
Bab 4: Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.
2,120 words, 11 minutes read time.
Dorian Grey
I. Checkpoint yang Semakin Padat
Kapten Pippa mengisap cangklong cerutunya dalam-dalam—tarikan panjang dan terukur, seolah sedang mencoba menyerap lebih dari sekadar nikotin. Asap keluar perlahan dari sudut bibirnya, membentuk spiral tipis yang langsung disedot oleh ventilasi udara di kokpit.
Tangan kirinya—jari-jari kecokelatan dengan kuku yang terlalu rapi untuk seseorang yang hidup di kapal—mengelus jenggot panjangnya yang mulai beruban di beberapa bagian. Gerakan khas yang selalu muncul ketika ia sedang menghitung risiko.
Dan saat ini, risikonya tinggi.
“Terlalu banyak titik pemeriksaan,” gumamnya pelan—tidak jelas kepada siapa, dirinya sendiri atau kepada Dorian Grey. “Delta 4 dulu wilayah netral. Sekarang? banyak aktivitas Vrishchik praktis hampir menguasai seluruh ruang udaranya.”
Layar taktis di hadapannya menampilkan peta holografik wilayah udara Delta 4. Titik-titik merah—tanda pos pemeriksaan Vrishchik—berkembang biak seperti virus.
Seminggu lalu hanya ada tujuh. Sekarang sudah dua puluh tiga.
Tidak pernah diumumkan secara resmi ke publik, tapi semua orang tahu: Vrishchik sedang mengkonsolidasikan kekuasaan. Dan itu berarti, bisnis abu-abu seperti milik Pippa—penyelundupan, perantara informasi, atau menyelamatkan orang yang tidak ingin ditemukan—semakin berbahaya.
Satu-satunya alasan dia belum tertangkap hanyalah karena satu hal: dia adalah kapten Dorian Grey. Pippa menatap dinding kokpit—atau lebih tepatnya, permukaan mikrobot yang membentuk dinding itu. Gerakannya lambat, nyaris tak terlihat, seperti gelombang halus di air.
Mereka terus menyesuaikan diri, beradaptasi terhadap tekanan, suhu, dan ancaman.
Dorian Grey bukan sekadar kapal. Ia adalah organisme—koloni miliaran mikrobot kecerdasan buatan yang terhubung dalam satu kesadaran kolektif. Setiap mikrobot punya kendali kecil atas dirinya sendiri, tapi bersama-sama, mereka membentuk kecerdasan yang sulit dikategorikan.
Kadang Pippa bertanya-tanya, apakah Dorian adalah alat yang ia gunakan… atau makhluk yang dengan sabar menoleransi kehadirannya.
“Titik jemput sudah terdeteksi, Kapten Pippa.”
Suara Dorian terdengar dari segala arah sekaligus—halus, netral, dengan nada sedikit menyindir.Bukan berasal dari pengeras suara, melainkan dari udara itu sendiri. Karena di kapal ini, udara pun merupakan bagian dari dirinya.
Pippa menarik napas dalam.
“Ini tidak akan mudah, Dorian. Arahkan kita ke titik jemput. Pastikan senjata dan perisai dalam kondisi penuh.”
“Persenjataan 100%. Perisai 97%—kau lupa, kau belum membayar peningkatan sistem terakhir.”
Pippa mengangkat alis. “Kau kapal paling menyebalkan selama aku jadi kapten.”
“Aku tidak menyebalkan, Kapten. Aku jujur. Dan jujur saja, kau masih berutang pada dealer suku cadang di Sektor 9.”
“Fokus ke misi, Dorian.”
“Selalu, Kapten.”
II. Transformasi yang Narsis
Pippa menekan tombol di sandaran kursinya—kursi komando berlapis kulit sintetis yang sudah mulai retak di beberapa bagian, saksi betapa lamanya ia duduk di sana.
Responsnya langsung. Tubuh Dorian Grey mulai berubah.
Bukan transformasi mekanik seperti kapal biasa, tapi perubahan organik—milyaran mikrobot bergerak secara serempak, berpindah posisi, menyatu dan membentuk ulang struktur kapal.
Dari konfigurasi jelajah yang ramping dan ekonomis, Dorian berubah menjadi mode tempur: agresif, sarat senjata, dan siap melepaskan kekerasan. Struktur yang tadinya mulus kini menjadi berlapis, sisik logam tipis yang bisa bergerak independen untuk menyerap hentakan atau memantulkan energi serangan.
Dari layar kokpit—yang bukan kaca, melainkan formasi mikrobot transparan—Pippa menyaksikan perubahan itu. Sayap memanjang, port senjata terbuka, antena sensor merekah seperti urat saraf yang hidup.
Ia tidak sedang melihat mesin bekerja. Ia sedang menyaksikan sesuatu yang tumbuh.Data di pojok layar taktis bergerak cepat:
III. Menunggu dengan Kesabaran yang Retak
Di permukaan Delta 4—tepatnya di atap gudang tua di grid 23-B—NiuNiu berdiri di tepi bangunan, menatap langit yang mulai gelap.
Julia dan Delphie ada di belakangnya. Keduanya duduk di lantai beton yang dingin dan retak.
Delphie memeluk lututnya, masih berusaha memproses apa yang baru saja terjadi satu jam terakhir dalam hidupnya.
Julia memeriksa pistol cadangan yang diambil dari salah satu pasukan Vrishchik yang sudah mati. Klip penuh. Pengaman terbuka. Siap digunakan.
NiuNiu tampak diam. Nanosuit-nya dalam mode siaga—hitam matte yang menyerap cahaya. Dari jauh, ia seperti patung kecil… atau bayangan yang entah kenapa tampak tiga dimensi.
Tapi Julia tahu, ia tidak benar-benar diam.
Mata NiuNiu yang tampak kosong sebenarnya sedang memindai langit menggunakan penglihatan augmentasi nanosuit-nya.
Menjejak pergerakan satelit, menghitung lintasan intersepsi, memonitor frekuensi komunikasi.
Menunggu sesuatu.
Julia akhirnya berbicara—pelan, tapi cukup keras untuk didengar.
“Kenapa kau bantu kami?”
NiuNiu tidak menoleh. Tidak menjawab.
Julia mencoba lagi.
“Kau punya kontrak. Dari siapa?”
Kali ini, NiuNiu mengangkat tangan kiri. Gerakan malas.
Hologram kecil muncul dari pergelangan tangannya—tulisan melayang di udara:
“Pertanyaan yang salah, Julia. Pertanyaan yang benar adalah: kenapa seseorang membayar aku untuk menjaga kalian tetap hidup?”
Julia menatap teks itu, pikirannya berputar cepat.
“Agnia?”
Otot bahu NiuNiu menegang—gerakan nyaris tak terlihat, tapi bagi Julia, cukup jelas.
Teks baru muncul:
“Agnia tidak peduli kau hidup atau mati. Tapi dia peduli pada Delphie.”
Pegangan Julia pada pistol mengencang. “Kenapa?”
NiuNiu akhirnya berbalik—pelan, terukur.
Mata biru gelapnya menatap Julia dengan intensitas yang membuat udara di sekitar terasa berat.
“Karena Delphie adalah anak Sora. Dan Sora… adalah urusan yang rumit.”
Sebelum Julia sempat merespons, kepala NiuNiu menengadah cepat.
Matanya menyipit. Ia menunjuk ke langit.
Di sana—nyaris tak terlihat di antara langit yang menggelap—sesuatu berkilau samar.
Bukan bintang. Bukan satelit.
Dorian Grey.
Turun perlahan, dengan mode siluman aktif.
IV. Sambutan yang Tidak Ramah
Gerbang besar di bagian bawah Dorian Grey terbuka dengan desisan halus.
Cahaya biru lembut menyinari interior kapal—dinding logamnya hidup, berdenyut lembut.
NiuNiu masuk duluan. Tanpa ragu. Tanpa rasa takut.
Julia menggenggam tangan Delphie.
“Kita masuk. Tetap di dekatku.”
Mereka berjalan masuk—gerakan mereka canggung, meyakinkan diri apakah ini aman.
Begitu kaki menyentuh lantai kapal, Delphie langsung sadar sesuatu: lantainya hangat, seperti ada darah yang mengalir di bawahnya.
Dindingnya perlahan bernafas—mengembang dan menyusut pelan.
Delphie menutup mulutnya, terkejut.
“Ibu… ini…”
Julia mengangguk pelan. “Aku tahu. Ini bukan kapal biasa.”
Dari udara—bukan dari pengeras suara—suara Dorian terdengar:
“Julia Rose dan Delphie Rose, selamat datang di Dorian Grey. Harap menuju kokpit. Kapten Pippa menunggu kalian.”
Gerbang di belakang mereka menutup rapat. Tekanan udara menyesuaikan diri, terdengar letupan kecil di telinga mereka.
NiuNiu sudah berjalan di depan, langkahnya mantap, seolah tahu setiap lekuk kapal ini.
Julia dan Delphie mengikuti, menelusuri lorong yang dindingnya menampilkan pola-pola berubah.
Awalnya abstrak, lalu membentuk gambar samar: bintang, nebula, wajah-wajah kabur.
Delphie berbisik, “Kapal ini… pamer ya?”
Julia hampir tersenyum. “Sepertinya, iya. Narsis.”
Dorian menjawab, nada suaranya terdengar geli:
“Aku tidak narsis, Julia Rose. Aku hanya memiliki kesadaran estetika yang tinggi.”
Julia berhenti berjalan. “Kau bisa dengar kami?”
“Aku adalah kapal. Kalian ada di dalam tubuhku. Tentu aku bisa mendengar.”
Mata Delphie membesar. “Kau… hidup?”
“Pertanyaan yang lebih menarik, Delphie Rose, adalah: apakah kalian yakin kalian hidup?”
Keheningan menggantung.
NiuNiu di depan memutar matanya, mengetik cepat di pergelangan tangannya.
“Dorian, hentikan dramamu. Kita dikejar waktu.”
“Baiklah, baiklah,” jawab suara kapal itu. “Tapi aku hanya ingin memberi kesan pertama yang bagus.”
Teks holografik: “Itu masalahmu—kau selalu ingin memberi kesan.”
V. Kapten yang Bukan Kapten
Mereka tiba di kokpit—ruangan cukup luas dengan kursi komando di tengah, pos navigator di kiri, kursi pilot di kanan, dan kursi kapten di belakang, agak tinggi, seolah menjadi singgasana.
Di kursi komando, seorang pria duduk. Kulitnya gelap, berjenggot panjang, dan ada cerutu menyala di sudut bibirnya.
Ketika mereka masuk, ia berdiri dan membungkuk berlebihan.
“Julia dan Delphie Rose, selamat datang di Dorian Grey.”
Suaranya dalam, dengan logat yang Julia tak bisa tempatkan—campuran banyak dunia.
Julia langsung waspada. “Kapten Pippa?”
“Tepat sekali,” jawabnya dengan senyum santai. “Atau… nama yang kupakai minggu ini.”
NiuNiu duduk di kursi pilot tanpa menoleh, langsung melakukan pemeriksaan pra-terbang.
Julia melangkah maju. “Kapten Pippa, kami diburu Vrishchik. Jika kami meminta bantuanmu, apa imbalannya?”
Pippa tersenyum lebar. Ia menunjuk ke arah Delphie.
“Saya menginginkan dia.”
Refleks, gestur badan Jullia segera mendeteksi bahaya.
Namun sebelum ketegangan meningkat, Delphie justru bicara dengan suara tenang.
“Dalam kapasitas apa, Kapten?”
Pippa mengangkat alis—terkesan.
“Langsung ke inti. Aku suka itu.”
Ia menunjuk ke kursi kapten di belakang.
“Aku ingin kau duduk di sana.”
Delphie menatapnya ragu. “Kenapa?”
“Karena Dorian Grey butuh kapten yang sesungguhnya. Dan aku…” ia menghembuskan asap, “hanyalah pengganti sementara.”
Julia mengerutkan kening. “Maksudmu apa?”
Sebelum sempat dijawab, alarm meraung di seluruh kokpit.
Layar taktis menyala merah menyilaukan.
Suara Dorian terdengar—kali ini tidak tenang.
“Kapal Vrishchik terdeteksi. Radar mereka telah mengunci posisi kita. Peluncuran roket neutron dalam enam puluh detik.”
Pippa langsung bergerak. “NiuNiu, siapkan hyperjump! Julia, ambil posisi navigator! Dan Delphie—” ia mendorong bahu gadis itu ke kursi tinggi di belakang, “—duduk dan percayai nalurimu!”
Julia langsung duduk di kursi navigasi, data banjir di layar di depannya.
Delphie menduduki kursi kapten; begitu tubuhnya menyentuh sandaran, mikrobot di kursi menyesuaikan diri, memeluk bentuk tubuhnya, dan menampilkan layar holografik di sekelilingnya.
Antarmuka rumit itu terasa… familiar, entah kenapa.
Pippa berdiri di tengah ruangan, masih memegang cerutu. Ia tersenyum—senyum yang terasa tulus.
“Waktunya pertunjukan.”
Dan tubuhnya menghilang—membubarkan diri menjadi jutaan mikrobot yang menyerap ke dinding.
Delphie terkejut. “Apa—”
Teks holografik dari NiuNiu muncul di depan wajahnya:
“Kapten Pippa tidak pernah ada. Dia adalah bagian dari Dorian Grey. Dan sekarang, Kapten Delphie, kau punya 50 detik untuk menyelamatkan kita semua.”
VI. Sepuluh Detik Sebelum Tidak Ada yang Tersisa
“AKU TIDAK TAHU APA YANG HARUS DILAKUKAN!” teriak Delphie panik.
“Bernapas,” kata Julia tenang. “Lihat datanya. Apa yang dikatakan layar?”
Delphie memaksa diri fokus.
Tiga kapal Vrishchik.
Roket neutron: meluncur. Waktu tumbukan: 45 detik.
Energi Dorian Grey cukup untuk hyperjump.
Masalah: koordinat belum diatur.
“NiuNiu! Hyperjump sepuluh detik dari sekarang!”
Teks muncul di layar: “Siap, Kapten Cilik.”
Julia menghela napas panjang, setengah jengkel.
Delphie hampir tertawa gugup di tengah kepanikan.
Hitungan dimulai.
9 detik.
NiuNiu menatap panel. Jarum kecil muncul dari sandaran kursinya.
8 detik.
Jarum menembus kulit di belakang lehernya. Cairan biru tua mengalir ke pembuluh darahnya.
7 detik.
Seluruh kapal bergetar. Mikrobot menyala serempak, tersinkronisasi dengan gelombang otak NiuNiu.
Kapal dan manusia menyatu.
6 detik.
Julia melirik NiuNiu—darah menetes dari hidungnya.
“Delphie, apa yang terjadi padanya?”
“Dia… menyatu dengan kapal,” jawab Delphie cepat. “Untuk mempercepat hyperjump.”
5 detik.
NiuNiu kini bukan lagi satu tubuh. Kesadarannya menyebar di seluruh kapal, merasakan setiap serat logam, setiap getaran energi.
Dan juga—rasa sakit.
4 detik.
Suara Dorian keluar—tapi sekarang lapisannya bergema dengan suara NiuNiu.
“Sistem siap. Menunggu koordinat.”
Delphie menatap layar, mengikuti naluri.
Jari-jarinya bergerak cepat—memasukkan koordinat yang bahkan ia sendiri tidak tahu dari mana datangnya.
3 detik.
Julia melirik koordinat itu. “Delphie, itu—”
“Aku tahu, Ibu. Percayalah.”
2 detik.
Roket neutron terlihat jelas di kamera eksternal—bola cahaya putih yang datang menembus ruang.
1 detik.
Tangan Delphie gemetar di atas tombol aktivasi.
Ia merasakan sesuatu… sentuhan tak terlihat yang menuntunnya.
Dia tahu ini tangan NiuNiu.
Bersama-sama, mereka menekan tombol.
VII. Bagaimana Rasanya Tidak Ada
Ruang melipat.
Tidak ada kata lain untuk menggambarkannya.
Cahaya bintang berubah menjadi garis-garis panjang, waktu menjadi elastis—detik terasa seperti jam, lalu kembali jadi nol.
Julia menahan napas. Delphie memejamkan mata, tenggelam dalam badai sensasi yang tak bisa dijelaskan.
Dan NiuNiu—ia berada di mana-mana dan tidak di mana-mana sekaligus.
Kesadarannya terbentang di setiap mikrobot, di setiap partikel Dorian Grey.
Sakit.
Melelahkan.
Tapi juga… membebaskan.
Untuk sesaat yang terasa abadi, ia bukan lagi gadis berumur 15 tahun yang terjebak di tubuh kecil.
Ia adalah sesuatu yang jauh lebih besar.
Lalu—
SLAM.
Ruang kembali normal.
Mereka muncul di area aman, jauh dari Delta 4.
Jauh dari Vrishchik.
Untuk sementara.
VIII. Harga dari Bertahan Hidup
“Hyperjump berhasil,” suara Dorian tenang kembali. “Selamat datang di ruang aman.”
Julia terengah. “Kita… berhasil.”
Delphie terkulai di kursinya, tubuhnya gemetar lemah.
Di sisi lain, jarum di kursi pilot menarik diri.
Kesadaran NiuNiu kembali ke tubuhnya—keras, brutal, seperti ditarik paksa dari lautan tanpa udara.
Darah menetes dari hidung, mata, dan telinganya. Tubuhnya terkulai.
Julia bergerak cepat. Ia menampar pipi gadis itu keras.
“Bangun! Belum waktunya kau mati!”
Tamparan ketiga—tangan NiuNiu bergerak, menahan pergelangan Julia.
Matanya terbuka perlahan, pandangannya kabur.
Julia tersenyum tipis. “Selamat datang kembali.”
NiuNiu menepis tangannya lemah, lalu merosot ke lantai.
Ia berjongkok, kepala tertunduk di atas lutut.
Lalu mulai menangis.
Bukan tangis diam. Tapi tangis yang dalam, patah, dan manusiawi.
Tangis yang terdengar terlalu lemah untuk tubuh yang tampak sekuat baja.
Delphie menatapnya, bingung. “Kenapa dia…?”
Julia mengangkat tangan, memberi isyarat agar diam.
“Biarkan saja.”
Dari udara, suara Dorian terdengar—lebih lembut dari biasanya.
“Hyperjump selalu seperti ini baginya. Setiap kali dia menyatu denganku, dia mengingat hal-hal yang berusaha ia lupakan.”
Julia menatap gadis kecil itu, yang kini berlutut di lantai kapal canggih ini—hancur, menangis, tapi hidup.
“Apa yang dia ingat, Dorian?” seolah NiuNiu tidak ada disitu.
Hening sejenak.
Lalu suara itu menjawab, pelan:
“Sora. Dia selalu mengingat Sora.”
Akhir dari Bab 4.
Bla bla bla
