Timer 13:00 — Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.

2,227 words, 12 minutes read time.

Konsensus Enam Simpangan


ZERO.0 = 1-dimensional entity

SIX ERRORS = 6-dimensional interference generator

If dimension(entity) < dimension(opposition):
    entity_trajectory → fracture
    entity_will → overflow
    entity_identity → NULL

Outcome: FALSE GOD TERMINATED

“Garis lurus tidak pernah menang melawan labirin.”

13:01 Penjara Tanpa Waktu

Parthenon Level Minus 12.
Wilayah yang bahkan Parthenon sendiri tidak mengakui keberadaannya.

Lorong-lorongnya berdenyut seperti usus makhluk purba.
Lampu menggantung seperti cairan cahaya yang menetes pelan—
lebih mirip pendar bioluminesensi daripada teknologi.

Kira berjalan paling depan.

Suara langkahnya memantul seperti gema
dari tempat yang seharusnya tidak ada.

“Kalau Kalian mau bunuh Tuhan,” katanya datar,
“kalian butuh seseorang yang pernah bertahan dari Void di semesta ini.”

Julia mengernyit.
“Siapa? Tidak ada yang pernah—”

“Tidak ada yang kembali,
kecuali kalian,
tapi ada yang bisa masuk” potong Kira.

Mereka melewati lengkungan organik yang seolah menyembuhkan dirinya sendiri saat dilalui.

Hasan berbisik,
“Aku bahkan tidak tahu Parthenon punya ruang bawah tanah.”

Kira tetap tidak menoleh.
“Parthenon tidak punya.”
“Aku yang menciptakannya.”

Lorong itu berhenti pada sesuatu yang tidak masuk akal:

Sebuah pintu besi kuno, kusam, penuh goresan—
tidak sesuai dengan arsitektur apa pun di Parthenon.

Di atasnya, dengan huruf-huruf yang seperti dikikir paksa:

TUHAN TIDAK SUKA DIBANTAH.

Agnia menelan ludah.
Sevraya memicingkan mata.
NiuNiu membeku di tempat.
Delphie bersembunyi dibalik ibunya.

Kira menatap tulisan itu.
“Itu ditulis oleh orang yang akan kalian temui.”

Agnia dengan frontal langsung bertanya:
“Sebelum kita temui dia, apa utungnya kamu membantu kita Kira?
Parthenos tetap akan dihancurkan remisi resonansi?”

“Aku Administrator, Agnia.
Tugasku bukan menjaga Tuhan.
Tugasku menjaga sistem yang lebih tua dari Tuhan.”

Ia berhenti, memandang pintu besi kuno itu.

“Dan Zero dan Himler…”
“Mereka adalah kesalahan paling besar dari sistem itu.”

“Kalau kalian tidak membunuh Tuhan hari ini —
dalam ribuan timeline lain, aku akan tetap menarik pelatuknya.”

Besi seperti menghela napas sebelum membuka.
Di baliknya—waktu berhenti.

Ruangan gelap, lembap, dan tidak stabil.
Seolah gravitasi lupa tugasnya.

Di tengahnya duduk seorang perempuan di atas ranjang besi kotor:

  • rambut pirang panjang, lusuh, kusut,
  • kulit pucat seperti arsip komputer yang korup,
  • pakaian compang-camping,
  • dan mata—

mata yang Delphie kenal.

Karena itu matanya sendiri:
dua puluh tahun lebih tua,
lebih dingin,
lebih rusak,
lebih… mengetahui.

Delphie tersengal.
“Kau… Gwaneum… kau… aku?”

Perempuan itu membelalakkan mata.
Di irisnya, Void tipis berputar seperti sisa realitas yang terglitch.

Ia tersenyum kecil.

“Bukan ‘kamu’.”
“Aku adalah kamu yang tidak pernah keluar dari semesta ini.”
“Yang tertinggal. Yang membusuk. Yang belajar bertahan.”

Delphie mundur selangkah.

Agnia maju, wajahnya menegang.
“Dia—Gwaneum? Anomali yang muncul waktu Delphie masuk The Void?”

Kira mengangguk.
“Nama yang ia pakai… setelah dua puluh tahun terperangkap di semesta-salah.”

NiuNiu menyipit, membaca frekuensi di balik tubuh Gwaneum.
Bayangannya sendiri menjauh dari bentuknya.

Gwaneum berdiri.
Tulangnya berderak seperti jam yang kehilangan roda gigi.

Ia mengangkat wajahnya—
tenang, lelah, dan mengerikan dalam kejernihan pikirannya.

“Aku tahu kenapa kalian datang.”
“Semesta ingin membunuh Tuhan… lagi.”

Julia menegang.
“‘Lagi’?”

Gwaneum tersenyum seperti dosa yang bangga menjadi dosa.
“Aku pernah mencoba.”
“Dan gagal.”

Ia melangkah ke cahaya.

“Untuk bertahan… aku menjual semua rahasia klan kepada Vrischik.”
“Basis data Didymoi. Sandi Hydrochoos. Kelemahan Zygos. Koordinat kapal pembangkang. Jalur rahasia Akashic Records.”

Delphie menutup mulut.
“Tidak… tidak mungkin…”

Gwaneum mendekat; wajahnya seperti retakan kaca yang ingin disatukan.

“Aku tidak dikhianati semesta.”
“Aku yang mengkhianati semesta—demi hidup.”

Agnia menggertakkan gigi.
“Jadi kau budak Zero?”

Gwaneum mengangguk kecil.
“Informan pribadi Himler.”
“Variabel yang Zero gunakan untuk memprediksi semua pemberontakan.”

Julia mengepalkan tangan.
“Kenapa Kira menyimpanmu?”

Kira menjawab dingin:
“Karena pendosa terbesar adalah pendeta terbaik.”

Gwaneum menunduk; rambut pirang kotor menutupi wajahnya.

“Kalian ingin bunuh Tuhan?”
“Aku bisa pimpin ritualnya.”

Ia mendongak.
Senyumnya mengerikan—tapi tulus.
“Tapi kalian harus terima satu hal…”

“Untuk membunuh Tuhan, seseorang harus menggantikan posisinya.”

Ia menatap Delphie.
Lembut.
Seperti ibu menatap anak yang akan dikorbankan.

“Dan itu selalu… seorang Rose.”

13:02 Pendeta Pendosa

NiuNiu merapat ke dinding—
gerakannya menyerupai naluri kuno makhluk yang tiba-tiba berhadapan dengan kemungkinan dirinya sendiri.

Gelang hologramnya menyala.

“Dia cermin… tapi hidup.”

Gwaneum tertawa kecil.
Bunyinya seperti sesuatu yang patah dari dalam, bukan tawa.

“Aku bukan cermin,” katanya tenang.
“Aku konsekuensi.”

Ia melangkah mendekati Delphie —
gerakan yang tampak lembut,
tetapi menyimpan ketidakselarasan
seperti ingatan yang tidak kembali utuh.

Jari-jari kurusnya mengangkat dagu Delphie.
Tatapannya tidak kejam, hanya terlalu mengetahui.

“Aku adalah jawaban yang tak pernah kau pilih.”
“Aku Delphie Rose yang ditarik ke semesta ini saat kau menghilang.”
“Yang tidak diselamatkan siapa pun.”
“Yang dibiarkan The Void untuk belajar dengan cara paling sederhana: bertahan.”

Delphie tersentak.
Napasnya sendiri seakan menjadi pengkhianat terakhir yang ia pegang.

“Kalau begitu… bagaimana kau berada di sini? Di Parthenon?”

Gwaneum tersenyum —
senyum yang lebih menyerupai pengakuan daripada emosi.
Seperti seseorang yang memahami bahwa cahaya bukan lagi metafora keselamatan.

“Karena manusia — dan klan — cenderung memenjarakan versi diri yang paling mereka takuti,” ujarnya.
“Dan apa yang menjadi aku… adalah ketakutan itu dimaterialkan.”

Ia menunjuk dirinya sendiri,
seperti seorang editor menilai naskah yang ditulis dengan darah dan waktu:

“Pendeta yang gagal.”
“Pemberontak yang menyerah.”
“Informan yang terlalu memahami struktur.”
“Rose yang berdosa bukan secara moral, tetapi secara desain.”

Agnia menatapnya lama —
bukan sebagai musuh,
tetapi sebagai sejarah yang sedang berdiri di depan mereka.

Sevraya menghembuskan asap rokok perlahan.
Netral; seperti ia telah membaca bab ini jauh sebelum semesta menuliskannya.

Julia hanya memandang,
dan pada wajahnya tersisa sesuatu yang jarang muncul:
sebuah rasa bersalah yang belum menemukan nama.

Gwaneum menangkap semuanya.
Ia tampak tidak sombong — hanya jernih.

“Kalian tidak mencariku,” katanya datar.
“Kalian mencari sesuatu yang lebih tua dari aku.”

Ia menunduk sedikit,
seolah mengakui sesuatu yang bukan rahasia lagi.

“Sebuah ritual.”
“Dan setiap ritual memerlukan pendeta…”

Lalu ia memandang Delphie —
bukan dengan rasa superioritas,
tetapi dengan kesadaran bahwa beban pengetahuan
selalu meminta bayaran.

“…dan selalu memerlukan pengorbanan.”

Di belakang, Hasan terdiam.
Bukan karena apa yang di depan mata,
tetapi karena di dalam ia merasakan sesuatu menyentuh namanya —
sebuah panggilan yang tidak dibentuk oleh mulut manusia,
melainkan oleh struktur semesta itu sendiri.

13:03 Tarikan Zero

Hasan maju selangkah.

Ia hendak berbicara—lalu berhenti.

Bukan karena kehendaknya.
Melainkan karena ada sesuatu yang mendahului kehendak itu.

Tubuhnya membeku, seperti patung yang baru menyadari bahwa ia pernah hidup.

Di udara muncul sehelai garis putih —
tipis seperti rambut —
menyentuh ruang di belakang tengkuknya.

Tidak melekat.
Tidak bersentuhan.
Hanya hadir.

Merge Julia berbisik, seolah takut mematahkan sesuatu yang rapuh:

“Hasan?”

Tidak ada jawaban.
Hanya mata kosong yang menatap tanpa subjek,
dan mulut yang terbuka seolah bernapas sudah kehilangan prosedurnya.

NiuNiu melangkah ke depan.
Gelangnya menyala, menulis cepat:

“ADA SESUATU DI SINI.”

Gwaneum memejamkan mata.
Ketakutan itu bukan takut fisik —
melainkan takut akan pengetahuan yang kembali menagih.

“Zero sudah menemukan jalur kalian,” katanya lirih.

Sevraya bergerak cepat menuju Hasan, namun Gwaneum menahan lengannya.

“Jangan menyentuhnya. Apa pun yang menyentuh sekarang akan ikut terseret.”

Agnia mengeluarkan pisau cahaya dari mahkotanya dan mencoba memutus garis putih itu.
Cahaya pisau itu memantul — seperti pantulan yang menolak meniru.

Delphie tersentak, suaranya pecah:

“Lakukan sesuatu!”

Gwaneum menggeleng.

“Ini bukan musuh. Ini koreksi.”

Lalu Hasan berbicara.
Tapi bukan sebagai dirinya.

Suara itu datar, antiseptik —
seperti algoritma yang dibacakan melalui tubuh yang salah:

“▟█▛ TRAJECTORY DETECTED █▟▛

six orthogonal deviations detected

line integrity compromised

correction required █▟▛”

Julia menutup mulutnya.
Ada sesuatu pada suara itu yang tidak manusiawi —
dan tidak berniat menjadi manusiawi.

Tubuh Hasan terangkat.
Tidak ada angin.
Tidak ada gaya.
Hanya arah —satu konsep yang tiba-tiba menjadi mutlak.

NiuNiu mencoba menariknya lewat bayangan, namun bayangan tangannya menembus tubuh Hasan seperti menembus kabut yang memiliki kehendak sendiri.

Hasan semakin tinggi.
Matanya menatap langit-langit,
walaupun jelas ia sedang melihat sesuatu di balik langit-langit itu.

Zero berbicara lagi:

“THIS CONFIGURATION THREATENS LINEARITY

AIR ELEMENT DETECTED

AIR MUST BE REMOVED

AIR IS FORMLESS

FORMLESS ENABLES ERROR

ERROR MUST BE— ”

Suaranya terpotong.

Lalu tubuh Hasan mulai retak —
bukan patah,
melainkan terkoreksi.

Kulitnya terbelah oleh garis-garis halus yang tidak mengeluarkan darah.
Bagian tubuhnya menghilang seperti coretan pensil yang dihapus terlalu bersih.

Sevraya memanggil air dari celah ruangan untuk menahan tubuh itu.
Agnia memanggil cahaya, mencoba mengikat garis putih dengan hukum optik.
NiuNiu menancapkan bayangannya ke lantai, merapatkan Hasan pada dunia.

Delphie dan Julia menjerit tanpa suara —
The Merge mereka dengan Hasan meregang seperti benang yang ditarik hingga hampir putus.

Gwaneum hanya berdiri diam.
Tidak berdoa.
Tidak menolak.

Sesuatu pada wajahnya mengatakan bahwa ia telah menyaksikan algoritma ini terjadi lebih dari sekali.

Julia akhirnya berteriak:

“Hasan! Lihat aku! Jangan lihat ke atas!”

Tapi suara itu tidak lagi mencapai tempat di mana Hasan berada.
Ia sudah bergerak keluar dari linguistik manusia.

Hasan tersenyum tipis.
Senyum seseorang yang akhirnya mengerti sesuatu yang tak dapat dijelaskan kembali ke dunia.
Dengan suara yang kini miliknya sendiri, ia berbisik:

“Keparat…
aku tidak bisa tetap… berbentuk.”

Dan kemudian ia hilang.

Tanpa suara.
Tanpa cahaya.
Tanpa kematian.
Hanya ketiadaan yang tiba-tiba.

Ruangan jatuh dalam keheningan total.

Julia dan Delphie berlutut.
Kepala mereka seakan dihantam oleh sesuatu yang tidak memerlukan objek.
Napas mereka pendek, patah, hampir seperti menolak fungsinya sendiri.

NiuNiu berdiri tanpa kata.
Gelangnya padam.

Agnia memadamkan cahayanya mahkotanya.
Cahaya terasa seperti terlalu kasar.

Sevraya menyalakan rokok baru —
tangan gemetar, mencoba menahan sesuatu yang bahkan ia tidak tahu namanya.

Gwaneum membuka mata.
Ada celah kecil di suaranya —
retak yang tidak berasal dari takut,
melainkan dari pengalaman.

“Tidak apa,” katanya.

Julia menoleh marah, mata merah.

“Tidak apa?!”

Gwaneum menatapnya tanpa kedip.
Dalam tatapannya ada ketenangan orang yang telah melihat pola berulang.

“Tuhan selalu mengambil satu sebelum ritual,” ujarnya perlahan.
“Itu tanda bahwa Ia mulai takut.”

Julia menutup wajahnya.
Tidak ada kemarahan tersisa — hanya kelelahan.

Lampu-lampu Parthenon padam seluruhnya.
Bukan karena kerusakan,
melainkan seperti sebuah bangunan yang memilih berkabung.

Di kegelapan itu,
hanya enam napas yang tersisa—
baru saja kehilangan yang ketujuh.

Administrator Kira keluar ruangan dengan tenang.
Gerakannya tidak terburu-buru.
Seolah ia sudah menghitung adegan ini
jauh sebelum yang lain memahami naskahnya.

13:04 Adegan Ranjang yang Kotor

Kegelapan bertahan terlalu lama —
cukup lama hingga terasa seperti Parthenon sendiri
sedang memutuskan apakah ia ingin melanjutkan bab berikutnya.

Gwaneum akhirnya berbicara.
Suaranya jernih, namun sedingin catatan obituari.

“Ritual tidak berhenti.”

Julia mengangkat wajah, kemarahan memotong gelap seperti pisau.

“Kau gila?”

Gwaneum tidak menjawab tatapan itu.
Ia menatap lantai, tepat di titik Hasan terakhir berdiri—
seolah jejak itu masih mengandung makna yang belum selesai.

“Ritual tidak boleh berhenti,” ulangnya pelan.
“Jika berhenti sekarang… penghilangan Hasan menjadi sia-sia.”

Delphie berdiri, suara bergetar:

“Dia mati! Kau bahkan tidak—”

“Tidak,” Gwaneum memotong.
“Ia tidak mati.”

Tatapannya berubah.
Ada lingkaran Void tipis berputar di irisnya —
sebuah mekanisme pengetahuan yang tidak seharusnya dimiliki siapa pun.

“Dia ditarik keluar dari realitas.
Itu berbeda dari mati.
Mati adalah akhir.
Ditarik adalah perpindahan ke ruang yang tidak memiliki izin.”

Sevraya menghembuskan asap.

“Dan tidak ada cara untuk mengambilnya kembali?”

“Tidak dengan cara yang kalian kenal,” jawab Gwaneum.
“Zero menariknya ke garis lurus — tempat di mana setiap simpangan dianggap kesalahan.
Jika ingin mengambilnya… garis itu harus dipatahkan.”

Agnia maju, nada suaranya bersih seperti perintah.

“Baik. Kita lanjutkan ritual.
Kita patahkan garis.
Kita tarik Hasan kembali.”

Gwaneum mengangguk kecil,
tapi wajahnya tidak menunjukkan kemenangan.

“Begitulah teori paling sederhananya.
Namun teori hampir selalu gagal pada praktik.”

Ia menepuk ranjangnya yang kotor.

Ranjang kotor itu menyala —
menampilkan diagram enam simpangan:

Shadow — Sea — Light — Rose — Rose — Air

Satu titik—Air—berkedip merah.

[AIR: MISSING]

[RITUAL INCOMPLETE]

Gwaneum menatap mereka satu per satu,
seolah memastikan mereka memahami konsekuensi
sebelum ia menjelaskannya.

“Enam simpangan dasar eksistensi.
Hanya enam ketidakselarasan itu yang cukup kuat untuk memecah garis.”

Ia menunjuk titik yang berkedip.

“Dan sekarang kita hanya memiliki lima.”

NiuNiu menulis di gelangnya:

“Cari elemen udara lain.”

Gwaneum menggeleng.

“Udara bukan sekadar unsur. Ia metafora.
Hasan bukan udara karena ia terbang.
Ia udara karena ia… formless.
Ia mengisi ruang kosong. Ia berubah bentuk sesuai tempatnya.
Ia—dengan caranya sendiri—adalah gangguan yang sempurna.”

Delphie berbisik:

“Tidak ada yang bisa menggantikannya?”

Diam panjang turun.
Diam yang bukan ragu — melainkan keputusan.

Lalu Gwaneum menatap Delphie.

Dan Delphie memahami maksud itu jauh sebelum kata-kata keluar.

“Tidak,” bisiknya.
“Kau tidak boleh—”

Terlambat.

Gwaneum mengambil pisau Andamante NiuNiu dan menusukkan pisau ke telapak tangannya.

Darah yang keluar bukan merah.
Warna itu seperti residu gelap dari sesuatu yang pernah ada lalu hilang.

Ranjang kotor menyerapnya.
Diagram berubah.

[AIR: MISSING]
[AUTO-FILL INITIATED]
[SCANNING COMPATIBLE DEVIATIONS…]

[ROSE COUNT: 2]
[ERROR DETECTED: THIRD ROSE PRESENT]

[GWANEUM.ROSE — VOID-TOUCHED VARIANT]
[AIR PROXY: ACTIVATED VIA VOID RESONANCE]

[ROSE COUNT: 2 → 3]
[AIR STATUS: FILLED]

Shadow — Sea — Light — Rose — Rose — Rose

[SIX SIMPANGAN: COMPLETE]

Julia mengernyit, seolah baru sadar Gwaneum adalah juga seorang Rose.
Delphie mundur, wajahnya pecah oleh campuran ngeri dan pengertian.
NiuNiu membeku, bayangannya retak.
Agnia melirik Sevraya.

Sevraya mengangguk pelan, seolah mengonfirmasi tesis lama:
“Kesempurnaan memang kadang lahir dari retakan.”

Tubuh Gwaneum gemetar, tapi ia tersenyum tipis.

“Aku bukan udara,” katanya lirih.
“Tapi aku cukup berkabut untuk mengisinya.”

Seluruh Parthenon bergetar—
bukan sebagai mesin,
tetapi sebagai struktur yang mengerti apa yang akan terjadi.

[RITUAL 6-SIMPANGAN: READY]

[HASAN: LOST TO ZERO]

[ZERO: ASCENDING]

[COMMENCING DEICIDE PROTOCOL]

Gwaneum menutup mata.
Ketika ia membuka kembali, ia tampak lebih tua—bukan usia, tetapi beban ide.

“Bersiaplah,” katanya.
“Beginilah cara kita membunuh garis lurus.”

13:05 Aktivasi Trinitas Rose

Tiga cahaya muncul dari ranjang kotor:

MERAH — JULIA ROSE
PUTIH — DELPHIE ROSE
ABU-HITAM — GWANEUM ROSE

Mereka membentuk segitiga
yang tidak seharusnya stabil
tapi justru selaras.

Gwaneum membuka mata.
Mata itu… bukan mata manusia.

“Sekarang lengkap,” katanya pelan.
“Simpangan identitas: masa kini, kemungkinan, dan masa depan yang gagal.”

Delphie menangis.

“Kenapa ada versi aku yang seperti ini…?”

Gwaneum menyentuh pipinya.
Dengan lembut.
Sedih.
Bangga.

“Karena kamu pernah memilih untuk hidup.
Dan aku memilih… untuk tertinggal.”

Parthenon bergetar.

[TRINITAS ROSE: ACTIVE]

[SIX SIMPANGAN: SYNCHRONIZED]

[ZERO TRAJECTORY: FRACTURING…]

Zero menggeram melalui retakan ruang:

ZERO.0: THREE ROSES?

IMPOSSIBLE.

IMPOSSIBLE.

Gwaneum tersenyum tipis.
“Begitulah definisi error.”

Akhir dari Bab 13.


Bla bla bla