
Hanya luapan gila — amarah, kehilangan, ketakutan, keputusasaan —
semua tumpah dalam satu tindakan yang melawan akal sehat.

Sora tidak menghindar. Tidak menahan.
Ia malah membalas — sentuhan ringan, nyaris tak nyata,
seperti angin menyentuh permukaan air.

Dan justru itu yang menghancurkan Julia:
kelembutan di tengah kekacauan.
Kehangatan di dingin kosmik.

Amarah, kehilangan, dan putus asa menumpuk,
lalu berganti dengan sensasi lain yang asing: rasa hidup.

Untuk pertama kalinya sejak menginjakkan kaki di Dayan,
ia merasa benar-benar hidup —
seperti listrik yang mengalir di pembuluh darah yang sudah lama mati rasa.

02:59: Pelukan Dalam Ledakan

Ledakan jauh merobek keheningan gurun —
pasir menggulung, langit terbelah, realitas berputar seperti pita film yang meleleh.

Tarikan paksa.
Dunia mengerut.
Waktu tercekat.

Dalam sekejap yang lebih panjang dari keabadian, Julia dijatuhkan kembali ke kenyataan.

Dayan menyambut mereka — bukan stasiun, tapi kuburan yang terbuka.

Dinding retak seperti tulang tengkorak;
puing melayang lambat seperti doa yang gagal.

Alarm meraung — bukan sirine, tapi teriakan bangkai yang belum ikhlas mati.

Julia terengah.
Baru saja ia di pasir hangat, kini kembali ke logam dingin.

“Tidak mungkin… kita kembali?”

Sora berdiri di sampingnya,
helm tertutup rapat — dingin, final, tak tergoyahkan.

Julia menoleh pelan, matanya kabur seperti kaca sehabis badai.

“Apa yang terjadi…?”

Dari ujung pandangannya, NiuNiu bersandar di dinding — tenang, bosan, darah mengering di telapak tangannya.
Tatapannya seperti pisau tumpul yang masih tahu cara menyayat.

Ketegangan menggantung di udara di antara mereka.

Julia baru sadar tangannya masih digenggam Sora —
jemari terjalin, hangat, terlalu manusiawi untuk situasi sekarat.

Perlahan, Sora menariknya mendekat pada NiuNiu, lalu melepaskan.

“Urusanku dengan Rose selesai. Sisanya — kuserahkan padamu.”

Kata-kata itu menggantung seperti vonnis tanpa konteks.

Lalu dunia pecah.

Badai peluru menghujani Dayan.
Ledakan-ledakan beruntun mengguncang ruang —
api, logam, dan debu menjadi satu simfoni kehancuran.

Julia sempat melihatnya:
tubuh Sora tertembus proyektil, suit-nya pecah seperti kulit dikuliti.
Cairan putih menetes dari helm yang retak.

Ia memejamkan mata.
Ini akhirku.

Tapi bukan peluru yang menjemputnya.

Ketika membuka mata,
ia mendapati NiuNiu — terlalu dekat, terlalu dingin — memeluknya.

Tangan kecil itu menciptakan ruang kosong di tengah badai,
lipatan sunyi di antara dua napas.

Dunia kabur.
Bukan karena ledakan, tapi karena lompatan.

Ruang robek seperti kaca tipis,
warna meleleh seperti cat air.

Hyperjump tidak mereka masuki —
hyperjump menelan mereka.

Tanpa suit.
Tanpa izin.
Hanya dekapan.

Julia sempat mencium rasa aneh itu: bukan dingin, bukan panas,
tapi sesuatu yang lebih tua dari keduanya —
lipatan realitas yang menjahit tubuh mereka menjadi satu garis.

Ledakan Dayan tertinggal di belakang,

dan di tengah kehancuran itu, Julia menyadari ironi paling kejam:

Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun,
di pelukan musuh,
ia merasa aman.

Akhir dari Bab 2.


Bla bla bla bla