
Bab 6: Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.
2,227 words, 12 minutes read time.
Akashic Records
I. Bayangan dan Asap
Delphie duduk di sudut sunyi Akashic Records, kapal yang lebih mirip biara digital daripada markas perompak. Dindingnya bernafas dengan dengung rendah; suara mesin berlapis nada seolah ada paduan suara jauh di dalam logam.
Dia menatap jauh, mencoba memahami hidupnya yang tiba-tiba berbelok: dari anak remaja koloni Delta 4 menjadi kapten termuda di sebuah kapal yang hidup. Semua terjadi terlalu cepat.
Dengungan mesin menenangkannya sedikit—tapi tidak cukup.
Saat NiuNiu muncul dan duduk di samping, Delphie menghela napas. Gadis itu selalu muncul tanpa suara, seolah gravitasi menolak eksistensinya.
Dia tahu ibunya tidak suka NiuNiu berada di dekatnya, dan Delphie bisa lihat kenapa.
NiuNiu duduk disebelahnya menyalakan sebatang rokok, asap putih melingkar lambat seperti hologram rusak. Ia menyodorkan kotak rokok ke Delphie. Delphie menatapnya lama, lalu dengan sengaja menyentuhnya—sekadar membuat ibunya, yang mengawasi dari kejauhan kesal, geleng kepala dan pergi.
Misi kecil berhasil.
Delphie tersenyum, mendorong balik kotak itu ke arah NiuNiu sambil mengibas-ngibaskan asap di depan wajahnya.
“Kau tahu, NiuNiu,” katanya akhirnya, “aku belum sempat berterima kasih. Kau sudah menolong kami di Delta 4, dan juga… menolong ibuku.” Ia menunduk sedikit. “Tapi kalau kau sampai berbuat sesuatu yang mencelakakan dia—aku tidak akan pernah memaafkanmu.”
NiuNiu tidak menjawab. Tatapannya kosong ke arah langit-langit kapal, satu tangan di saku jaket perompak yang dikenakannya. Tapi Delphie tahu, setiap kata diserap penuh.
Beberapa detik hening. Lalu Delphie, dengan spontan, menggenggam tangan NiuNiu yang memegang rokok.
“Kita belum pernah berkenalan secara proper. Namaku Delphie, lengkapnya Delphie Rose,” katanya cerah. “Umurku lima belas tahun. Aku suka rendang.”
Kemudian ia merubah suara dengan nada berat dan malas:
“Hai, Kapten Delphie. Namaku NiuNiu. Aku pilot misterius yang tidak suka bicara, kelihatannya kita seumuran, tapi sebenarnya aku jauh lebih tua, dan hobiku bikin orang stres.”
NiuNiu mendengus. Ia melepaskan genggaman tangan Delphie dengan kibasan cepat, berdiri, lalu mematikan rokoknya. Sebelum pergi, ia menatap Delphie sebentar—dan untuk sepersekian detik, senyum tipis muncul dibibirnya.
Dia mengerti mengapa Dorian Grey memilih gadis ini sebagai kapten.
Delphie adalah percikan kecil kehidupan di tengah reruntuhan semesta.
II. Dua Wanita Berhadapan Kembali
Ruang observasi Akashic Records tenang, hanya diisi pantulan bintang di kaca besar.
Julia berdiri di sana menatap bintang di semesta. NiuNiu masuk, menutup pintu, bersandar di dinding tanpa bicara.
“Apa yang sebenarnya Hasan inginkan?” tanya Julia tanpa menoleh.
NiuNiu menggerakkan jari di panel pergelangan tangannya.
Teks holografik muncul di udara.
“Sejauh yang aku bisa korek Hasan ingin artefak peninggalan The Void. Sesuatu yang bisa mengubah segalanya. Karena dia tahu Vrishchik juga menginginkannya.”
Julia memutar kepala, menatapnya datar.
“Dan kamu? Apa yang kamu inginkan?”
NiuNiu mengetik singkat.
“Aku cuma ingin memenangkan penghargaan ‘bibi terbaik tahun ini’.”
Julia mengembuskan napas berat.
“Kau di sini karena Sora. Ayah Delphie adalah suamimu.”
Keheningan turun seperti kabut.
NiuNiu masih menatap luar angkasa, jari-jarinya bergerak lagi.
“Lebih tepat: mantan suami. Sora sudah bukan suamiku jauh sebelum ia bertemu kau.”
“Yang perlu kau khawatirkan bukan aku, tapi Agnia.”
“Secara darah aku dan Agnia memang bertalian. Tapi Agnia… dia Ratu-nya.”
“Dan dia kunci agar kalian bisa selamat dari Vrishchik.”
Julia tidak terkejut—hanya semakin paham.
Ia telah mempelajari semua hal tentang klan Didymoi setelah kejadian Dayan lima belas tahun lalu. Sejak Vrishchik memburunya. Dan Sora berkata kalau Didymoi adalah masa depannya.
Kini semua potongan mulai pas.
“Jadi,” ujarnya pelan, “Sora adalah kekasih kembaranmu Agnia Nakamoto, Ratu New Mercury, yang adalah juga mantan suamimu.”
Julia mendesah atas konfirmasi risetnya selama ini. “Ini mulai terdengar seperti drama sinetron antariksa kelas berat.”
NiuNiu mengabaikan nada sarkastik itu dan mengetik lagi.
“Agnia mengirim Sora ke Dayan untuk menghentikanku menghancurkan tempat itu.”
“Tapi Sora memilih kau. Dan lahirlah Delphie.”
“Aku memilih menyelamatkanmu, bukan Sora. Agnia tidak akan melupakan itu.”
Julia menatap hampa ke luar jendela.
Semesta tampak luas dan kosong, tapi intrik ningrat klan membuatnya terasa sesak.
Ningrat—hal yang paling ia benci—kini mengepungnya lagi. Julia sudah mengerjakan pr-nya dia tahu NiuNiu, Agnia, Sora bahkan Hasan dan istrinya Sevraya adalah para ningrat yang saling berkait.
“Kenapa kau menyelamatkanku, bukan Sora?”
“Dan siapa sebenarnya kau, Niuma Nakamoto?”
NiuNiu berhenti sejenak, menatap Julia.
Kemudian teks terakhir muncul.
“Namaku NiuNiu, bukan Niuma. Aku bukan pewaris, hanya sisa.”
“Alasan aku menyelamatkanmu? Hanya semesta yang tahu.”
“Tapi sekarang dengar: dalam tiga puluh detik Hasan akan sadar dari bius.”
“Kita dalam posisi yang sulit karena aku sudah mengambil sesuatu yang dia sembunyikan.”
NiuNiu menarik sesuatu dari sakunya—sebuah batu merah, berdenyut seperti jantung kecil.
Julia menyipitkan mata. Dadanya mulai berdegub kencang. Waspada.
“Apa lagi itu?”
“Artefak The Void. Benda yang bekas klanmu cari mati-matian.”
“Hasan menyimpannya di bawah ranjangnya.”
Julia mendengus sinis.
“Kau mencuri dari bawah ranjangnya? Aku selalu pikir seorang ningrat tidak tidur dengan suami ningrat lainnya. Apa yang akan terjadi kalau Sevraya tahu?”
NiuNiu mengetik tanpa ekspresi.
“Aku bukan ningrat. Kita berdua punya satu kesamaan. Kita tidak punya klan! Tapi kita punya rezeki yang beda, Julia. Rezekimu tidur bersama Sora adalah Delphie. Rezekiku tidur bersama Hasan adalah—artefak ini.”
Julia mendengus, kehilangan kesabaran.
“Dan kau pikir artefak ini bisa jadi alat tawar dengan Agnia?”
“Agnia benci padamu, tapi dia tidak bodoh.”
“Dengan artefak ini, kau bisa buat dia mendengar.”
“Dan hanya pasukannya yang bisa menandingi Vrishchik.”
Sebelum Julia sempat menjawab, NiuNiu melepaskan jaket dan sweater, didalamnya dia telah mengenakan nanosuit lengkap, serta mulai menekan panel di nanosuit-nya.
Helm nanosuit menutup kemudian lapisan logam cair menutupi tubuhnya, siap untuk hyperjump.
“Waktu habis Julia. Hasan akan sadar sebentar lagi. Bilang Delphie aku meninggalkan sesuatu yang bisa dia pakai di Dorian, semoga beruntung”
NiuNiu melemparkan artefak merah itu ke tangan Julia.
Cahaya putih menyelimuti tubuhnya—dan dalam sekejap, ia menghilang.
Julia berdiri terpaku, menatap kosong ke udara.
Batu merah itu berdenyut di telapak tangannya.
“Bocah Ningrat Keparat,” gumamnya. “Selalu meninggalkan kekacauan di belakangnya.”
III. Serangan
Alarm meraung memecah keheningan.
Dentuman logam keras mengguncang Akashic Records—sekali, dua kali, tiga kali. Julia langsung bereaksi, menyembunyikan artefak The Void di kantong celananya sambil berlari keluar dari ruang observasi.
Vrishchik.
Ia mengenali pola serangannya—tiga ledakan sistematis, brutal, tanpa ampun.
Melalui penyadap kecil di gelang Delphie, titik sinyal muncul di peta retina mata Julia. Titik merah bergerak cepat—Delphie juga sedang berlari.
Aku harus menemukannya. Sekarang.
Lorong-lorong kapal berubah jadi neraka mekanik. Ledakan di setiap belokan. Para perompak dan Vrishchik saling tembak. Tubuh-tubuh berjatuhan. Asap memenuhi udara.
Julia menahan napas, menembak dua bayangan bersenjata Bio-suit yang menghalangi jalannya, lalu terus berlari. Titik merah di layar retinanya semakin dekat.
Mereka bertemu di persimpangan lorong sempit—di tengah asap dan alarm yang melengking.
“Ibu!” Delphie terengah, wajahnya pucat.
“Ke hanggar. Sekarang!” Julia meraih pergelangan tangan anaknya dan menariknya berlari.
Suara tembakan, jeritan, denting logam—orkestra perang yang tak henti-hentinya. Julia memeriksa peta mini di lengannya. “Ada jalur servis menuju hanggar. Kita lewat situ—cepat!”
Mereka menyusup melalui saluran penyelamat, merangkak dalam kegelapan yang sempit dan pengap. Ledakan bergetar dari jauh, struktur kapal mulai retak. Udara terasa panas dan sesak.
Setelah menit-menit yang terasa seperti jam, mereka mencapai pintu logam besar. Julia meretas panel dengan cepat—pintu berderit terbuka.
Hanggar terbentang di depan mereka. Pesawat dan drone Vrishchik memenuhi ruang. Akashic Records sudah jatuh. Vrishchik menguasai hampir keseluruhan kapal.
Tapi ada satu area—dekat Dorian Grey—yang tampak longgar penjagaannya.
Jebakan?
Julia tidak punya pilihan lain.
“Sekarang,” bisiknya.
Mereka bergerak cepat, bersembunyi di balik bayangan pesawat Vrishchik. Setiap langkah terasa seperti berjalan di atas pisau. Seorang prajurit Vrishchik menoleh ke arah mereka—
Delphie melempar drone kecil, mengaktifkan suara umpan.
Gemerincing keras mengalihkan perhatian pasukan. Kesempatan terbuka.
Mereka berlari.
Julia membuka panel akses di lambung Dorian Grey dengan tangan gemetar. Pintu terbuka. Mereka masuk, mengunci dari dalam.
Sistem kapal menyala—mesin berdengung, lampu berpendar. Hidup.
“Dorian, hidupkan sistem utama!” teriak Delphie sambil berlari ke kokpit.
Tapi suara yang menjawab bukan AI Dorian.
“Selamat datang kembali, nona-nona Rose.”
Julia berhenti. Sosok besar duduk di kursi pilot menghadap mereka—mata bengkak, pelipis berdarah. Hasan Al Hul.
Pistol berperedam di tangannya mengarah langsung ke mereka.
“Selamat datang di Dorian Grey Airlines, penerbangan 666 menuju neraka.” Senyumnya lebar, tapi matanya dingin. “Pilot: Hasan Al Hul. Co-pilot: Sersan Julia Rose. Kapten kapal: Delphie Rose. Mari kita beri tepuk tangan yang meriah.”
Julia tidak bergerak. “Kau akan menembak kami?”
Hasan tertawa pendek. “Tenang saja. Aku tidak akan menembak kalian—belum.” Ia mengangkat pistolnya sedikit. “Kalian butuh pilot untuk keluar hidup-hidup. Aku butuh kapten dan navigator. Dan yang paling penting—” matanya menatap kantong celana Julia, “—artefak The Void di kantongmu sangat dibutuhkan kalau mau keluar dari sini.”
Keheningan sesaat.
Ledakan lain mengguncang kapal dari luar. Mereka sudah dideteksi.
Hasan tiba-tiba membalikkan kursinya, membuang pistol ke lantai, lalu menghadap dashboard. “Sersan Julia, duduk di co-pilot. Bantu aku hack sistem hanggar. Kapten Delphie, atur koordinat peluncuran. Kalau saja aku bisa unlock sistem pilot ini”
Julia tidak membuang waktu—langsung duduk di kursi co-pilot. Delphie bergegas ke kursi kapten. Julia teringat sesuatu: “Delphie, NiuNiu bilang dia meninggalkan sesuatu untuk Dorian?”
Hasan menekan beberapa tombol. Layar menyala, menunjukkan posisi drone mini Vrishchik yang mengepung hanggar. Delphie merogoh sakunya menyentuh chip yang ditinggalkan NiuNiu di Delta 4. Dengan yakin melemparnya ke Hasan. “Didymoi seal?” gumam Hasan terkejut. Satu detik kemudian AI Dorian mengkonfirmasi: “Pilot: Hasan Al Hul, Co-Pilot: Julia Rose, Kapten: Delphie Rose. Status pilot control unlock. Ready for Take Off!”
“Kita kabur sekarang—atau mati di sini,” kata Hasan.
Tangannya sudah di tuas kendali.
Delphie menarik napas dalam. “Koordinat siap.”
Julia mulai meretas sistem keamanan hanggar.
Dan di luar, suara tembakan semakin dekat.
Hitungan mundur dimulai.
IV. Protokol Hantu
Dorian Grey meluncur mundur dengan kecepatan penuh, Pantat belakangnya menghantam dua pesawat Vrishchik yang terparkir. Ledakan kecil mekar di belakang mereka. Hasan mencengkeram kemudi dengan satu tangan, mata terfokus pada layar koordinat.
“Jadi apa rencanamu?” Julia memasang sabuk pengamannya sambil melirik Hasan.
Hasan menyeringai. “Rencananya sederhana—aku tidak menembakmu, jadi kau bisa menembak semua yang bergerak di depan kita. Membuka jalan buat Take Off” Tangannya terentang meminta. “Artefaknya, Julia. Sekarang.”
Julia menutup mata sejenak—lalu melempar batu merah itu.
Hasan menangkapnya tanpa menoleh, memasukkannya ke panel kemudi yang terbuka. Cahaya merah menyala, menerangi seluruh kabin seperti alarm jantung.
Suara datar Dorian bergema: “Sinkronisasi artefak dimulai. Protokol Hantu aktif dalam sepuluh detik.”
“Kapten,” Hasan menoleh ke belakang. “Izin aktifkan perisai belakang dengan kekuatan penuh.”
Delphie, mata masih tertuju pada panel data, menjawab cepat. “Izin diberikan, Pilot Hasan. Lintasan satu-satunya yang terbuka adalah di 33,67—kita bisa mengejar hyperdrive dalam tiga puluh detik!” Jari-jarinya menari di atas kontrol. “Ibu, bersihkan semua pesawat dan drone Vrishchik di hanggar ini! Dorian, beri saya akses manual penuh!”
Mikrobot merespons. Dorian Grey berubah bentuk—lebih ramping, pantatnya semakin membesar seperti perisai. Julia merasakan sesuatu yang aneh: moncong senapan mesin tiba-tiba muncul dari lambung kapal, mengikuti pikirannya.
Dia tidak menyentuh apa pun. Hanya berpikir: bersihkan lintasan.
Dan senapan itu membidik sendiri. Menembak. Meledakkan drone dan pesawat di depan mereka.
“Luar biasa,” Julia bergumam. “Pikiran adalah perbuatan.”
“Tidak ada waktu lagi, Sersan Julia!” Hasan berteriak, matanya terkunci pada koordinat 33,67. “Sepuluh detik bertahan, lalu kita Take Off.”
Julia melihat tiga titik hitam bergerak cepat—drone senapan mesin Vrishchik. Tangannya kini mengambil kontrol manual, menghitung jarak, lalu menekan pelatuk. Peluru menghujani target. Satu meledak. Dua lainnya tetap mendekat dengan ganas.
“Kapten Delphie, maksimalkan perisai samping!” teriak Hasan.
“Perisai samping aktif!” jawab Delphie cepat. “Tapi tidak akan bertahan lama. Kurang dari lima detik sebelum Take Off!”
Julia beralih ke mode manual, mengatur setiap tembakan dengan presisi. Satu lagi meledak. Drone terakhir sudah terlalu dekat.
“Tiga detik lagi!” Delphie berteriak.
Julia menarik napas panjang. Kepercayaan diri Hasan yang tak tergoyahkan memompa adrenalin dalam tubuhnya. Aku bisa mengenainya.
Dia menembak.
Gemuruh. Benturan besar mengguncang Dorian Grey—tapi bukan ledakan. Dorian Grey melesat maju seolah diketapel menabrak semua pesawat dan drone yang ada dihadapannya, besi dan api berhamburan di lintasan pacu lalu menghilang ditelan kegelapan ruang angkasa.
“fase satu: Take Off selesai,” AI Dorian mengumumkan dengan suara dingin. “Protokol Hantu diaktifkan. Kapal tak terdeteksi selama lima menit.”
Suasana hening mendadak. Julia masih terengah, mengatur napas. Delphie menegakkan tubuh, memastikan semua sistem stabil.
“Fase selanjutnya adalah yang paling berbahaya,” gumam Hasan tanpa menoleh.
Di layar utama, medan energi berdenyut seperti jantung hitam raksasa.
“Itu dia,” bisiknya. “Koordinat 33,67—The Void. Fase dua: membuka gerbang.”
Julia menatapnya seolah pria itu gila. “Kau tidak waras! Sejak Perang Semesta, tidak ada yang pernah berhasil membuka gerbang The Void!”
Hasan tersenyum tipis. “Artefak ini seharusnya kunci. Kita hanya perlu menyinkronkan energi kita bertiga di pusat anomali itu. Paling tidak, teorinya begitu.”
Delphie ragu. “Setelah gerbang terbuka… apa kita bisa kembali?”
Hasan menghela napas panjang. “Itulah kenapa fase kedua berbahaya. Begitu kita masuk, tidak ada jaminan kita bisa keluar lagi.”
Julia menutup wajahnya dengan tangan. “Berapa lama lagi protokol hantu bisa melindungi kita?”
“Dua menit,” jawab Hasan tajam. “Kita butuh keputusan cepat, atau kita hancur di sini.” Dia menyipitkan mata ke layar depan, melihat anomali energi yang terus berdenyut.
Delphie, masih sibuk dengan kontrol, bertanya, “Seberapa kuat Dorian Grey menahan gempuran setelah perisai hilang?”
Hasan menggeleng. “Setelah Protokol Hantu mati, kita akan terlihat penuh. Vrishchik akan melumatkan kapal ini dengan roket neutron.”
Julia merasa dadanya sesak. Matanya melihat monitor lebih dari 10 titik bom Neutron telah ditembakkan ke arah mereka. Memilih antara ancaman tak terlihat dari 33,67 atau dilumatkan bom Vrishchik. “Kalau kita buka gerbang… tidak ada jaminan kita selamat, Hasan. Kita mungkin tidak akan pernah kembali.”
Hasan menatap langsung ke arahnya. “Kalau kita tidak membuka gerbang, kita sudah pasti mati.” Suaranya pelan tapi tegas. “Mereka sudah mengunci sinyal kita. Pilihan ada di kamu, Kapten Delphie.”
Keheningan panjang. Suara gemuruh dari luar kapal semakin jelas—perisai mulai menipis.
Delphie menatap wajah Hasan dan ibunya bergantian. Di dalam dirinya, ia sudah tahu jawabannya.
“Kita buka gerbang,” katanya, suaranya mantap. “Hasan, apa yang harus kita lakukan?”
Akhir dari Bab 6.
Bla bla bla
