Timer 01:00 — Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.

3,933 words, 21 minutes read time.


Menyusuri Kesendirian


🜄 VOID MANUSCRIPT: FRAGMENT I — VRISHCHIK
[ARCHIVE//BIOGENIC_LOG: VRISHCHIK_PRIME_CORE]
> Status: Self-recorded memory stream
> Language Mode: Liminal (Biological Syntax ↔ Ritual Verse)
> Decoding: Incomplete (54%)
> Output fragment begins:

[01:04]
Aku adalah ujung dari setiap janji.

[01:07]
Ketika daging berhenti tumbuh, aku datang untuk mengingatkannya cara mati yang indah.
Sebelum cahaya ada, kami menyembah rasa sakit sebagai bukti bahwa kami pernah ada.

[01:09]
Aku menyayat waktu agar darahnya menetes ke masa depan.
Dari tetes itu tumbuh ulang tulang, kulit, dan dosa yang lebih kuat dari yang pertama.

[01:12]
Mereka menyebutku pembunuh; aku hanya dokter yang bekerja pada skala kosmos.
Aku memotong bintang mati agar lahir bintang baru dari abunya.

[01:15]
Vrishchik tidak lahir untuk menyelamatkan.
Kami lahir untuk mengingat bahwa segala penyelamatan selalu berujung pembunuhan.

[01:19]
Ketika yang lain mencari keabadian, kami menemukan kenikmatan dalam membusuk.
Sebab di titik itulah, Void berbisik lagi.
“Kau telah mengerti hukum kedua penciptaan: segala yang bernapas adalah utang.”

“Dalam semesta yang sedang remuk, satu detik mengandung ribuan cerita—dan tidak satu pun saling menunggu.”

01:21 — Ditelan Mesin

Bio-suit militer klan Vrishchik 3768AX
menelan Julia.

Bukan dipakai.
Bukan dikenakan.

Ditelan.

Ruang steril—dingin seperti altar aluminium.
Julia Rose, sersan divisi pengintaian, berdiri di tengah ruangan sinkronisasi,
kulitnya berembun logam, tubuh setengah telanjang.

Di depan, bio-suit 3768AX terbuka:
bukan benda, melainkan makhluk yang sedang menunggu host-nya kembali.

Dengung rendah memenuhi udara.
Ritmenya mengikuti napas Julia,
seolah zirah itu sudah mengenali jiwanya
sebelum menyentuh tubuhnya.

Ia melangkah mendekat.
Ruang bergetar halus—reaksi organik, bukan mekanis.

Lapisan logam organik suit itu berdenyut:
tidak sepenuhnya mesin,
tidak sepenuhnya makhluk hidup.
Antara keduanya..

Ia bisa merasakan tatapannya,
meski benda itu tidak punya mata.

Aktivasi sinkronisasi. Subjek: Rose, Julia.”

Suara teknisi dari speaker terdengar datar,
tapi tonenya seperti mantra yang dibacakan oleh AI tua
yang sudah berhenti percaya pada manusia.

Cairan pendingin menetes dari bahu suit.
Kabut tipis naik, mengelilingi kaki Julia.
Ada bau logam, dan sesuatu yang lebih samar—
aroma tubuh prajurit lain yang pernah mati di dalamnya.

Julia mengangkat tangan.
Suit itu menirunya, pelan.

Lalu keduanya bersentuhan.
Suhu merosot. Sensasi kulit menghilang.

Lapisan organo-metal merayap,
mencari celah pori-pori,
masuk seperti air es yang punya kehendak.

Sinkronisasi dimulai.

Julia menghirup napas terakhir sebagai makhluk yang punya batas tubuh.
Sensasi pertama bukan nyeri—
melainkan kehilangan garis pemisah antara dirinya dan ruangan.

Bisikan muncul dari speaker internal:

Sync. Breathe. Obey.

Dunia melambat sepersekian detik.
Ia tak tahu apakah suit mempercepat pikirannya,
atau pikirannya sedang disalin.

Ia mencium aroma besi karat—
dan di baliknya, sebuah napas lain.

Visor menyala:

BIO-SUIT 3768AX | USER: JULIA ROSE SYSTEM CHECK
LOADING…
Initializing Bio-suit systems…

SYSTEM STATUS

PWR85%
O292%
HULL76%
SHIELD45%

BIOMETRICS

HR95 BPM
TEMP36.8°C
STRESSHIGH

ALERTS

Temporal anomaly detected
Void energy residual
Comms interference
SEGMENT 1/3

“Sync 98%. Dalam batas normal.”

Normal

Kata itu terdengar konyol.
 
Tidak ada yang normal
dari membiarkan dirinya ditelan makhluk bertenaga nuklir.
 
Reaktor di dadanya berdetak—
bukan jantung,
tapi sesuatu yang sedang belajar meniru jantung manusia.
 
Di antara statik dan bunyi pendingin,
Julia mendengar bisikan lirih:
doa yang tidak ditujukan pada pencipta mana pun,
hanya kepada mesin yang kini menjadi rumahnya.

01:32 Wajah-wajah Prasasti Vrishchik

Mereka masih di sini.
Bukan di layar. Bukan di data.
Tapi di sirkulasi udara yang sama.

Sinkronisasi kali ini mengembalikan sesuatu yang tidak seharusnya kembali—
pola-pola sinaptik yang biasanya muncul setelah prajurit gugur,
padahal lima anggota timnya masih hidup.

Lima sinyal biometrik samar muncul di pinggir antarmuka:

Identifikasi: Lee, Jaxon, Marla, Ono, Zara.
Status: Tidak terdeteksi.
Residual link: Stabil.

Sistem tidak keliru.
Waktu yang keliru.

Setiap kali Julia berkedip, visor menampilkan wajah-wajah mereka dalam bentuk noise cahaya:
bukan foto,
bukan rekaman,
melainkan pola sinaptik yang pernah tersambung ke otaknya—
fragmen kesadaran yang menolak mati.

Lee selalu mengusap helm tiga kali sebelum sinkronisasi.
Catatan perilaku itu terekam.
Sekarang suit Julia memutar ulang getaran itu setiap kali aktif.
Tiga kali.
Selalu tiga kali.

Jaxon masih bersenandung.
Ada interferensi mikro di channel life-support—
ritmenya identik dengan lagu rakyat planetnya.
Lagu tanpa pita suara.

Marla… doa witirnya tersimpan dalam folder log error.
Terkadang file itu terbuka sendiri,
mengisi channel kosong dengan suara yang seolah dipinjam dari frekuensi ilahi.

Ono selalu batuk saat reboot sistem.
Sensor filter udara masih menyimpan pola partikel karbon—
asap, nikotin,
dan humor yang tidak lucu.

Zara mengetuk antarmuka digital dalam pola ritmis.
1–2–3–4… berhenti di 7.
Sensor kapasitif mencatatnya sebagai perintah “ekor gelombang”.

Tapi Julia tahu: itu bukan perintah.
Itu kebiasaan.
Lima orang.
Lima ritual tubuh yang tertinggal di mesin.

Tidak ada tubuh.
Tidak ada mayat.
Hanya pattern.

Julia menatap layar sinkronisasi.
Wajah-wajah itu berkedip, kabur, saling menumpuk—
sampai akhirnya tinggal satu bayangan:
dirinya sendiri.

Sistem menandai event itu sebagai:

RESONANSI PENUH

Julia tahu artinya:
sinkronisasi sudah terlalu dalam.
Sebagian dari mereka sudah jadi bagian dari dirinya.

Komunikasi internal bergetar.
Sinyal terlalu stabil.
Terlalu sunyi.

“Ini bukan operasi militer,” pikir Julia.
“Ini eksperimen pengorbanan.”

Ia menekan tombol log.

Suaranya terekam, datar, formal:
“Unit terbaik yang pernah kupimpin.”

Sistem mencatatnya sebagai laporan suara.
Tapi setiap kali file itu dibuka ulang, bunyinya berubah sedikit—
lebih lambat,
lebih dalam,
lebih manusia.

Di layar, sinyal lima anggota timnya menyala satu per satu,
lalu padam lagi.
Urut.
Rapi.

Seperti meditasi elektronik
untuk arwah yang belum sadar
bahwa mereka sudah mati.

01:33 Luka Menganga di Langit

Stasiun Dayan.

Nama itu muncul di layar navigasi seperti luka yang menolak menutup.
Bukan koordinat tempat.
Bukan target operasi militer.
Tapi diagnosis — semesta yang kehilangan sebagian dirinya,
dan kini berusaha mengingat lewat rasa sakit.

Orbitnya berputar lamban,
menggeser puing-puing logam dan debu bintang
yang bertabrakan tanpa arah,
seperti sisa-sisa langkah yang tak pernah sampai ke tujuan.

Kabut gas oranye berkelok di sekitarnya,
membentuk pusaran yang tampak seperti napas raksasa yang sedang sekarat.

Ruang ini berduka.
Dan Julia tahu, ia sedang dipanggil ke jantung kedukaan itu.

Setiap laporan intel,
setiap sensor piranti, hasilnya sama:
semua lenyap dalam radius tiga kilometer.

Drone tahan inti radiasi bintang — hilang.
Sinyal komunikasi jarak jauh — lenyap.
Dayan menolak saksi.

Ia bukan reruntuhan stasiun tua; ia organisme yang menolak disentuh.

[WARNING: SENSOR INTERFERENCE. VOID RESONANCE DETECTED.]

Layar peta holografik menampilkan garis orbit seperti urat nadi di tubuh yang sedang membusuk.

Dayan adalah stasiun tua terdekat orbit The Void.
Stasiun tanpa informasi,
stasiun tanpa saksi.

Julia menatapnya lama, dan untuk sesaat,
ia merasa peta itu menatap balik.

Apa pun yang hidup di sana bukan struktur.
Bukan batu, bukan mesin.

Mungkin kecerdasan purba,
mungkin kehendak yang lupa caranya bermimpi.

Dan mereka — ia dan timnya — dikirim bukan untuk menaklukkan,
tapi untuk memberi makan rasa ingin tahu sesuatu yang lebih tua dari manusia.

“Misi tanpa senjata api,” kata protokol Vrishchik.

Kalimat itu dulu terdengar seperti disiplin.
Sekarang seperti doa yang diminta tanpa janji pengampunan.

Satu peluru bisa menyalakan reaksi berantai —
membakar inti Dayan, menyalakan supernova kecil,
menghapus saksi dan bukti sekaligus.

Intai pasif, begitu mereka menyebutnya.
Julia tahu sebutan itu: pengorbanan yang diberi nama lain agar terdengar indah.

“Masuk neraka tanpa obor.”

Itu kalimatnya sendiri saat briefing pada lima anggota timnya.
Lucu — betapa gagah terdengar waktu itu,
dan betapa kosong kini.

Ia bisa menolak.
Protokol memberi hak untuk mundur pada misi dengan probabilitas kematian di atas sembilan puluh persen.
Tapi ia menandatangani, bahkan tanpa ragu.

Mungkin karena kesetiaan.
Mungkin karena kebosanan.
Atau karena ada lubang di dalam dirinya yang memanggil,
dan Dayan hanyalah gema dari lubang itu.

Kata itu muncul di sisi kanan visor, berkedip pelan:

THE VOID

Jejak energinya menempel di setiap sistem:
di senjata, di jasad rekan-rekan, di denyut reaktor dadanya sendiri.

The Void bukan tempat;
ia adalah hasrat untuk berhenti.
Keinginan yang dibungkus keindahan.

Julia menatap peta galaksi sekali lagi.
Dayan tergambar sebagai lingkar hitam di tengah kabut bintang —
pupil raksasa yang sedang menatap balik.

Dunia di luar sunyi.
Dunia di dalam dirinya ikut diam.

Ia menarik napas — pelan, dalam, terukur.
Dan di antara desis reaktor dan detak jantung yang tak seirama,
ia membisikkan kata yang nyaris tak bersuara:

“Mungkin di sanalah akhir segalanya. Atau awal yang tidak pernah diinginkan siapa pun.”

01:34 The Hope yang Tanpa Harapan

Hanggar kapal induk antariksa Vrishchik The Hope bergetar seperti tubuh raksasa yang sedang demam perang.

Dinding logamnya memantulkan suara langkah dan dengung mesin yang tak pernah tidur.
Suara pendingin reaktor mengisi udara — ritme monoton,
seperti mantra yang diulang tanpa iman.

Cahaya biru dari inti nuklir berdenyut teratur,
detak jantung buatan yang jauh lebih konsisten dari jantung manusia mana pun di kapal ini.

Udara tak punya aroma kehidupan — hanya pelumas,
ozon,
dan debu bintang yang terbakar.

Ribuan pesawat kecil berbaris dalam formasi,
presisi seperti kawanan serangga logam yang sedang menunggu restu dari dewa yang sudah lama mati.

Drone pengintai melayang di atas kepala,
bersuara lembut seperti lebah hitam tanpa sarang.
Gabungan semua itu menciptakan harmoni yang nyaris religius:
wirit yang tak ditujukan kepada siapa pun.

Julia berdiri di tengah hanggar, diam.
Getaran baja menembus tulangnya,
membuat tubuhnya terasa seperti bagian dari mesin yang lebih besar.

Ia tak merasa kagum — hanya mual.
Karena tahu, di balik semua kebesaran ini ada sesuatu yang disembunyikan.
Armada sebesar ini tidak pernah dikirim hanya untuk “intai.”

Terlalu banyak energi, terlalu banyak ritual, terlalu banyak pengorbanan yang dibungkus dengan nama efisiensi.

“Sersan Rose, siap peluncuran?”

Suara dari Pusat Komando terdengar datar —
tanpa wajah,
tanpa tubuh,
tanpa jiwa.
Manusia yang mengucapkannya mungkin tidak pernah melihat bintang secara langsung;
mereka hanya mengenal pantulan data.

“Siap peluncuran, Pusat Komando.”

Nada suaranya nyaris tanpa intonasi,
gema dari seseorang yang sudah berhenti percaya pada konsep menang dan kalah.

Ia menarik napas perlahan.
Udara dingin menembus tenggorokan seperti jarum es.
Di balik helm, napas itu membentuk kabut beku di kaca.
Setiap embusan terasa seperti tanda tangan di atas batu nisan yang belum diukir namanya.

Di bawahnya, lantai hanggar mulai bergetar.
Sistem peluncuran High Altitude Low Braking (HALo-B) aktif.

Tekanan meningkat. Reaktor meraung seperti hewan yang baru dibangunkan dari tidur panjang.
Suara mesin memanjang menjadi ratapan yang dipaksa keluar dari kerongkongan dunia.

Julia menatap terowongan peluncuran di depannya.
Panjang. Gelap. Menurun seperti rahim logam.
Cahaya penuntun di dinding berkedip satu per satu,
membentuk rosario elektronik yang menuntun jiwa ke jurang.

Ia tersenyum tipis — bukan karena humor, tapi karena ironi.
The Hope.
Nama yang terlalu mulia untuk kapal yang sudah kehilangan makna harapan.

Ia menutup mata.
Gelap total.
Dentum mesin menyatu dengan denyut reaktor di dadanya — dua jantung, dua ritme yang mulai sinkron.

Ia merasakan getarannya menjalar ke seluruh tubuh,
seolah kapal ini sedang menariknya masuk,
menjadikannya bagian dari liturgi baja.

Ketika hitungan mundur dimulai,
ia tahu: tubuhnya dan semesta tidak lagi dua hal yang berbeda.
Yang tersisa hanyalah getaran.

Dan getaran itu — berteriak dalam keterasingan.

01:35 Metamorfosis Terbalik

“Lima detik untuk HALo-B.”

Suara sistem menghitung waktu seperti imam logam yang sedang memimpin misa kelahiran.
Angka-angka turun, setiap detak seperti koor jamaah elektronik.

5 …..
4 ….
3 …
2 ..
1 .

Ledakan peluncuran memukul tubuh Julia.

Ia terhempas ke ruang hampa; tekanan menelan paru-paru, tulang berderak di dalam zirah.
Untuk sesaat, ia tak tahu mana yang lebih hidup: dirinya, atau reaktor nuklir di dadanya yang berdetak seperti jantung kedua.

Ia menutup mata.

Cairan pendingin di sekeliling tubuh beriak pelan —
dingin,
kental,
berbau ozon.
Seolah ia terendam di air ketuban yang beracun.

Tali penghubung reaktor menarik kencang di bawah tulang rusuk,
menyalurkan cahaya biru seperti tali pusar yang menyalakan jantung logam.

Sync. Breathe. Obey.

Bisikan itu muncul dari dalam helm.
Nada rendah, nyaris seperti lullaby.

Bio-suit bukan pelindung; ia rahim kedua.
Rahim yang tak melahirkan kehidupan, tapi memelihara residu kematian agar tetap bergerak.

Dalam kehampaan, Julia mendengar napasnya sendiri,
dipantulkan oleh sistem life-support menjadi gema panjang —
suara hantu yang meyakinkan dirinya bahwa ia masih ada.

Udara sintetik mengalir ke paru-paru dengan presisi klinis.
Ritmenya sempurna, dingin, tanpa belas kasih.

Mesin mengajarinya cara bernapas yang benar.
Ia teringat ibunya, sekilas, hanya satu kalimat:
“Bernapas itu tanda hidup.”

Sekarang, napas terasa seperti kontrak:
selama ia mengikuti irama mesin, ia diizinkan ada.

Ruang di sekelilingnya hitam — bukan sekadar kegelapan,
tapi ketiadaan yang memiliki denyut.

Panel di visor berkedip:

FLIGHT TELEMETRY
SPEED: MACH 19
DIRECTION: DAYAN VECTOR 04°N / 019°E
STATUS: DESCENT MODE
HEAT: CRITICAL
SHIELD: 43%
PSYCH: UNDEFINED

Ia menarik napas panjang — refleks manusia terakhir
sebelum gravitasi The Void mulai berbicara.

01:46 Hitungan Mundur Menuju Kehampaan
Initiate low braking sequence...

Suara sistem terdengar seperti komuni virtual.
Ruang di sekeliling Julia memucat.

Ia jatuh — bukan ke bawah, tapi ke dalam.
Ke arah sesuatu yang tak punya dasar.

00:10 detik sebelum pengereman.

Waktu menebal.
Setiap detik terasa seperti setahun di rahim mesin.

Reaktor di dada berdetak dua kali lebih cepat dari jantungnya.
Ia menutup mata.
Untuk sesaat, ia bisa mendengar dirinya sendiri — hilang.


00:09 detik.

Bau besi karat semakin tajam.
Bukan bau mesin, tapi bau kenangan.

Barak Vrishchik.
Tawa Jaxon, gumaman Marla, asap rokok Ono.
Sekarang semuanya hanya residu data di recall memory.
Manusia jadi aroma; ingatan jadi sinyal.


00:08 detik.

Tangannya gemetar, tapi sensor mencatat: stabil.
Suit mengambil alih, menekan kehendak tubuh.

Manusia tak lagi bertindak —
ia hanya niat yang dieksekusi algoritma.


00:07 detik.

Napas melambat.
Suit menyesuaikan ritme.

Dingin merayap dari tulang belakang ke tenggorokan.
Mesin sedang mengajarinya cara mati dengan sopan.


00:06 detik.

Navigasi terkunci.
Dayan memenuhi visor:
gelap, besar, seperti tengkorak paus kosmik yang mengapung di laut bintang.

Julia ingin berdoa, tapi tidak tahu kepada siapa.


00:05 detik.

“Semua akan baik-baik saja.”
Suara itu keluar dari bibirnya, tapi terdengar asing.
Mungkin suara seseorang yang lebih berani dari dirinya.

Atau gema dari arwah yang tinggal di dalam suit.


00:04 detik.

Koordinat akhir dikunci.
Visor menampilkan siluet dirinya di stasiun kosong —
bayangan masa depan yang menatap balik.

Waktu bukan lagi garis; ia lingkaran yang menelan.


00:03 detik.

Ruang hampa terasa basah.
Ada suara air menetes di dalam helm — padahal tak ada air di sini.

Mungkin itu suara kesadarannya yang bocor.


00:02 detik.

Napas terakhir sebagai manusia bebas.
Setelah ini, setiap tarikan napas adalah fungsi sistem.

Julia hilang.
Yang tersisa hanyalah Rose Unit 3768AX.


00:01 detik.

Dada menegang.
Reaktor meraung seperti hewan purba yang menolak padam.
Cahaya putih menyapu visor.


00:00 detik.

Waktu berhenti.
Di antara satu detik terakhir dan keheningan sesudahnya,
ia merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan —
bukan panik, bukan lega,

melainkan ketiadaan yang sempurna.

Sync. Breathe. Obey.

01:47 Hujan Panah Api

Pengereman selesai.

Tubuh Julia berhenti meluncur.
Tapi waktu belum berhenti memburunya.

ALARM.

Nada tinggi memecah sunyi — tajam, menembus gendang telinga seperti jeritan roh yang dipaksa keluar dari tubuh.
Radar menjerit.
Cahaya merah menari liar di visor.
Amarah mesin.

[WARNING: COLLISION FIELD DETECTED]
[VOID PLASMA RESONANCE — UNDEFINED]

Julia menatap layar.
Jalur ini seharusnya aman.
Ia memeriksa peta ratusan kali.
Tapi semesta tidak peduli pada perencanaan manusia.

Puing datang dari segala arah —
serpihan logam, pecahan satelit, gas plasma yang menyala biru seperti panah api surgawi.
Disusun oleh tangan tak kasat mata
yang ingin menulis ulang takdir mereka.

“Formasi bertahan!”

Suaranya pecah di saluran komunikasi.
Statik menjawab.
Tawa dingin dari ruang kosong.

Lee kena pertama.

Sebuah serpihan menembus pelindung dada.
Ledakan kecil.

Tubuhnya berputar perlahan di ruang hampa, terbakar dalam diam sampai lampu suit-nya padam.
Satu bintang mati dari konstelasi kecil mereka.

[01:47:03] “LEE!”

Tidak ada balasan.
Hanya dengung frekuensi yang kehilangan arah.

Jaxon masih sempat bernyanyi, separuh bait lagu rakyat dari planet asalnya:

[01:47:05] “And the stars, they sing in silent ton —”
Puing memotong nada itu di tengah huruf.
Lagu itu tak pernah selesai.

Marla memanggil nama Zara.

Dua bayangan meluncur ke arah berlawanan —
seperti tangan kematian yang ingin berpelukan.

Ledakan ganda.
Dua lampu padam di dashboard.

Hening.

Hanya gema ketukan jari Zara yang masih hidup di kepala Julia.
Satu–dua–tiga–empat… berhenti.
Hitungan yang tak pernah selesai.

Ono bertahan paling lama.

Manuvernya presisi; tubuhnya lentur di antara badai.
Tapi ruang hampa punya cara membunuh bahkan yang paling gesit.
Sebuah serpihan kecil — tajam, cepat, sunyi — menembus leher suit-nya.

Ia sempat mengirim potongan koordinat:

[01:47:12] “37.4°N… 127.0°E…”

Lalu sinyal padam.
Seperti siaran terakhir dari peradaban yang punah.

Satu per satu, layar komunikasi membeku.
Wajah-wajah yang hidup kini berubah jadi mosaik statik,
lengkap dengan timestamp dan status OFFLINE.
Kuburan digital, sunyi, dingin.

Kesepian datang lebih cepat daripada gravitasi.
Lebih berat dari reaktor di dada.

Julia menatap kehampaan —
lautan tubuh yang perlahan padam —
dan menyadari sesuatu:

Di ruang tanpa suara, jeritan adalah bentuk lain harapan.

Ia menutup mata.
Statik masih mendesis di saluran komunikasi —
ritme bising yang berubah jadi napas.
Atau mungkin napas itu milik semesta sendiri.

Dan di antara dengung itu,
Julia mendengar sesuatu seperti bisikan terakhir:
Ini adalah awal bukan akhir.

Lalu senyap.

Ruang kembali memucat.
Dan yang tersisa hanya getaran —
rapalan mekanik yang tak punya lagi siapa pun untuk disembah.

01:48 Pendaratan di Kuburan

Ruang hampa kembali sunyi.
Seperti setelah meditasi panjang yang tak mendatangkan keheningan.

Julia menyalakan thruster.
Reaktor meraung di dada, liar, lapar pembalasan.

Ia dorong tenaga melewati batas aman.
Indikator berkedip — peringatan tanpa arti.

Kesedihan berubah jadi amarah;
amarah jadi bahan bakar.

Tumbukan.

Dentuman logam menggetar, melingkar bagai gong kematian.
Suit menahan guncangan, tapi tulang Julia ikut bergetar —
kawat di dalam peti resonansi raksasa.

Sepatu magnet menancap dengan bunyi klik,
bunyi kecil yang terdengar seperti penutup peti mati menutup pelan.

Ia berdiri.

Permukaan Dayan di bawah kakinya dingin dan hitam,
kulit planet yang terbuat dari logam tua dan abu waktu.

Langit di atasnya bukan langit, tapi rongga tanpa arah.
Bintang-bintang tampak jauh, redup, seperti luka yang menolak sembuh.

“Pusat Komando, ini Julia. Apakah kalian dengar?”

Hening.

Statik menjawab, gemeretak lembut seperti ombak yang tak pernah menyentuh pantai.
“The Hope, ini Sersan Rose. Tim… hilang. Saya sendirian.”

Statik makin keras, berbisik seperti badai kecil di radio tua.
Ia mencoba lagi, satu per satu:

“Lee. Jaxon. Marla. Ono. Zara…”

Tak ada balasan.
Hanya gema suaranya sendiri, dipantulkan baja kosong Dayan.
Seolah ia berbicara kepada kuburan yang meniru suara orang hidup.

Julia mematikan saluran komunikasi.
Hening turun lagi — lebih berat dari gravitasi planet mana pun.
Dalam ruang yang tak bernapas ini,
ia akhirnya bisa mendengar napasnya sendiri serta suara lirih:

Sync. Breathe. Obey.

Hembus panjang.
Tarikan pendek.
Sedikit desis respirator.

Napas itu satu-satunya hal yang masih menandakan: ia belum sepenuhnya mati.

Ia menatap horizon Dayan.
Reruntuhan stasiun menjulang di kejauhan —
struktur hitam, sunyi, tegak seperti altar bagi dewa yang sudah dilupakan.

Bentuknya menyerupai huruf purba,
menulis sesuatu dalam bahasa yang tak lagi diingat semesta.
Ia melangkah.

Langkah pertama berat —
seolah tiap gerakan menyeret masa lalu yang menolak lepas.
Langkah kedua, tubuhnya menyesuaikan.
Langkah ketiga, kesadarannya menyerah.

Baru saat itu ia merasakan:
ia tidak sedang mendarat di planet asing.
Ia sedang berdiri di kuburan bintang.
Dan mungkin juga, kuburan dirinya sendiri.

The Hope, ini Sersan Rose. Tim… hilang. Saya sendirian.”
Statik makin keras, seperti badai yang mengejek.
“Lee, Jaxon, Marla, Ono, Zara… siapa pun?!”

Statik berubah menjadi raungan; gema suaranya sendiri dipantulkan baja kosong Dayan, seperti jeritan roh yang terperangkap.
Julia sendirian.
Benar-benar sendirian di tepi kegelapan semesta.

01:59 Kelahiran dari Cahaya

Pertama datang cahaya.

Bukan dari langit — karena langit di sini sudah mati —
melainkan dari celah tipis di udara yang merekah perlahan seperti luka yang mulai membuka diri.

Kabut abu-abu Dayan bergetar.
Suhu turun drastis.
Ion di udara berderit tanpa suara.

Cahaya putih memancar, tak memancar keluar, tapi menyedot dunia ke dalamnya.
Retina Julia terbakar; auto-dim segera aktif.
Visor menggelap, menurunkan kontras.

Namun meski perlindungan menyala, ia masih bisa merasakan cahaya itu —
menyentuh kulit dari dalam, bukan dari luar.
Ia tahu tanda ini.

Hyperjump.

Celah itu berdenyut pelan, bernafas,
dan dari pusatnya, sesuatu keluar seperti bayi dari rahim realitas.
Sosok kecil.

Langkahnya lambat, ringan, tapi setiap gerakannya mengubah arah gravitasi di sekitarnya.
Nanosuit-nya hitam pekat, sehitam lubang hitam.
Cahaya yang menyentuhnya tidak dipantulkan — lenyap, seolah diserap oleh kegelapan yang memiliki rasa lapar.

Julia terpaku.
Dunia di sekitarnya bergetar, bukan karena guncangan fisik,
tapi karena sesuatu di dalam ruang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan kehadiran makhluk itu.

Ia tahu siapa yang bisa menciptakan teknologi seperti ini.
Satu klan.
Satu kutukan.

Didymoi.

Nama itu lewat di pikirannya seperti luka lama yang terbuka kembali.
Mereka bukan pasukan, bukan penyelamat.
Mereka adalah anomali berjalan —
penyakit di jaringan semesta.

Di mana mereka muncul,
gravitasi menekuk,
waktu mengalir balik,
dan semesta membaca ulang dirinya sendiri.

Reaktor di dada Julia berdenyut cepat,
memberi sinyal bahaya.
Suhu internal naik beberapa derajat.

Adrenalin mesin dan daging berpadu menjadi satu bentuk baru:
kesatuan untuk bertahan,
bertahan dari kehilangan batas antara dirinya dan kegelapan yang datang.

“Sialan…”

Kata itu nyaris tak terdengar,
tapi tubuh mungil itu menoleh,
seolah mendengar kata yang belum sempat diucapkan keras-keras.

Gerakannya pelan, nyaris lembut.
Waktu di sekitar mereka melambat,
seperti seluruh realitas sedang menahan napas.

Dari balik helm hitamnya, Julia merasa tatapan itu menembus lapisan suit,
masuk ke dalam dadanya,
menyentuh reaktor dan jantung di saat bersamaan.

Lalu dia seperti tersenyum.
Senyum kecil, simetris, dingin.
Bukan senyum manusia.

Lebih menyerupai refleks ruang yang mencoba menirukan emosi.
Dan pada detik itu Julia mengerti:
ini bukan permulaan.
Ini kelanjutan dari kematian yang belum sempat diselesaikan.

Akhir dari Bab 1.


Notes WIP penulisan:

Bab 1 ini mendekati final, tinggal final check tanda baca. Mood udah sesuai yang dimauin.
Gibbous Moon:
“Hampir Jadi, tapi Belum Boleh Lahir”

Makna lore Moonology:

Ada calon bencana yang sebenarnya sudah mulai terasa.

Energi sedang menggelembung (swelling), siap pecah.

Sesuatu “hampir lengkap” tapi ada ketidakseimbangan terakhir yang harus dihadapi.

Ketegangan menumpuk, belum klimaks.