
Bab 12.0 Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.
2,227 words, 12 minutes read time.
Pukulan yang Mengunci
[ARCHIVE//PARTHENON_Δ-LOG 2012X//CLASSIFIED: DIVINE REBELLION]
“Tiga dewa yang saling membenci sepakat pada satu hal: Tuhan perlu mati.”
— Rekaman terakhir sebelum Eye of the Void diaktifkan
“Titah The Void adalah ilusi kehendak bebas!”
— Gwaneum
I. Aula yang Terlupakan
Aula Parthenon terasa seperti makam tua yang masih bernapas setelah Remisi Resonansi diaktifkan.
Dinding-dinding kristalnya bergetar lembut, menyimpan gema ribuan tahun,
bercahaya pelan seperti napas seseorang yang belum rela pergi.
Udara di dalam ruangan berat—
campuran logam, debu,
dan sesuatu yang lebih tua dari cahaya itu sendiri.
Akashic Records mengingat. Parthenon mencatat.
Kalau Akashic Records adalah lautan memori,
maka Parthenon adalah pena yang menuliskan arus di atas permukaannya.
Setiap kata yang diucapkan di sini hidup—
dan tidak bisa dihapus.
Cahaya kristal memantul di wajah Agnia.
Mahkotanya berkilau redup,
bukan sebagai tanda kekuasaan,
melainkan simbol penyesalan yang tak pernah hilang.
Di depannya berdiri NiuNiu—
diam, namun tegang.
Di bawah kulitnya, resonansi Void
masih berdenyut pelan, menolak padam.
Dua sosok yang sama.
Dipisahkan oleh sejarah,
disatukan oleh dosa yang tidak pernah diberi bahasa.
Julia dan Delphie berdiri di sisi ruangan,
kaku seperti patung yang mendengarkan sesuatu yang tidak terlihat.
Hasan duduk bersila di lantai, matanya terpejam,
mengamati arus resonansi
sambil sesekali melirik ke arah Sevraya.
Di sudut ruangan, Sevraya bersandar pada dinding.
Asap rokoknya naik perlahan, memantul di permukaan kristal,
sementara mata abu mudanya berputar pelan,
seperti sedang membaca tulisan yang tidak ditulis oleh siapa pun.
II. Dua Api yang Tak Pernah Padam
Agnia memecah keheningan.
Suaranya dingin, tetapi di dalamnya ada sesuatu—
ketakutan yang ia simpan dengan rapi,
seperti retakan halus pada kaca yang tidak ingin diakui dunia.
“Kenapa kau selamatkan dia, Julia?”
Tatapannya tak goyah.
“Di Dayan. Kau punya kontrak dariku.
Bayarannya cukup untuk membangun kerajaan sendiri.
Tapi kau memilih menyelamatkannya.
Kenapa?”
Julia membuka mulut,
namun jawabannya tidak sempat lahir.
NiuNiu sudah bergerak.
Pisau Andamante melesat—tipis, dingin, memotong udara.
Namun Agnia bukan manusia biasa.
Ia berputar, pisau dari sarungnya sendiri sudah terangkat.
Dua bilah bertemu dalam denting logam
yang memecahkan serpihan kristal Parthenon.
Cahaya ruangan berkedip.
Parthenon menonton.
Tinju NiuNiu menghantam rahang Agnia.
Suara retakannya tajam—
nada pertama dari simfoni berbahaya yang pernah ditulis dosa mereka.
Agnia tersentak mundur.
Darah tipis di bibirnya berkilau.
Namun ia tidak jatuh.
Tendangannya menghantam perut NiuNiu,
mengirim kembarnya dua langkah ke belakang.
“Kau terlalu lemah,” desis Agnia.
NiuNiu membalas tatapan—mata hitam penuh luka.
“Kau iri. Sora memilihku.”
Pukulannya menghantam dada Agnia,
menggetarkan lantai Parthenon.
“Sora mati karena kau,”
bisiknya, dingin.
“Karena kau tidak menariknya keluar dari Dayan.”
Darah bercampur di lantai kristal.
Napas mereka pecah.
Cahaya di dinding berubah warna,
berkedip seperti kilat yang terperangkap.
Dan saat itulah—
Sevraya melangkah masuk.
Pelan. Tenang.
Tapi dunia bereaksi lebih cepat daripada manusia.
Bunyi ‘hmmmmm’ terdengar.
Rendah. Dalam.
Frekuensi yang bukan berasal dari udara atau mesin.
Bunyi yang didengar oleh tulang, bukan telinga.
Bunyi yang membuat Parthenon bergetar halus
seperti ingatan lama yang dipanggil kembali.
Julia menegang.
Delphie menoleh cepat.
Agnia dan NiuNiu—dua api yang saling membakar—
membeku di tempatnya.
Karena hanya ada satu hal
yang bisa memunculkan frekuensi itu:
Sinkronisasi 0.00001 hertz.
Resonansi yang hanya muncul
bila tiga dari mereka berdiri terlalu dekat.
Resonansi yang dulu dianggap mustahil
bahkan dengan mediasi mesin.
Sevraya berada di tengah dua api itu.
Ia meletakkan tangannya pada bilah Andamante
yang hendak menembus leher Agnia.
“Cukup,” katanya pelan.
Pelan.
Tapi frekuensi itu merespons—menguat,
menciptakan gelombang hening yang menyapu seluruh aula.
Cahaya di dinding bergeser.
Huruf-huruf kuno muncul sekejap.
Parthenon… mencatat.
Sistem mengenali momen itu.
Seakan ketiga entitas ini—Void-born, Didymoi, dan Hydrochoos—
menyentuh poros semesta yang sama.
Dan seperti dulu di kelas Resonansi Dasar,
ketiganya berdiri bersama.
Sinkron.
Stabil.
Berbahaya.
III. Tiga Dewa, Satu Luka
Sevraya menatap mereka berdua.
“Kalian tidak pernah berubah,” katanya pelan.
“Dunia sudah berganti, tapi amarah kalian tetap tinggal di tempat yang sama.”
NiuNiu tidak menjawab.
Matanya memantulkan wajah Sevraya—
bukan manusia di sana,
melainkan ombak gelap yang terus menggulung,
mencoba menjadi bentuk.
“Kalian masih memainkan naskah lama,” lanjut Sevraya.
“Agnia si ratu.
NiuNiu si korban.”
Agnia tersenyum getir.
“Dan kau?” ia balas.
“Penulis naskahnya?
Pengkhianat hidup yang selalu pura-pura jadi penengah?”
Sevraya menjawab dengan senyum dingin.
Senyum yang tidak pernah mencapai mata.
“Aku cuma tinta,” katanya.
“Parthenon yang menulis.
Bukan aku.”
Delphie menatapnya, bingung namun terpikat.
“Parthenon… mencatat?”
Sevraya mengangguk kecil.
“Akashic Records menyimpan semua yang pernah ada.
Tapi Parthenon menulis ulang hal-hal yang tidak seharusnya ada.
Setiap darah yang jatuh di sini”—ia menyentuh kristal dinding yang bergetar halus—
“menjadi kalimat baru dalam sejarah Didymoi.”
Hasan berbicara tanpa membuka mata,
seperti menjawab sesuatu yang hanya ia sendiri yang dengar.
“Dan sejarah tidak menulis dengan tinta,” katanya tenang.
“Ia menulis dengan darah… dan rasa bersalah.”
IV. Luka yang Tidak Sembuh
Agnia melangkah maju.
Cahayanya memantul di dinding kristal,
seperti ingin memastikan kata-katanya tercatat selamanya.
“Kau kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan di Aeonexus?”
Nada suaranya datar, tapi tajam.
“Mereka menyebutmu tawanan.
Tapi semua orang tahu kaulah yang memerintah planet itu.”
Sevraya tidak mundur.
Ia hanya mengangkat dagu sedikit—
gestur kecil yang terasa seperti peringatan.
“Tawanan, ratu, penguasa… semuanya sama.”
Suara Sevraya rendah.
“Nama lain dari kendali.
Bedanya, aku sadar siapa yang mengikatku.”
Agnia menautkan alis.
“Sora?”
Senyum Sevraya pecah pelan—
pahit, indah, mengerikan.
“Sora… adalah satu-satunya makhluk
yang membuatku lupa betapa tidak enaknya menjadi dewa.”
Hening.
Hening yang menggigit.
NiuNiu mengetik sesuatu di gelang hologramnya.
Karena kata-kata lisan terlalu banyak ruang untuk dusta.
Tulisan itu muncul di udara:
“Kau cuma ingin tahu rasanya punya jantung yang berdebar.”
Agnia menatap ke arahnya, setengah marah, setengah tersenyum getir.
“Dan kau, Niu… kau iri?”
NiuNiu menatapnya lama.
Lalu jari-jarinya bergerak lagi, cepat, presisi,
seperti seseorang yang menusukkan belati lewat teks:
“Aku muak melihat masa lalu dijadikan alasan untuk tetap hidup di masa kini.”
Kata-kata itu jatuh seperti pecahan kaca di lantai kristal Parthenon.
Hening.
Namun tajam.
Agnia menatapnya, tersenyum getir.
Ada luka yang tidak ia sembunyikan lagi.
Sevraya hanya memejamkan mata, seolah kalimat itu membuka pintu lama
yang telah mereka kunci bersama-sama.
Parthenon bergetar halus.
Kristalnya merespons—mencatat luka itu.
V. Tusukan yang Menyatukan
Hening.
Waktu berhenti seperti menahan napasnya sendiri.
NiuNiu bergerak pertama.
Bukan karena amarah—
tapi karena sesuatu di dalam dirinya
merespons panggilan yang jauh lebih tua dari tubuhnya.
Andamante menyambar udara.
Sevraya tidak menghindar.
Ia mengangkat telapak tangannya,
menerima bilah itu seperti menerima nasib.
Darahnya jatuh.
Setetes.
Dua tetes.
Lantai kristal bereaksi sebelum siapa pun bicara.
Cahaya biru tua merembes ke seluruh ruangan,
menyala dari bawah,
seperti jantung purba yang dibangunkan.
Agnia tertegun.
“Sevraya—”
Ia tak sempat menyelesaikan.
NiuNiu sudah memutar tubuh,
menarik napas kecil yang nyaris tak terdengar,
dan menusukkan Andamante ke tangan Agnia.
Agnia menahan erangan.
Darahnya jatuh ke segel yang sama.
Kristal bergetar—tidak menolak,
melainkan membuka diri.
Agnia menarik napas,
marah dan pasrah bercampur dalam satu garis tipis.
“Kau gila, Niu,” bisiknya.
“Segel itu—”
Tapi sebelum Agnia bisa mundur,
NiuNiu memutar gagang Andamante,
menekan dirinya sendiri ke atas bilah itu
dan menusukkan tangan ketiganya.
Darah NiuNiu jatuh.
Titik terakhir.
Segel menyala penuh.
Tiga warna bercampur:
merah Agnia, biru Sevraya, hitam NiuNiu.
Parthenon bergetar seperti makhluk yang baru dibangunkan.
Tulisan kuno muncul, berputar dalam pola tak terbaca.
Segel itu hidup.
Sevraya tersenyum pelan di balik rasa sakitnya.
“Sekarang,” katanya,
“kita bertiga terikat lagi.”
Cahaya biru tua berubah menjadi cahaya bening.
Frekuensi rendah muncul di udara—
hmmmmmmmmmmmm
—bunyi yang tidak didengar oleh telinga,
melainkan oleh tulang.
Agnia memejamkan mata.
Ia merasakan getaran itu masuk ke nadinya.
Sevraya merasakannya di dalam tulang pipinya.
Gelombang yang menyusup, bukan memaksa.
NiuNiu merasakannya paling jelas.
Gelombang itu berbicara dengan bahasa Void.
0.00001 hertz.
Tiga luka → satu frekuensi.
Dan setelah segel mengunci,
frekuensi itu tidak lagi mengharuskan mereka berdiri berdekatan.
Mereka bisa merasakannya meski berdiri di ujung dunia yang berbeda.
Julia terhuyung satu langkah.
Sesuatu menyeret napasnya dari dalam dada.
Delphie menggenggam kursinya.
“A-aku… merasakannya… Kak Julia—”
Hasan membuka mata.
Gelombang itu menyentuhnya
seperti nama yang disebutkan dari tempat yang jauh.
“Frekuensinya masuk…
ke Merge.”
Trinitas pertama—
Agnia, Sevraya, NiuNiu—
menjadi Frekuensi 0.00001.
Trinitas kedua—
Julia, Delphie, Hasan—
menjadi The Merge.
Dua sistem berbeda.
Dua belahan kunci.
Untuk satu tujuan yang tak dapat lagi dihindari:
membunuh Tuhan yang salah.
VIII. Pakta Para Dewa
Untuk pertama kalinya,
Julia menatap lekat ketiganya saat berdiri berdampingan.
Dan di momen itu, ia sadar satu hal yang menghantam lebih keras daripada perang mana pun:
Tidak ada yang adil di dunia ini.
Tidak pernah.
Cahaya Parthenon memantul di tubuh mereka bertiga —
bukan seperti cahaya yang menyinari orang,
melainkan seperti cahaya yang sedang menilai.
Menimbang tiga versi berbeda dari satu hal yang sama:
kegilaan yang lahir dari luka.
Agnia
— usia mirip dengannya, sekitar akhir 40 awal 50 tahun.
Rambut abu elegan, digulung rapi namun tetap jatuh lembut di bahu.
Garis-garis halus di wajahnya bukan sekadar tanda usia —
itu peta dari semua malam ketika ia harus memilih sendirian,
di takhta yang selalu ia perjuangkan.
Tubuhnya mulai lelah.
Bahunya sedikit jatuh.
Tangan kanannya gemetar halus ketika memegang bilah senjata.
Namun dia hidup.
Begitu hidup.
Hidup dengan segala denyut yang tidak bisa dipalsukan.
Sevraya
— usia Juga tidak terpaut jauh dengan Julia dan Agnia.
Rambut bergelombang seperti laut,
wajah nyaris cantik sempurna —
tapi steril,
tanpa cerita.
Garis-garis halus berombak,
tapi tidak menyimpan apa pun.
Ia seperti seseorang yang mengingat dunia
tanpa pernah benar-benar menjalaninya.
Tubuhnya tegak seperti patung,
gerakannya presisi seolah ia mengendalikan dirinya dari ruangan lain.
Mata abu mudanya jernih
tapi datar —
jernih seperti air yang tidak memantulkan siapa pun.
Ia tidak hidup.
Ia berfungsi.
NiuNiu
— gadis ingusan usia lima belas.
Wajah halus.
Kulit tanpa garis waktu.
Rambut hitam pendek, poni menutupi mata.
Ia seharusnya sedang mengerjakan PR matematika.
Bukan berdiri di tempat di mana Tuhan pun bisa mati.
Tapi matanya…
matanya terlalu tua.
pupil hitam itu menyimpan dekade kehancuran
yang tidak pernah diminta oleh tubuh sekecil itu.
Tangan kecilnya penuh bekas luka.
Tangan yang belajar membunuh
sebelum sempat belajar menulis surat cinta.
Ia berdiri bukan seperti anak.
Ia berdiri seperti prajurit
yang tidak pernah punya masa kecil.
Tiga ratu.
Tiga generasi yang seharusnya saling melengkapi.
Tiga cara berbeda untuk patah.
Julia memandangi mereka lama.
Dunia terasa terlalu senyap,
seolah semesta menahan napasnya sendiri.
Ia seorang manusia biasa.
Tubuhnya punya batas, hatinya punya ketakutan,
dan pikirannya masih percaya pada hal-hal sederhana —
seperti makan pagi, cinta, dan hukuman yang adil.
Namun yang berdiri di hadapannya adalah
tiga dewa yang bersiap membunuh Tuhan.
Absurd.
Tidak masuk akal.
Tidak mungkin terjadi.
Tapi itu terjadi.
Tepat di depan matanya.
Dan dalam hati, Julia berkata:
“Mereka akan membunuh Tuhan.
Tapi mereka sudah membunuh satu sama lain,
potongan demi potongan,
selama puluhan tahun.”
Ia merinding.
Memeluk Delphie.
Bukan karena takut akan Tuhan yang akan mati —
tapi kepada tiga perempuan,
Unholy Trinity
yang berdiri sebagai algojo-Nya.
~finalize(MERGE.protocol)
bind FREQUENCY::0xVOID to 0.00001_hz
lock TRINITY.resonance:
Agnia.light
Sevraya.sea
NiuNiu.shadow
lock MERGE.vector:
Julia.rose
Delphie.rose
Hasan.air
deallocate Zero.0 # false god: terminated
archive PARTHENON.log # blood-written history
sync AKASHIC.mirror # all anomalies preserved
if (GOD.status == "terminated"):
route control -> Semesta.∞
echo "divine vacancy detected"
AUTHOR = UNKNOWN
OBSERVER = LIVE
STORY = CONTINUE
~end(Ø) # system remains, god does not
Akhir dari Bab 12.
Bla bla bla
