Bab 3: Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.

3,868 words, 20 minutes read time.


Delta 4


[ARCHIVE//MISSION_BIO-SUIT_LOG 3768AX//STATUS: CORRUPTED]
To die unchained is to remain human.
SYNC LOST — USER DISCONNECTED.
— Recovered fragment from Vrishchik Expedition Dayan, Classified Log #13

Lima belas tahun setelah Dayan hilang di tepi The Void, gelombang gravitasi terakhir dari ledakan itu masih terdeteksi dalam grid energi koloni Zygos. Para insinyur menyebutnya afterglow error — gangguan mikro yang membuat langit Delta 4 kadang berkedip satu detik terlambat.

Sebagian menganggapnya cacat sistem; sebagian lain menyebutnya napas semesta.
Bagi Julia Rose, itu adalah tanda bahwa mesin-mesin masih mengingat namanya.

I. Bintang Delphie dan Anak yang Dinamai Darinya

Malam itu, langit Delta 4 tampak seperti lukisan yang belum selesai, bintang-bintang berkelap-kelip dengan ritme yang salah, seolah sedang belajar kembali cara bersinar.

Dari jendela-jendela besar di sepanjang koridor koloni, pemandangan itu tampak indah bagi siapa pun—kecuali Delphie. Bagi gadis lima belas tahun itu, ada sesuatu yang mengganggu dalam cara langit berdenyut. Terlalu lambat. Atau terlalu cepat.

Ia tidak tahu pasti yang mana, tapi hatinya bereaksi sebelum logikanya sempat menjelaskan. Delta 4 berputar retrograde—berlawanan dengan Bumi mitologis yang menjadi inspirasinya. Periode rotasinya 24 jam, sama seperti leluhur manusia yang telah punah. Bedanya: Delta 4 tidak berusaha menjadi sempurna. Ia diciptakan untuk hidup dengan sedikit kesalahan, sedikit goyah, sedikit kebebasan.

Delphie berdiri di ambang jendela panjang itu, menatap bintang yang menjadi sumber namanya—Delphie, bintang kelas-G yang memancarkan cahaya stabil ke seluruh planet artifisial ini. Ibunya tak pernah menjelaskan kenapa ia dinamai begitu. Dan Delphie sudah belajar untuk tidak bertanya. Beberapa hal lebih aman dibiarkan tidak diketahui.

Ia menarik napas pelan dan berbalik. Langkah kakinya bergema lembut di koridor kosong—langkah seseorang yang tahu ia tidak seharusnya ada di sana. Lampu-lampu di dinding berkerdip acak, hasil dari grid tenaga tua yang menolak mati tapi enggan diperbaiki.

Delta 4, seperti penghuninya, hidup di antara dua keadaan: tidak utuh, tapi belum hancur. Delphie menyukai area tua ini. Tak ada pengawasan aktif. Tak ada sensor yang berfungsi. Tak ada yang peduli. Dan karena itu, tempat ini sempurna.

Tempat di mana kesalahan bisa dilakukan tanpa saksi.

II. Ruangan yang Tidak Seharusnya Ada

Seminggu lalu, Delphie menemukan sesuatu yang tidak seharusnya ada: sebuah pintu di ujung koridor yang tak tercantum di blueprint resmi Delta 4. Ia tahu—karena ia sudah memeriksa tiga kali. Blueprint, arsitektur digital, catatan energi. Semuanya mengabaikan keberadaan pintu itu.

Namun di sana pintu itu berdiri, sunyi dan nyata, logam tua berkarat dengan panel akses yang masih berkedip lemah. Membukanya butuh tiga hari. Sistem keamanannya kuno, tapi Delphie mengerti bahasa lama—frekuensi analog, sinyal modulasinya, ritme yang bisa dimanipulasi dengan sedikit keberanian dan rasa ingin tahu yang besar.

Di balik pintu, ia menemukan sesuatu yang lebih aneh lagi: sebuah sangkar Faraday alami. Dinding-dindingnya tebal, penuh goresan waktu, menolak semua sinyal elektromagnetik yang mencoba masuk. Tidak ada gelombang, tidak ada suara, tidak ada cahaya data yang bisa menembusnya. Tempat di mana dunia luar berhenti ada.

Sempurna.

Tempat di mana eksperimen bisa dilakukan tanpa diawasi. Masalahnya: ruangan itu seperti kuburan mesin. Generator tua, kabel kusut, monitor pecah, tumpukan kotak berdebu. Seolah seseorang pernah bekerja di sana—lalu sengaja menghapus jejaknya.

Delphie tak peduli.

Ia membersihkan sebagian lantai, menyingkirkan puing, membuat ruang kecil di tengah. Tempat bagi mikro-drone eksperimentalnya. Tiga bulan terakhir ia habiskan di sini, memprogram AI swarm kecil berbentuk serangga logam.

Mereka bisa bergerak dalam formasi tanpa komando pusat, merespons satu sama lain secara instingtif, seolah punya intuisi sendiri. Konsepnya berasal dari paper kuno yang ia temukan di arsip lore.est: Emergent synchronization theory—bagaimana harmoni bisa muncul dari kekacauan murni. Secara teori, itu akan berhasil. Secara teori, semua sistem hidup bergantung pada sedikit ketidaksempurnaan.

Tapi teori hanya benar sampai listrik pertama kali menyala.

III. Kesalahan yang Dipercepat

Delphie menarik napas dalam. Satu kali lagi—sekadar memastikan. Pintu terkunci. Sensor anti-intrusi aktif. Pengacak sinyal berjalan stabil. Tidak ada kamera. Tidak ada log aktivitas.

Ia sendirian. Sempurna. “Sinkronisasi tahap satu,” gumamnya pelan.

Ia membuka kotak transparan di meja logam. Sepuluh mikro-drone bangkit perlahan—seolah serangga logam yang baru menetas. Tubuh mereka seukuran jempol tangan anak, berpijar biru kehijauan dari LED internal yang berdenyut seperti detak jantung miniatur.

Mereka melayang pelan, berputar, mencari satu sama lain. Formasi mulai terbentuk: spiral pertama, lalu pola bunga yang berdenyut. Gerakan mereka tidak kaku, tapi luwes—organik.

Delphie tersenyum. “Ini bekerja…”

Dan di titik itulah, rasa percaya diri menggeser kewaspadaan. Karena setiap keberhasilan kecil membawa bisikan lembut:

coba satu langkah lagi.

Ia menatap generator tua di sudut ruangan—seonggok mesin besar dengan kisi logam terbuka dan kabel melilit seperti akar besi. Butuh dorongan daya ekstra untuk uji sinkronisasi penuh. Delphie menekan saklar.

Klik.

Dengungan rendah memenuhi ruangan. Cahaya kuning dari generator berdenyut pelan, lalu naik, lalu terlalu cepat naik.

Kesalahan pertama: ia tidak memeriksa output.

Kesalahan kedua: ia tidak menyesuaikan frekuensi drone.

Kesalahan ketiga: ia berpikir semesta akan memaafkannya karena niatnya ilmiah.

Gelombang elektromagnetik dari generator menabrak frekuensi swarm. Udara bergetar, seolah dinding logam ikut menahan napas. Nada rendah berubah menjadi raungan melengking—SKREEEEEKKKK—

dan dunia tiba-tiba beresonansi. Drone-drone itu kehilangan formasi, menjerit dalam frekuensi digital—mencari sinkronisasi yang tak lagi mungkin. Gelombang energi memantul, saling memperkuat.

Dalam sepersekian detik, generator berubah dari sumber daya menjadi pusat gravitasional. Semuanya tertarik ke sana.

Drone menghantam logam. KLANG. KLANG. KLANG.

“—O o…” Delphie berbisik. “Gawat.”

Percikan listrik menari di udara seperti hujan biru. Udara mulai berbau ozon, getir dan panas. Generator bergetar, panelnya menyala merah—indikasi thermal breach.

Delphie berlari ke panel kontrol, menekan tombol SHUTDOWN.

Tak bereaksi. Menekan lagi, lebih keras. Masih tidak bereaksi.

Sistem keamanan internal sudah lumpuh. Aliran energi mulai looping di sirkuit lama, mencari jalur keluar. Temperatur naik cepat—logam di sekitar dinding mengembun oleh panas statis. Gelombang kejut elektromagnetik pertama membuat rambutnya berdiri.

Kemudian yang kedua—lebih keras—membuat giginya nyeri. Udara terasa padat, seperti bisa digenggam. Matanya menangkap titik merah menyala di inti generator.

Overheat.

Ia tahu artinya: satu menit sebelum ledakan plasma.

“Ini buruk,” gumamnya. “Ini sangat, sangat buruk.”

Suaranya datar. Tenang. Jenis ketenangan yang muncul ketika otak tahu—panik tak lagi berguna. Ia hanya butuh satu keputusan: keluar atau mati.

Delphie berbalik ke arah pintu—dan di saat itu, lampu ruangan padam. Cahaya terakhir yang ia lihat adalah kilatan biru kehijauan dari sisa drone yang terhisap ke inti generator, lalu—sebuah siluet.

Seseorang berdiri di ambang pintu, berbalik arah cahaya. Tubuh mungil. Rambut hitam. Mata yang tidak memantulkan cahaya apa pun.

IV. Gadis yang Tidak Seharusnya Ada

Delphie membeku.

Seorang gadis melangkah masuk. Mungil, kira-kira seusianya—mungkin sedikit lebih pendek. Rambut pendek hitam legam, sisi kepala tipis, potongan presisi seperti hasil mesin. Tubuhnya ramping tapi terasa padat, seperti sesuatu yang dibuat untuk bertahan, bukan untuk hidup.

Tangan di saku celana kargo hitam. Ekspresi wajah… kosong. Bukan dingin. Bukan acuh. Hanya absen—seperti wajah yang lupa bagaimana rasanya jadi manusia. Mata gadis itu menatap Delphie sebentar, cepat, seolah melakukan scan.

Kemudian beralih ke generator di sudut ruangan yang mulai memuntahkan asap dari ventilasinya. Delphie tidak bergerak. Semua alarm di otaknya menyala bersamaan:

Bagaimana dia masuk?
Kenapa sensor tidak bereaksi?
Siapa dia?
Dan kenapa dia terlihat begitu tenang?

Gadis itu berjalan bukan langkah gugup, bukan langkah santai, tapi gerak efisien, seperti setiap sentimeter tubuhnya tahu berapa energi yang diperlukan untuk berpindah posisi. Ia tidak terburu-buru. Tidak ragu. Seolah ledakan yang akan terjadi hanyalah gangguan kecil dalam rutinitasnya.

Delphie ingin berteriak, ingin berkata “Keluar! Ini akan meledak!” Tapi sesuatu yang lebih dalam dari logikanya menahannya. Naluri purba dalam dirinya yang tahu membedakan predator dari penyelamat berbisik:

“Jangan ganggu. Dia tahu apa yang dia lakukan.”

Getaran di lantai semakin kuat. Panasnya bukan lagi tidak nyaman tapi mengancam. Udara padat oleh ion, dan keringat di pelipis Delphie menetes seperti detik yang menghitung kematian.

Gadis itu berhenti di depan generator. Perlahan, untuk pertama kalinya, ia mengeluarkan tangan dari saku gerakan kecil tapi penuh makna, seperti samurai yang memutuskan pertarungan sudah dimulai. Jari-jarinya menari di panel kontrol. Tekan, geser, tarik—gerakan yang terlalu cepat untuk sekadar percobaan.

Ia menarik tuas tersembunyi di bawah panel yang bahkan Delphie tidak tahu ada. Generator mengubah nada: dari scream menjadi whine, dari whine menjadi hum pelan—

lalu sunyi.

Klik.

Semua berhenti. Delphie baru sadar ia menahan napas. Lututnya melemas, udara keluar dari paru-paru dengan suara kecil yang nyaris seperti isakan. Keheningan terasa berat. Bukan keheningan setelah bencana, tapi keheningan sebelum sesuatu yang lain mulai terjadi.

Gadis itu menatap Delphie. Mata hitam gelap—warna yang lumrah muncul di wajah Asia—menangkapnya dalam pandangan yang nyaris tidak manusiawi. Bukan memandang ke arah Delphie, tapi ke dalam dirinya. Rasanya seperti setiap rahasia yang pernah ia sembunyikan baru saja dibuka dan dibaca dengan tenang.

Tanpa sadar, Delphie mencoba meniru postur gadis itu: memasukkan tangan ke saku, bahu sedikit miring, ekspresi dibuat tenang. Usaha itu berlangsung dua detik sebelum gadis itu melirik cepat—gerakan kecil tapi jelas: serius, lo nyoba gaya gue?

Bola matanya berputar. Gestur universal rasa kesal. Delphie memerah. Cepat-cepat menarik tangannya dari saku, lalu berdiri kaku seperti anak sekolah ketahuan menyontek. Gadis itu menatapnya satu detik lebih lama—lalu tersenyum kecil. Nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk mengubah tekanan udara di ruangan.

Ia berbalik, melangkah menuju pintu. Delphie ingin bicara. Terima kasih? Siapa kamu? Apa yang barusan terjadi? Tapi suaranya hilang di tenggorokan.

Gadis itu berhenti di ambang. Menoleh. Senyumnya lenyap, digantikan tatapan tajam—bukan mengancam, tapi mengandung perintah. Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya: sebuah chip kecil, berwarna logam kusam dengan pola etching seperti rangkaian sirkuit alien.

Klang.

Chip itu jatuh ke lantai. Tanpa sepatah kata pun, gadis itu pergi. Pintu menutup sendiri—perlahan, lalu klik. Delphie sendirian lagi. Ruangan terasa lebih besar daripada sebelumnya. Dan di tengahnya, chip kecil itu masih berkilau samar,

seperti sisa kalimat dari seseorang yang belum selesai bicara.

V. Chip dan Pertanyaan yang Tidak Bisa Dijawab

Delphie berdiri diam selama—dia tidak tahu berapa lama. Otaknya masih mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Akhirnya, kakinya bergerak. Dia berjalan ke chip, mengambilnya. Dingin. Lebih berat dari yang terlihat. Pola torehannya-nya bukan dekorasi—ini adalah circuit microscopic, terlalu rumit untuk dibuat dengan teknologi Delta 4.

Ini adalah teknologi lain.

Delphie memasukkannya ke saku jaket, pikirannya sudah berputar:

Siapa dia?
Bagaimana dia tahu tentang ruangan ini?
Kenapa dia membantu?
Kenapa dia memberikan ini?

Tidak ada jawaban. Hanya pertanyaan yang berkembang biak.

Dengan gerakan mekanis—autopilot—Delphie mulai membereskan peralatannya, mematikan semua sistem, mengunci ruangan. Mikro-drone-nya rusak semua casing retak, circuit hangus. Tidak bisa diperbaiki.

Tidak apa-apa. Dia punya masalah yang lebih besar sekarang. Dia harus pulang. Ibunya hari ini landing dari perjalanan kargo. Kalau Delphie terlambat, akan ada pertanyaan. Dan pertanyaan adalah hal terakhir yang Delphie ingin hadapi sekarang.

VI. Apartemen dan Aroma yang Akrab

Begitu pintu apartemen terbuka, Delphie disambut oleh aroma yang membuatnya berhenti sejenak: rendang. Ibunya sedang masak rendang—resep warisan dari nenek yang tidak pernah Delphie temui, dari planet yang sudah tidak ada lagi.

Julia Rose berdiri di dapur kecil apartemen mereka, masih mengenakan seragam navigator pilot unit kargo Delta 4—jumpsuit abu-abu dengan patch Klan Zygos di lengan kiri. Rambutnya diikat ketat, wajahnya terlihat lelah tapi tersenyum ketika melihat Delphie. Lima belas tahun telah berlalu sejak kejadian di Dayan, banyak hal telah dilalui Julia. Beberapa tahun terakhir ini hidupnya mulai stabil di Delta 4, tepat ketika Delphie mulai remaja.

“Dari mana saja kamu?” suara ibunya hangat, tapi ada penekanan yang Delphie sangat kenali: observasi. Ibunya selalu mengamati.

“Baik, Bu. Gimana perjalanannya?” Delphie berusaha terdengar normal, kasual, tidak seperti seseorang yang baru saja hampir mati dalam ledakan dan bertemu gadis misterius yang bisa hack ruangan Faraday.

Julia mulai bercerita sambil mengaduk rendang di wajan—tentang sektor baru di ujung galaksi, tentang bintang kelas M yang masih tidak stabil, tentang nebula yang terlihat seperti wajah tersenyum kalau dilihat dari sudut tertentu. Suaranya semangat, Julia memang selalu mencintai pekerjaannya.

Delphie mendengarkan, atau mencoba mendengarkan. Tapi setengah dari pikirannya masih di ruangan tua itu, masih memutar ulang cara gadis itu bergerak, cara dia menatap, cara dia…

“Oh, dan ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu.”

Nada Julia berubah. Dari hangat menjadi serius. Jantung Delphie seolah berhenti berdetak.

Dia tahu.
Entah bagaimana, dia tahu.
Mungkin ada tracker di jaket.
Mungkin ada alat surveillance yang tidak aku ketahui.
Mungkin

“Ada apa, Bu?” Delphie berusaha terdengar normal, tapi suaranya keluar sedikit lebih tinggi dari biasanya. Julia mematikan kompor, berbalik, menatap Delphie dengan ekspresi yang Delphie tidak bisa baca. Bukan marah. Bukan khawatir. Hanya… serius.

“Kita harus pindah,” kata Julia pelan. “Dalam dua minggu.” Delphie terkejut, “Pindah? Kemana?”. “Aku dapat penugasan baru. Sektor luar. Koloni luar di Delta 7.” Julia menarik napas. “Bayarannya lebih baik. Sekolah di sana lebih bagus. Dan…” dia berhenti, memilih kata dengan hati-hati, “…lebih aman.”

“Lebih aman dari apa?”

Julia tidak menjawab langsung. Sebaliknya, dia menatap ke jendela—ke bintang-bintang yang berkedip di luar—dengan ekspresi yang Delphie tidak pernah lihat sebelumnya di wajah ibunya. Takut. “Dari hal-hal yang mungkin akan datang,” bisiknya akhirnya.

VII. Pengawas yang Tidak Terlihat

Di tempat lain—di atap bangunan 30 meter di atas apartemen Julia dan Delphie—NiuNiu duduk bersila, tidak terlihat dalam bayang-bayang, nanosuit-nya dalam mode stealth.

Di depannya, layar holografik transparan menampilkan feed visual dari kamera microscopic yang dia pasang di apartemen Julia seminggu lalu. Dia menonton interaksi ibu dan anak itu dengan ekspresi yang—kalau ada yang bisa melihat—adalah campuran antara rasa geli dan nostalgia.

NiuNiu nyaris tidak bisa menahan tawa melihat Delphie mencoba menyembunyikan kecanggungannya. Bocah ini buruk sekali dalam urusan berbohong. Bahasa tubuhnya berteriak aku menyembunyikan sesuatu, tapi kelihatannya Julia tidak—atau pura-pura tidak—menyadarinya.

Lucu, pikir NiuNiu. Aku dulu seperti itu. Sebelum aku belajar bahwa kejujuran adalah kemewahan yang tidak bisa aku bayar.

Dia dulu seusia Delphie—secara kronologis, sekitar dua dekade lalu. Tapi secara fisik, dia masih terjebak di tubuh 15 tahun. Efek samping dari… sesuatu yang terjadi di The Void. Sesuatu yang bahkan dia tidak sepenuhnya mengerti.

Perbedaan antara NiuNiu dan Delphie sedalam jurang tanpa dasar. NiuNiu sudah belajar—melalui rasa sakit, kehilangan, dan darah—bahwa untuk bertahan hidup, kau harus bisa berbohong tanpa ragu. Harus bisa membunuh tanpa ragu. Harus bisa menyembunyikan setiap emosi di balik wajah netral sempurna.

Delphie belum tahu apa-apa. Belum.

Semoga dia tidak perlu belajar, pikir NiuNiu, lalu mengoreksi dirinya sendiri. Tidak. Dia mau tak mau harus belajar. Dan itu akan terjadi lebih cepat dari yang dia bayangkan.

Ia menatap layar holografik di depannya. Hitung mundur digital berdenyut dalam cahaya merah samar:

09:47 — Menuju Serangan Vrishchik

Chip yang NiuNiu titipkan ke Delphie sebenarnya pengacak sinyal portabel—seharusnya cukup untuk mengacak sinyal bio Delphie dan Julia dari scanner Vrishchik. Tapi ada satu masalah nyata: apartemen itu terlalu terekspos. Terlalu banyak jendela. Terlalu sedikit rute pelarian. Jammer bisa menunda deteksi, bukan mengubah arsitektur ruang.

Vrishchik sudah tahu lokasi mereka. NiuNiu membajak komunikasi mereka tiga jam lalu; pola pergerakan, waktu kesiapan, rute pelarian—semua terekam. Strike team Vrishchik sudah di deploy. ETA: kurang dari sepuluh menit.

Julia mungkin bisa melawan. Mantan sersan Vrishchik—latihan tempur terekam di ototnya, refleksnya masih tajam. Tapi dia seorang ibu menghadapi dua puluh elite bersenjata, sementara anaknya tidak terlatih. Posisi yang buruk. Sangat buruk.

Makanya NiuNiu ada di sini.

Ia memeriksa perlengkapannya sekali lagi. Dua senapan mesin mini custom dengan peredam; enam magazen peluru kapasitas besar; delapan mini-drone peledak; satu drone EMP; dua bom asap; Andamante—pisau lipat ganda miliknya—tersemat di holster paha.

Untuk menghadapi dua puluh orang. Harusnya cukup.

NiuNiu menarik napas panjang, menutup celah antara tubuhnya dan misi. Nanosuit merespons: mode stealth berubah menjadi mode tempur urban, material berubah dari tidak terlihat ke hitam kilap kemudian jadi matte-gray yang menyerap cahaya. HUD (Heads-Up Display) menyala; data taktis mengambang di penglihatannya—peta panas, jalur masuk tim musuh, titik lemah struktural dinding luar, dan waktu yang terus menurun.

Countdown di HUD: 08:12.

Ia berdiri. Meregangkan otot yang terasa seperti terlalu lama tidur. Gerakannya cair — bukan karena ia berniat pamer, tapi karena gerakan itu lahir dari ribuan kali latihan: napas, langkah, pelepasan senjata yang presisi.

Lompatannya sudah diukur. Ia menilai angin, jarak, momentum. Dari atap ke balkon bawah: tiga puluh meter free fall. Tidak ada suara ekstra; hanya udara yang memeluk tubuhnya saat ia meluncur. Nanosuit meredam gesekan, sendi mengunci, tumit menyentuh beton balkonnya tanpa getaran.

07:55.

Dia sudah di posisi. Bayangannya berbaur dengan sudut gelap balkon, sensor suit mengintai setiap detik sampai target masuk jangkauan optimal. Ia mengunci rute intercept di HUD — jalur singkat, blind spot, titik pendaratan untuk drone peledak.

Target: Vrishchik strike team.

Objective: Lindungi Julia & Delphie Rose.

Metode: Kill All Vrishchik.

Kalkulasi terakhir: waktu reaksi musuh, risiko collateral, kemungkinan Delphie terluka. Semua angka itu melintas cepat, tanpa emosi—hanya probabilitas dan tindakan.

NiuNiu menutup komlink kecil di pergelangan tangannya; jammer chip di apartemen sedang berfungsi, menunda radar musuh beberapa detik lagi—cukup untuk momen pertama. Ia menempelkan ujung jari ke sensor Andamante, merasakan dingin logam sebelum panas darah.

Di bawahnya, koridor dan pintu apartemen menunggu. Di dalam—Julia dan Delphie—tanpa sadar berjalan mendekati titik di mana nasib mereka akan diputuskan.

NiuNiu mengatur napas. Matanya menajam, target pada frame mentalnya. Ruang kosong di antara dia dan tim Vrishchik semata-mata satu hal: waktu.

Dan waktu itulah yang akan ia habisi.

VIII. Sepuluh Detik Sebelum Pintu Dirobohkan

00:10

NiuNiu siap di posisi.

Target sudah mendekat dari arah utara koridor. Dua puluh tanda panas bergerak cepat, formasi berbentuk V. Vrishchik Elite. Armor berat. Reaktor nuklir mini di punggung.

Berisik bahkan dalam diam.

Ia mengetikkan di komunikasi internal.

“Dorian Grey, Phase One. Start”

Suara mekanis di kepalanya menjawab datar:

“Confirmed.”

Dua mini-drone peledak keluar dari kapsul di pinggangnya. Melayang sejajar lantai.

Masing-masing berukuran sekepalan tangan bayi, tubuh logamnya berdenyut dengan cahaya merah halus.

00:09

Satu napas.

Dua napas.

Drone pertama terbang rendah menyusuri lantai. Drone kedua naik, menempel di langit-langit. Keduanya berhenti di titik persilangan antara bayangan dan cahaya dari lampu koridor. NiuNiu menurunkan visor helmnya. HUD menampilkan lintasan tembak.

Ia menandai kepala tiga target terdepan.

00:08

blep. blep. blep.

Tiga kepala pecah nyaris bersamaan. Darah hitam menyemprot dinding.

Tidak ada waktu untuk mereka berteriak.

00:07

Vrishchik bereaksi cepat. Sisanya berpencar. Dua di kiri, tiga di kanan, sisanya mundur ke formasi bertahan. Mereka menembak membabi buta ke arah bayangan. Peluru plasma menghantam dinding logam, memantul jadi serpihan cahaya biru.

NiuNiu sudah berpindah posisi. Ia bergerak di sela dinding secepat arus listrik, tubuhnya hanya bayangan abu-abu.

Dua lagi roboh, leher terpotong bersih oleh Andamante yang melesat seperti kilat.

00:06

Ledakan pertama.

Mini-drone di langit-langit meledak—gelombang kejut vertikal, serpihan mikro menembus armor Vrishchik seperti hujan jarum.

Asap tebal mengepul, menelan seluruh lorong.

00:05

Di dalam apartemen, Julia menoleh ke arah pintu. “Delphie! Tiarap!” serunya.

Refleks lamanya bangkit; tangannya otomatis mencari senjata. Tapi dia hanya menemukan pengait sabuk utilitas—ia lupa ia sudah lama tidak bersenjata.

00:04

NiuNiu aktifkan penglihatan inframerah. Asap kamuflase bagi lawannya berarti buta. Bagi NiuNiu, itu layar kosong dengan titik-titik merah:

satu, dua, tiga… sepuluh musuh tersisa.

Ia meluncurkan dua drone terakhir. Satu ledakan lagi—boom!—menyapu sisi kanan lorong. Potongan armor terlempar menabrak dinding seperti logam berteriak.

00:03

Julia membuka lemari darurat di dapur. Senjata servis militer. Tersembunyi dengan baik.

Ia menarik pelatuk, klik. Masih berfungsi. Mata Julia berubah: bukan lagi ibu, tapi prajurit.

00:02

NiuNiu merasakan pergerakan lain.

Empat tanda panas menembus koridor—dari arah tangga barat.

Backup.

Ia mengganti mode tembak. Burst-fire silent.

blep-blep-blep.

Tiga jatuh. Satu masih berdiri.

Pisau Andamante meluncur tanpa suara, menembus helm terakhir.

00:01

Suara langkah mendekat dari belakang pintu apartemen Julia.

Vrishchik terakhir menendang keras.

Pintu bergetar. Jatuh bersamaan dengan meledaknya kepala Vrishchik oleh pistol Julia.

00:00

NiuNiu melompat menembus jendela samping apartemen.

Kaca hancur dalam pola spiral.

Ia mendarat di ruang tamu, dua meter dari Julia dan Delphie. Visor di helm terbuka memperlihatkan wajahnya.

Julia berbalik cepat, mengarahkan senjata ke arah gadis mungil itu.

NiuNiu juga mengangkat senapan mininya.

Dua laras senjata berhadapan.

Hening.

Hanya dengung listrik dari nanosuit dan napas berat Julia yang terdengar.

Di antara mereka, Delphie berdiri, mata melebar. Bingung.

Tangan terangkat, tubuh gemetar.

“Kalian… gak akan saling tembak, kan?”

Udara berhenti.

Julia menatap anaknya, lalu menatap gadis yang tak seharusnya ada.

NiuNiu diam.

Waktu terasa seperti pecah menjadi partikel-partikel kecil.

Di luar, langkah pasukan Vrishchik lainnya mulai mendekat.

Gemuruh berat, ritmis, seperti jantung perang yang belum selesai berdetak.

IX. Gencatan Senjata Sementara

Hening menggantung seperti bilah pisau di udara.

Delphie masih berdiri di antara dua laras senjata yang siap menembak.

Matanya bergantian menatap dua sosok yang ia tidak mengerti—ibunya yang tiba-tiba berubah jadi prajurit, dan gadis misterius yang barusan menembus jendela dengan tenang seperti malaikat perang.

Julia menahan napas, ototnya kaku, mata terkunci pada musuh lamanya.

NiuNiu tak bergerak; hanya pupil matanya yang menyesuaikan fokus, menghitung setiap detik, setiap peluang.

“Delphie, mundur,” suara Julia rendah, stabil, tapi memancarkan otoritas yang tidak bisa ditawar.

Delphie ragu, tapi langkahnya mundur satu, dua, tiga—cukup untuk memberi ruang.

Julia perlahan menurunkan senjatanya.

NiuNiu menurunkan laras senjatanya satu detik setelahnya.

Gerakan mereka hampir sinkron, seperti dua sistem tempur yang diatur pada frekuensi yang sama—saling membaca tanpa kata.

Keheningan itu pecah oleh suara berat dari luar—

BRAK. BRAK. BRAK.

Langkah seragam logam menghantam lantai.

Vrishchik gelombang kedua sudah tiba.

Julia dan NiuNiu saling menatap.

Tak perlu kata. Insting lama Julia bekerja.

NiuNiu, dengan refleks tentara bayangan, sudah menyiapkan drone baru.

“Kiri, aku kanan,” kata Julia cepat.

NiuNiu menjawab tanpa suara—sekadar anggukan kecil.


00:20 hingga kontak.

NiuNiu melompat ke posisi di belakang meja ruang tamu, menyiapkan dua drone mini.

Julia mengambil posisi di dekat pintu dapur, memanfaatkan refleksi kaca untuk mengintai. Tangannya menekan tombol membuat pintu anti ledakan turun membuat mereka memiliki waktu dan jeda sementara.

Delphie bersembunyi di bawah meja. Dia tidak pernah tahu apartemennya punya pintu anti ledakan.

00:15.

Pintu anti ledakan apartemen berguncang.

Suara logam tergores.

Vrishchik mulai menggunakan pemotong plasma.

00:14.

NiuNiu membuka satu panel di pergelangan tangan kemudian mengetik. Teks hologram muncul di hadapan Julia.

“Apa yang kamu akan lakukan?”

Julia menoleh cepat, sedikit bingung bocah ini menggunakan teks. “Selain pintu ledakan belum ada ide, kau?”

Teks Hologram: “Saatnya memainkan EMP radius kecil.”

“Gunakan saat aku beri sinyal.”

00:12.

Dinding mulai memerah di sekitar engsel pintu.

Delphie menggigit bibir, tubuhnya gemetar, tapi tetap menahan posisi.

00:11.

Julia memberi tanda dengan dua jari.

NiuNiu menghitung—

3… 2… 1— pintu ledakan bolong.

00:08.

NiuNiu menerbangkan drone EMP melewati lubang untuk meledak dalam radius tiga meter. Membuat pintu ledakan hancur berantakan.

Lampu padam seketika.

Suara mesin Vrishchik di luar tergagap, senjata mereka kehilangan daya dalam 4 detik ke depan.

00:06.

Julia melompat dari perlindungan, melepaskan dua tembakan cepat ke arah pintu hancur yang terbakar.

Peluru menembus asap, dua Vrishchik masuk setengah terbakar oleh ledakan EMP langsung .

00:05.

NiuNiu meluncur ke depan, melompat di atas meja, melempar dua drone peledak kecil.

Ledakan terarah mengguncang ruangan, puing beterbangan.

Asap, serpihan logam, sisa darah.

00:04.

Julia menutup sisi kanan, menembak dua kali lagi.

NiuNiu menebas satu Vrishchik yang masih berdiri, pisau Andamante menembus armor leher tanpa suara.

00:03.

Efek EMP sudah habis. Delphie, dengan napas tersengal, mengaktifkan micro-drone-nya.

Formasi biru kehijauan muncul, membentuk perisai sementara di depan Julia.

Satu peluru plasma memantul dari perisai itu—menyulut percikan cahaya biru di udara.

00:02.

Julia menatap sekilas ke arah putrinya, tak percaya.

NiuNiu pun melirik, heran melihat sinkronisasi formasi drone itu begitu alami.

Anak ini bukan sekadar pintar—ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kecerdasan.

00:01.

Suara langkah terakhir.

Satu Vrishchik tersisa menubruk masuk, senjatanya menyala.

Julia dan NiuNiu bergerak bersamaan—dua arah, dua garis tembak, dua denyut jantung.

Tembakan mereka bertemu di tengah.

00:00.

Kepala Vrishchik terakhir meledak.

Tubuhnya jatuh, menciptakan gema logam yang panjang, menutup babak pertempuran.


Asap masih memenuhi ruangan. Delphie batuk pelan. Julia menurunkan senjatanya, bahunya naik-turun karena napas berat. NiuNiu mematikan mode tempur, suit-nya kembali redup ke warna hitam.

Mereka saling menatap lagi.

Kali ini bukan dengan ancaman—tapi pengakuan diam kalau mereka berdua bisa jadi tim yang baik.

“Kita belum selesai,” kata Julia akhirnya.

Teks hologram muncul: “Aku tahu,” jawab NiuNiu.

“Mereka akan datang lagi.”

Teks hologram: “Maka kita pergi.”

NiuNiu membuka panel di pergelangan tangannya, mengetik cepat. Dinding belakang apartemen bergeser, menyingkap lorong sempit menuju jalur servis.

Julia menggenggam tangan Delphie. Mereka bertiga melangkah ke dalam kegelapan yang menunggu.

Akhir dari Bab 3.


Bla bla bla