Bab 2: Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.

4,057 words, 21 minutes read time.


Awal Mula dari Segala Rupa


I. Dua Puluh Detik Penentuan

Nanosuit NiuNiu berdengung pelan—sisa energinya terkuras oleh hyperjump—saat ia mewujud di lambung geladak pos terdepan Dayan. Hal terakhir yang ingin ia lihat beberapa detik setelah lompatan yang melelahkan dan sangat tidak nyaman: seorang prajurit klan Vrishchik dalam Bio-suit militer lengkap, sudah dalam posisi bertahan tepat di hadapannya.

Naluri bertahan hidup mengambil alih tubuh NiuNiu yang masih lemah. Ia hanya punya 20 detik sebelum nanosuit-nya kehabisan daya di ruang hampa tanpa oksigen—ia harus melumpuhkan lawan kurang dari itu.

19 detik hingga mati daya.

Alarm meraung di telinganya. NiuNiu menerjang—pisau lipat kembar menyilang, kilat logam menebas cepat, memantulkan cahaya lampu stasiun seperti petir miniatur.

Julia masih sempat menangkis meski cukup kaget figur bocah cilik didepannya tangkas dan ganas; pedang pendeknya menghantam balik dengan dentang keras yang bergema di ruang hampa. Dada Bio-suit bergetar sampai ke tulang, sepatu bot magnetik terseret mundur, meninggalkan goresan di plat logam.

18 detik.

NiuNiu mengatup bibir: serangannya ditahan semua. Napasnya membentuk kabut tipis di dalam helm. Ia menekan lagi—tusuk-tebas presisi tanpa jeda, gerakan mengalir seperti tarian mematikan.

Julia membaca ritmenya: tiap ayunan ada bayangan, tiap tusukan ada pola. Pedang pendeknya menutup rapat, percikan api kecil beterbangan setiap kali logam beradu.

14 detik.

NiuNiu sadar: ini bukan Vrishchik biasa. Normalnya 5 detik mereka sudah tumbang. Sekarang—banyak waktu terbuang. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.

Julia menangkap momen fokus lawan terpecah—celah nyaris tak kasatmata, hanya tarikan napas yang lebih panjang.

II. Mengumpan Mesin

13 detik.

NiuNiu memutuskan berjudi dengan hidupnya. Ia harus keluar dari nanosuit—meski berarti membuka tubuh pada tusukan pedang. Otot-ototnya menegang, bersiap menerima rasa sakit.

Julia menyambar kesempatan—reaktor nuklir mengaum seperti mesin pemanas neraka, energi penuh dialirkan ke pedang pendek hingga logamnya berpendar merah.

12 detik.

Tusukan menghantam dada NiuNiu dengan bunyi mengerikan—logam coba menembus suit, hampir menyentuh daging. Energi yang tersisa dipakainya melontarkan diri mundur, ke arah pintu udara Dayan. Luka dalam darah terasa di mulut.

Julia mengernyit: kenapa dia sengaja membiarkan? Mata hitam di balik visor menyipit, mengkalkulasi. Apa rencanamu?

11 detik.

NiuNiu melempar pisau kiri—pengalih perhatian yang berputar mendekat seperti shuriken mematikan. Tangan kanan bergerak cepat, jari-jari menari di interface holografik, meretas pintu udara dengan kode-kode yang berkedip hijau.

Julia tak sempat menghindar; pisau menancap ke Bio-suit dengan hentakan keras. Ia hanya bisa berharap lapisan dalam bertahan.

10 detik.

Pintu berbunyi klik pelan. Pintu berhasil diretas. Mata NiuNiu dingin seperti es kosmik, menunggu daun pintu terbuka dengan kesabaran seekor predator.

Julia melaju lagi, pedang siap menghujam, energi reaktor membuat udara di sekitarnya bergetar. Ia tak melihat pintu di belakang lawan menganga seperti mulut binatang.

09 detik.

NiuNiu tekan eject. Julia tekan power-up. Dua niat bertumbukan dalam ruang yang menyempit.

III. Darah Pembawa Virus

06 detik.

Eject NiuNiu gagal—mekanisme macet seperti mimpi buruk. Julia sudah di atas awan—pedang nyaris menembus dada, hanya sejengkal dari jantung.

Telapak kiri NiuNiu bergerak menahan mata bilah. Besi panas menembus daging layaknya pisau menembus mentega; ia meringis, gigi bergemeretak, berusaha menelan rasa sakit.

05 detik.

Julia terperangah: gerakan bocah ini lebih cepat dari tusukan jarak dekatnya. Sialan, dia bukan bocah cilik biasa.

04 detik.

Mekanisme eject akhirnya aktif dengan hentakan keras. NiuNiu terpental keluar dari nanosuit, darah menyembur dari telapak kiri seperti semburat merah di ruang hampa. Ia tersenyum pahit: jeda dua detik yang hampir membuatnya mati..

Julia ikut tersenyum tipis—strategi umpan yang matang. Lawan mengumpan suitnya yang hampir mati daya. Bocah ini cerdas, presisi dan berani. Akhirnya, lawan yang menarik.

03 detik.

NiuNiu melayang masuk melewati pintu udara tanpa nanosuit, tubuh mungilnya berputar dengan keanggunan yang aneh. Tangan kanan mengunci pintu yang dengan bunyi klik final. Nyeri merambat dari telapak tangan kiri, tapi fokus terjaga seperti mata elang.

Julia bisa menatap jelas lawannya tanpa nanosuit: gadis cilik belasan tahun, rambut hitam pendek acak-acakan, darah mengucur dari telapak tangan kiri. Menarik sekali. Ia memilih tidak mengejar—strategi lebih penting dari ego. Bio-suit otomatis menganalisis darah dari ujung pedang pendek, scanner berkedip biru.

02 detik.

NiuNiu tersenyum tipis, sadar ia menang judi kedua. Darahnya sudah diubah jadi virus digital—hadiah kecil untuk musuh yang terlalu bergantung pada teknologi. Bibirnya berkata tanpa suara: selamat menikmati.

Julia tersentak saat layar Bio-suit berkedip merah, lalu mati total. Sistem eksternal padam terhantam virus yang merayap seperti kanker digital, komunikasi mati, sensor buta. Bocah Didymoi ini sudah memikirkan semuanya—sepuluh langkah ke depan.

IV. Adrenalin yang Kesepian

01 detik hingga mati daya.

NiuNiu menatap lurus lewat kaca pintu masuk—mata terkunci pada Julia dengan intensitas yang menusuk jiwa. Cahaya helm Bio-suit memantulkan wajah mungilnya, membuatnya tampak seperti hantu kecil.

Senyum tipis mengiris wajahnya, lalu ia angkat jari tengah dengan gerakan lambat, dingin, penuh penghinaan yang artistik. Sekejap kemudian, tubuh mungil itu lenyap, berlari masuk ke lorong-lorong Stasiun Dayan dengan langkah ringan seperti kucing.

Julia hanya bisa menggeleng, mendesah kesal di dalam helm yang mulai terasa sesak. Dasar bocah cilik sialan. Tapi… mengesankan.

00 detik hingga mati daya.

Ia menarik pedang pendeknya keluar dari nanosuit lawan yang kini teronggok mati daya—cangkang kosong berkilau di bawah lampu stasiun.

Pikirannya berputar cepat, seperti senar gitar ditarik kencang:

  • Hyperjump tanpa kapal.
  • Nanosuit level militer.
  • Virus darah yang sophisticated.
  • Peretasan real-time sambil bertempur.

Semua—checklist merah. Semua—alarm bahaya. Semua—profil lawan yang seharusnya dihindari.

Dan bocah cilik itu, entah kenapa, membuat adrenalinnya justru melonjak seperti narkoba alami.

Pintu udara Dayan mendesis terbuka dengan suara panjang yang bergema. Suara mekanisnya nyaring, bergetar panjang, menyerupai riff terakhir sebelum solo gitar pecah.

Seolah besi itu sendiri berbisik pada Julia: Waktunya bermain di dalam.

V. Ningrat Keparat

Lampu merah menyala di sisi helm—seperti mata setan kecil yang berkedip-kedip. Reaktor nuklirnya telah dikompromikan. Julia menunduk: pisau lipat lawan masih menancap tepat di inti daya Bio-suit.

Seluruh sistem sudah mati, termasuk suplai oksigen. Udara di dalam helm mulai terasa basi, CO2 naik.

Tanpa pikir panjang ia menekan release seal dengan bunyi pssh yang membebaskan. Begitu helmnya terlepas, vakuum luar langsung menggigit kulit wajah seperti ribuan jarum es. Napasnya tercekat—hanya ada beberapa detik sebelum paru-parunya menyerah pada dingin kosmik yang brutal.

Tangannya meraih gagang pisau lipat itu, mencabutnya dari inti reaktor dengan gerakan cepat. Kilau hitam logamnya berpendar sebentar sebelum terdeteksi oleh database yang masih sempat berkedip lemah: Andamante—besi ningrat Didymoi. Julia mendengus di dalam dada yang tertahan udara. Bocah ningrat cilik. Tentu saja ini alasan kenapa aku selalu benci ningrat.

Dengan tubuh mengejang dalam dingin kosmik yang menusuk tulang, Julia menendang bekas suitnya menjauh lalu menggunakan momentum energinya melayang menuju pintu udara Dayan yang sudah terbuka seperti mulut neraka. Hawa dingin kosmik menusuk daging; dadanya menjerit minta udara, pembuluh darah di pelipis berdenyut keras.

Akhirnya ia melewati ambang pintu. Segel darurat menutup otomatis di belakangnya dengan bunyi whoosh yang melegakan. Atmosfer tipis stasiun menyambut paru-parunya yang terbakar seperti pelukan hangat. Julia terhuyung, terbatuk keras, kemudian menghirup dalam-dalam udara kering Dayan yang terasa seperti bau basi sisa makanan kucing.

VI. Lintasan Menuju The Void

Julia berlari menyusuri koridor dengan pisau Andamante di tangan—pampasan perang yang masih hangat. Setiap langkahnya memantul di lorong logam yang mulai retak, suaranya seperti gema tulang yang dihantam palu waktu.

Kesunyian tidak menawarkan hiburan. Dengung mesin terputus-putus. Derit logam berteriak dari dinding. Dayan sedang sekarat.

Di persimpangan lorong, ia berhenti. Menoleh ke jendela.

Dan langsung menyesalinya.

Bintang-bintang bergerak. Perlahan. Tapi bukan rotasi. Bukan orbit. Mereka menari dengan pola yang salah—mengerikan dalam keheningan.

Perut Julia mengencang.

“Tunggu… bukan mereka yang bergerak. Dayan.”

Tangannya mencengkeram pinggir jendela. Logamnya dingin, tapi lebih dingin lagi pikiran yang merayap masuk: rasa kehilangan kendali, seperti naik lift yang talinya putus.

Ia melangkah mundur satu inci. Jantungnya berdetak terlalu keras untuk ruang sekosong ini.

“Sialan…”

Apakah bocah ningrat itu memutuskan jangkar magnet?

Langkahnya berbalik. Ia berlari lagi, lebih cepat, tapi bukan karena fisik—karena insting bertahan hidup yang menjerit di telinga.

Sistem darurat di dinding ia hantam dengan tinju. Lampu merah menyala liar, alarm melolong, mencakar rongga kepala seperti suara iblis digital.

Pintu ruang kontrol terbuka, dan layar utama menyambutnya dengan luka besar.

VECTOR TRAJECTORY: LOCKED
TARGET: THE VOID
VELOCITY: INCREASING
CRITICAL ESCAPE WINDOW: EXPIRED

Julia membeku.

Tak ada tombol yang bisa ditekan. Tak ada kode yang bisa dibatalkan. Stasiun ini sudah tidak dikemudikan. Ia dikorbankan.

Amarahnya meledak tanpa aba-aba. Jeritannya membelah udara—bukan untuk didengar siapa pun, tapi untuk bertahan dari ketidakwarasan yang merayap.

Tangannya meremas konsol sampai retak. Pisau Andamante nyaris menembus telapak sendiri. Dan dia akan melampiaskan kefrustasian kemarahannya dengan menghajar bocah ningrat cilik itu.

VII. Tabrakan Yin dan Yang

Di ruang mesin yang dingin, NiuNiu memejamkan mata. Dengung mesin sekarat berdetak seperti jantung purba yang nyaris padam—ritme mekanis sekaligus litani kosmik. Waktu menetes turun bagai pasir dalam jam kaca patah: cepat, tak bisa dihentikan. Dari tangan kirinya, darah masih menetes, melukis pola samar di lantai logam—lingkaran, noda, garis—seperti simbol tak sengaja yang berubah jadi mantra. Ia tidak peduli. Dayan harus meluncur. Harus menembus jantung The Void.

Pisau lipatnya berkilau di bawah cahaya redup, berubah jadi pena maut. Dengan ujungnya ia menoreh koordinat di kaca jendela. Garis silang X dan Y bukan sekadar peta navigasi, tapi seperti salib kosmik, penanda pengorbanan. Thruster 5, 8, dan 9 ia setel penuh 100%. Bukan lagi mesin—mereka kini organ tubuh raksasa. Dayan berdenyut, berubah jadi peluru sakral. Bukan sekadar proyektil, melainkan persembahan terakhir ke kehampaan.

Refleks halusnya bergetar. Ia tahu Julia sudah datang. Bunyi langkah berat bergema di koridor, seperti gema kebencian yang merambat lewat tulang besi stasiun. Dari balik kaca dan baja, ia melihatnya—prajurit Vrishchik itu. Mata tajam menusuk balik, pisau Andamante di genggamannya berkilat. Senjata yang dulu ia lempar kini kembali, berbalik jadi pedang penghakiman.

“Buka pintu. Tangan di atas. Kalau aku yang masuk, konsekuensinya jauh lebih buruk.”

Suara Julia datar, tapi berat—seperti guntur yang masih jauh di horizon, menekan tanpa perlu teriak.

NiuNiu berdiri diam. Tubuhnya menegang, wajahnya polos, tapi kosong—seperti patung batu yang lupa dilahirkan. Matanya dalam, tak memantulkan cahaya—kolam gelap yang tidak punya dasar. Julia menatapnya lama, sadar: yang berdiri di hadapannya bukan sekadar bocah cilik dengan wadah Asia. Ada jiwa tua yang bersemayam di balik kulit muda itu. Jiwa kuno, entitas yang tidak tunduk pada usia.

“Peringatan terakhir,” Julia menghardik, suaranya penuh ancaman yang tajam.

Tetap hening. Tidak ada respons. Bahkan kedipan mata pun tak ada.

Julia mendesah pendek, bunyi seperti ular mendesis di ruang baja. Tangannya bergerak cepat—kode pendek, klik brutal. Pintu terbuka dengan bunyi WOOSH panjang, final seperti gonggongan pintu neraka.

Kini mereka berdiri berhadapan—dua predator dalam kandang yang terlalu kecil. Ruang mesin jadi arena gladiator. Nafas keduanya bergema, memantul dari logam.

Julia sempat melirik luka tembus di telapak kiri bocah itu. Darah masih menetes, tapi luka menutup cepat, mengecil dengan kecepatan yang tak wajar—dagingnya merajut sendiri seperti sutra merah.

Lalu bocah itu menyeringai. Senyum liar, licin—seperti kucing kecil yang akhirnya menemukan tikus yang cukup berharga untuk dimainkan.

Julia menelan ludah. Ia sadar persis: ini bukan duel. Ini perburuan. Dan ia—prajurit Vrishchik yang sudah menelan ribuan misi—sedang dipermainkan oleh anak Didymoi yang tersenyum seperti malaikat kecil dari neraka.

“Buang pisaumu. Sekarang.”

Pisau Andamante terangkat, berkilau dingin, menuding langsung ke jantung lawan.

NiuNiu menyeringai. Senyum bocah yang terlalu lebar, gigi putih kontras dengan darah kering di sudut bibirnya. Lalu—

Blur.

Ia lenyap.

Insting Julia menjerit alarm. Hyperjump? Tanpa suit?! Mustahil. Itu hanya dongeng akademi tentang leluhur genesis—mitos untuk menakuti kadet.

Namun bocah itu muncul lagi, tepat di depan wajahnya, menembus hukum fisika dengan mudah. Mata hitamnya menancap, jarak hanya satu sentimeter. Aura binatang buas—predator purba yang belum dijinakkan peradaban.

Benturan keras. Dahi kecil itu menghantam kepalanya dengan kekuatan menggelegar. Sakitnya membutakan. Pisau lipat menembus telinga kiri Julia—panas membakar, nyaris menyobek otaknya. Refleks menyelamatkannya; satu sentimeter lagi, otaknya kirinya sudah terbelah seperti buah yang dikupas.

Julia terhuyung mundur, sepatu bot berdecit di lantai besi. Nyeri menjalar seperti lava cair, tapi justru membuat pikirannya semakin tajam. Dia bukan bocah. Dia leluhur. Tapi dia berdarah dan semua yang berdarah bisa dibunuh. Itu celahku. Itu peluangku untuk menang.

Tanpa suit, tubuh Julia terasa lebih hidup—setiap getar besi lantai merambat ke tulangnya, setiap tarikan udara tipis tercium, setiap ayunan pisau tertebak dari potongan angin. Detak jantungnya sendiri bergema seperti genderang perang di telinga.

Di hadapannya, bocah itu berdiri tegak. Ekspresi datar, tenang, seperti permukaan danau mati. Tapi Julia tahu cara membaca ketegangan: otot-otot kecil di leher, napas yang lebih cepat setengah detik. Ada retakan halus di balik topeng dingin itu.

“Cukup main-main,” bisik Julia, serak, hampir seperti geraman.

Ia melesat. Seluruh massa tubuhnya jadi proyektil hidup. Serangan kilat—pisau Andamante berkilau merah, udara mendesis di belakangnya.

NiuNiu menepis gravitasi. Tubuh mungilnya menghilang sekejap, bayangan kabur yang mengejek mata. Julia terhuyung, momentum hampir melemparkannya ke dinding. Tapi ia memutar tubuh dengan kendali sempurna—gerakan predator yang menolak kalah—dan mengayunkan serangan penuh tenaga. Udara bersiul, ruang mesin bergetar.

Dentum.

Ledakan tabrakan dua dunia.

Pisau Julia merobek sisi tubuh NiuNiu—darah menyembur liar, mencoreng logam seperti mural perang. Bocah itu mengerang—suara pertamanya, lirih tapi nyata. Namun balasannya seketika: pisau lipat menusuk dalam ke pundak kiri Julia, masuk seperti taring ular. Tubuh Julia terhempas, menghantam lantai besi dengan benturan yang menggetarkan tulang.

Sakit membakar, menjalar seperti api neraka dari pundak ke seluruh tubuh. Napasnya tercekik, tapi matanya tetap tajam—tajam seperti elang yang meski sayapnya patah masih menukik untuk membunuh.

“Tidak jelek, bocah ningrat cilik… tidak jelek,” desis Julia, menekan luka dengan jari yang licin darah. Kabut napasnya menari di udara dingin, matanya berkilau dengan antusiasme gila—campuran sakit, marah, dan ekstasi.

NiuNiu pun terhuyung, menekan pinggang kirinya yang robek dengan telapak tangan berdarah, tapi senyumnya tetap ada—senyum bocah yang menganggap duel ini permainan yang menyenangkan. Ada kilat gembira di matanya, seperti anak yang menemukan mainan baru.

Julia tersenyum masam, merasakan adrenalin mengalir seperti narkoba alami. Akhirnya. Lawan yang sepadan.

VIII. Didymoi Sebagai Bayangan dan Cahaya

Ketegangan pecah seperti kaca dihantam peluru.

Bayangan putih muncul ditengah mereka, tanpa suara, tapi kehadirannya dingin menusuk suhu ruangan. Nanosuitnya menyala samar seperti salju radioaktif, menyerap cahaya—bukan memantulkannya.
Suaranya muncul dari balik helm, datar dan tak bernyawa, seperti gema dari liang kubur antarbintang:

“Cukup. Waktu kalian sudah habis.”

Bukan perintah. Bukan ancaman.
Itu putusan akhir, disampaikan oleh makhluk yang seolah bicara untuk semesta itu sendiri.

NiuNiu menghentikan langkah, seperti anak kecil yang baru disadari main terlalu lama. Bibirnya mencibir. Mata menyala. Isyarat kecil ia kirim ke Julia—tepat dan jelas: jangan lanjut.

Julia menggenggam erat pisau Andamante. Ototnya menegang. Insting bertahan hidup menjerit, tapi pelatihan menahan. Otaknya menghitung cepat:

Dua lawan satu.
Ruang sempit.
Satu bisa hyperjump tanpa suit.
Satu full suit Didymoi.
Peluang bertahan: 15%, dengan syarat biarkan mereka bicara dulu.

Helm putih itu mendesis terbuka.

Pria di baliknya seperti bukan manusia biasa. Wajahnya sepucat peta kuno dari galaksi yang sudah padam. Mata birunya dingin dan dalam, seperti danau yang membekukan kapal. Tak ada belas kasih. Tak ada kemarahan. Hanya keputusan.

Di dadanya, lambang Didymoi bersinar seperti sisa supernova—tajam, rapuh, dan masih mampu menghancurkan dunia.

“Sudah terlambat, NiuNiu.”

“The Void sudah bergerak.”

Mereka bertiga menoleh bersamaan ke jendela.
Ruang hitam di luar bergeser. Perlahan. Tapi jelas.
Gerbang The Void tidak lagi diam di tempat. Ia menolak. Mundur. Menjauh dari Dayan—seolah meremehkan upaya NiuNiu.

NiuNiu meledak.

Tinju kecil menghantam tembok baja, meninggalkan lekukan cekung yang berbentuk amarah.
Suara dentumannya seperti teriakan bocah yang kehilangan mainan—tapi kekuatannya cukup membuat Julia mundur satu langkah.

Julia mengatup mulut. Napasnya tak stabil. Tapi pikirannya tetap mencatat satu hal:

Nama bocah ningrat cilik itu… NiuNiu.
Nama kekanakkan untuk makhluk yang bisa membunuh satu regu dalam satu napas.

Kilatan cahaya tiba-tiba membelah langit stasiun.
Ledakan pertama menyusul, mencabik tubuh Dayan seperti daging.
Alarm meraung, logam mengaduh, dan semua terasa seperti napas terakhir monster raksasa.

“Stasiun ini akan hancur dalam hitungan menit,” ujar si pria putih tanpa terguncang.
Ia menoleh, langsung menatap ke mata Julia, menusuk, mengiris.

“Ikut aku, Sersan Julia Rose.”

Nafas Julia terhenti.
Bibirnya gemetar.
Dia tahu namaku.
Dia tahu lebih dari itu—aku yakin.

“Bagaimana kau…?”

Tak ada jawaban.
Hanya tangan dingin menggenggam bahunya.
Genggaman itu tidak kasar. Tapi penuh kuasa. Seperti tangan Tuhan yang tak butuh izin untuk memindahkan nasib.

“Apa ini?! Lepaskan!”
Julia mencoba meronta, tapi tubuhnya menolak perintah.

“Tidak ada waktu.”
Ucapan itu lebih tajam dari peluru. Lebih mutlak dari hukum militer.

Dunia tak pecah kali ini.
Dunia mengecil.

Cahaya tidak menyilaukan—ia merunduk.
Ruang tidak retak—ia melipat pelan, seperti lipatan kertas yang membentuk origami dari realitas.

Tubuh Julia jadi ringan.
Terlalu ringan.
Jantungnya berdetak di tempat yang bukan dadanya.
Suaranya bergema dalam ruang tanpa dinding.

Ia melihat dirinya dari luar.
Melihat Dayan runtuh.
Melihat NiuNiu berdiri.
Melihat dirinya sendiri ditarik keluar dari jalur waktu, seperti nama yang dihapus dari daftar korban.

“Aku hilang,” pikirnya.
“Tapi ke arah mana?

Ingatan masa kecil bukan berkelebat.
Mereka merapuh.
Ibu.
Adik.
Tanah basah.
Jeritan waktu.
Semua jadi abu.

“Aku bukan Julia Rose. Aku hanya bekasnya.”


Lalu hening.
Benar-benar hening.
Bukan karena tak ada suara, tapi karena seluruh kemungkinan telah diam.

Pasir hangat menyambut tubuhnya yang jatuh. Angin asing membawa aroma yang tidak dikenal—manis, asin, dan sedikit logam. Langit penuh bintang tak dikenal berkedip seperti mata raksasa yang mengawasi. Julia terjerembab, menggigil dalam dingin yang bukan dingin fisik tapi dingin eksistensial. Pisau lipat Andamante tertancap di pasir di depan wajahnya, bilahnya memantulkan cahaya bintang asing.

Di sebelahnya, pria Didymoi duduk tenang dengan posisi lotus, seperti tidak terjadi apa-apa—seolah hyperjump adalah hal senatural bernapas baginya.

“Di mana ini?” Julia bergumam, suaranya serak seperti kertas pasir. Lidahnya terasa asing di dalam mulut sendiri.

Pria itu menatap langit sejenak, seperti membaca peta di atas sana, lalu kembali padanya dengan mata yang dalam. “Lebih aman dari Dayan. Tapi hanya sebentar.” Nada suaranya seperti menyampaikan ramalan cuaca.

Semua kehilangan, kebingungan, dan amarah yang ditahan akhirnya meledak. Julia menggeram seperti binatang terpojok, matanya berkaca-kaca—bukan karena sedih, tapi karena murka yang sudah melampaui ambang batas.

“Kau membawaku ke sini—kenapa?! Kalian Didymoi pembunuh keluargaku! Kalian yang menghancurkan hidupku!”

Tangannya melesat. Pisau lipat berkilat, meluncur ke mata pria itu—garis tipis kematian yang ditarik oleh dendam.

Tapi detik itu retak.

Bilah berhenti di udara, milimeter dari kulit pria itu—seolah dinding tak kasat mata menahan. Otot Julia membeku, darah melambat seperti madu. Nafasnya tercekat. Ia mencoba mendorong dengan segenap tenaga, namun tubuhnya menolak—seperti mimpi buruk di mana kau berlari, tapi kakimu tenggelam dalam lumpur.

Pria itu maju, menempelkan dahi pada ujung pisau. Tatapannya menusuk lurus ke jiwa Julia—tenang, tak terguncang, seolah waktu tunduk padanya.

“Sersan Julia Rose.” Suaranya dalam, berat, gema dari ruang tak berbatas. “Kau tak bisa kembali ke hidup lamamu. Semua yang dulu kau kenal akan memburumu seperti anjing gila. Dayan terkubur lebih dalam dari kuburan mana pun. Dan kau… kau satu-satunya Vrishchik yang pernah menjejak sana.”

Ia berhenti. Jeda itu seperti racun manis yang meresap ke nadi.

“Ingat: Didymoi adalah masa depanmu. Satu-satunya masa depan yang tersisa.”

Kata-kata itu menghantam Julia seperti meteor menghantam bumi. Nafasnya pecah jadi serpihan. Seluruh identitasnya sebagai Vrishchik—kebenciannya pada Didymoi—runtuh seperti istana pasir disiram gelombang.

Teriakan meledak. Suara binatang yang terluka, putus asa, marah. Ia melempar pisau lipatnya ke pasir dengan kekuatan penuh. Lalu, dalam momen kegilaan yang akan menghantuinya selamanya—ia memagut bibir pria itu.

Bukan serangan. Bukan kelembutan. Hanya luapan gila—amarah, kehilangan, ketakutan, keputusasaan—semua tumpah dalam satu tindakan yang melawan akal sehat.

Pria itu tidak menghindar. Tidak menahan. Ia malah membalas—sentuhan ringan, nyaris tak nyata, seperti angin menyentuh permukaan air. Dan justru itu yang menghancurkan Julia. Kelembutan di tengah kekacauan. Kehangatan di dingin kosmik.

Amarah, kehilangan, dan putus asa menumpuk, lalu berganti dengan sensasi lain yang asing: rasa hidup. Untuk pertama kalinya sejak menginjakkan kaki di Dayan, ia merasa benar-benar hidup—seperti listrik yang mengalir di pembuluh darah yang sudah lama mati rasa.

IX. Pelukan Dalam Ledakan

Suara ledakan jauh merobek keheningan gurun seperti guntur yang tidak sabar.
Pasir menggulung. Langit terbelah. Realitas berputar seperti pita film yang meleleh dalam proyektor rusak.

Lalu—tarikan paksa.

Dunia mengerut. Gurun tercabik. Waktu tercekat.
Dalam sekejap yang lebih lama dari keabadian, Julia dijatuhkan kembali ke kenyataan.


Dayan menyambut mereka—bukan sebagai stasiun, tapi sebagai kuburan yang sudah terbuka.
Dinding-dindingnya retak seperti tulang tengkorak yang pernah mencoba melindungi sesuatu.
Puing-puing melayang lambat, seperti sisa-sisa peradaban yang gagal.
Jendela melengkung ke dalam, seolah semesta mencoba menghisap sisa-sisa harapan keluar.

Alarm meraung.
Bukan bunyi sirine—tapi teriakan bangkai yang belum ikhlas mati.

Julia membelalakkan mata.

Dadanya terangkat turun cepat.
Tubuhnya menggigil, bukan karena suhu—tapi karena disorientasi eksistensial.
Baru saja ia berada di pasir hangat yang absurd, lalu kini kembali menjejak logam dingin yang menganga.

“Tidak mungkin… kita kembali?”

Suara itu keluar sebagai bisikan serak—lebih mirip doa yang patah.
Tangannya meraba lantai—tajam, pecah, familiar.
Semua ini nyata.

Di sampingnya, pria Didymoi telah berdiri. Helmnya tertutup rapat kembali—wajah tak terlihat, tapi aura tetap terasa:

dingin, final, tak tergoyahkan.

Julia menoleh pelan, matanya masih keruh seperti kaca yang baru dibersihkan badai.

“Apa yang terjadi…?”

Pertanyaan itu bukan permintaan penjelasan.
Itu semacam bisikan untuk dirinya sendiri, mencoba memastikan bahwa dunia belum sepenuhnya gila.

Dari sudut pandang yang kabur, Julia menangkap sosok NiuNiu—bersandar pada dinding baja dengan posisi santai yang kontras dengan situasi. Darah masih menodai telapak kirinya tapi kulitnya terlihat utuh, seolah luka hanyalah ilusi atau mimpi yang sudah berlalu. Wajahnya beku seperti es yang tidak pernah mencair, bosan seperti anak yang menonton film yang sama untuk keseribu kalinya. Hanya matanya yang menyala dingin seperti batu permata di kegelapan, menatap Julia dan pria itu dengan sesuatu yang tak bisa ditafsirkan—mungkin hiburan, mungkin perhitungan, mungkin sesuatu yang lebih gelap.

Ada ketegangan yang tak terucap menggantung di udara di antara NiuNiu dan pria ini—seperti dua magnet yang tolak menolak. Julia sadar dengan perasaan aneh—tangannya masih digenggam pria Didymoi disebelahnya, jemari mereka terjalin seperti sepasang kekasih. Kehangatan itu terasa asing setelah bertahun-tahun hidup dalam kedinginan profesional.

Lalu, perlahan seperti ritual yang sakral, pria itu menarik Julia lebih dekat ke arah NiuNiu, sebelum akhirnya melepaskan genggamannya dengan kelembutan yang tak terduga. Dari balik helm nanosuitnya pria itu menatap bocah ningrat cilik dengan intensitas yang membakar, lalu berkata tenang seperti hakim yang menjatuhkan vonnis:

“Urusanku selesai. Sisanya—kuserahkan padamu.”

Kata-kata itu menusuk Julia tanpa makna yang jelas, meninggalkannya terapung dalam kebingungan yang semakin dalam. Apa maksudnya? Diserahkan untuk apa?

Lalu dunia pecah seperti cermin yang dihantam palu.

Rentetan peluru menghujani Dayan—bukan suara, tapi badai logam yang mencabik apa saja.
Ledakan-ledakan beruntun mengguncang ruang seperti tulang-tulang raksasa dipatahkan. Api dan puing beterbangan seperti konfeti kematian.

Di tengah kekacauan itu Julia sempat menangkapnya—tubuh pria Didymoi ditembus proyektil. Suitnya pecah seperti kulit dikuliti. Cairan putih menetes dari helm yang retak, lambat seperti susu tumpah di ruang hampa.

Refleks Julia menutup mata.
Napasnya tercekat.
Ini akhirku.
Mati di bawah hujan peluru. Mati di stasiun yang runtuh. Mati seperti prajurit yang lupa doa.

Senyap.

Gelombang panas menyapu tubuhnya seperti napas binatang terluka. Dalam kegelapan di balik kelopak mata, Julia menemukan sesuatu yang menyerupai kedamaian—kelegaan pahit seorang prajurit yang akhirnya selesai.

Lalu ia membuka mata.

Bukan peluru.
Bukan api.

Mata NiuNiu—bening, dingin, terlalu dekat.
Tangan kecilnya membungkus tubuh Julia erat, bukan untuk menyerang, tapi untuk melindungi, menciptakan ruang kosong di tengah badai.

Hening itu pecah jadi sesuatu lain.

Dunia kabur, bukan karena ledakan, tapi karena lompatan.
Gambar-gambar di sekeliling mereka meleleh seperti cat air diguyur hujan. Tekstur ruang robek seperti kaca tipis. Mereka tidak melangkah ke hyperjump—hyperjump melahap mereka.

Tanpa suit.

Julia sempat menghirup rasa aneh itu.
Bukan dingin. Bukan panas. Tapi sesuatu yang lebih tua dari keduanya—lipatan realitas yang menjahit tubuh mereka menjadi satu garis.

Ledakan Dayan tertinggal di belakang seperti kenangan buruk yang terhapus. Yang tersisa hanya jangkar kecil itu: dekapan bocah Didymoi. Titik fokus di tengah pusaran dimensi.

Sensasi itu familier. Menakutkan. Sama seperti saat pria putih memeluknya di gurun yang tidak nyata. Tapi kali ini, bukan tangan pria. Ini tangan bocah ningrat Didymoi.

Dan Julia merasakannya:

Rasa aman.

Ironi paling tajam: untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, justru di pelukan musuh ia merasa benar-benar terlindungi.

Akhir dari Bab 2.


Bla bla bla bla