Bab 7: Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.

2,227 words, 12 minutes read time.


The Void


I. Vesica Piscis

Hasan menggerakkan tangannya di atas panel. Sebuah kotak biru keluar dari dashboard, naik perlahan disertai desis halus. Jari-jarinya membuka segel pengaman, lalu mengeluarkan tiga tabung suntikan berisi cairan biru tua yang berpendar redup seperti arteri makhluk hidup.

Vesica Piscis,” bisiknya.

Julia menegang.

“Apa itu?”

“Satu-satunya cara membuka gerbang.” Hasan memutar tabung di tangannya. “Vesica Piscis menyambungkan pikiran kita dengan frekuensi artefak. Tanpa ini, gerbang tidak akan pernah terbuka. Kita tidak bisa masuk — atau keluar — dari The Void.”

Julia menatapnya tajam.

“persisnya menghubungkan pikiran. Maksudmu itu gimana, Hasan?”

Hasan menunjuk ke belakang lehernya, tepat di bawah pangkal tengkorak.

“Disuntikkan langsung ke jaringan saraf otak. Di sini.”

Keheningan menggantung.

“Kau gila.”

“Mungkin.” Hasan menatap balik tanpa berkedip. “Tapi Vrishchik sudah mengunci radar kita. Pilihan kita: melompat ke The Void, atau dilumat roket neutron.”

Delphie membuat keputusan cepat. Napasnya gemetar, tapi matanya jernih. Ia berdiri, menatap ibunya lalu Hasan.

“Lakukan.”

II. Sinkronisasi

Di tengah keheningan kokpit Dorian Grey, tiga manusia saling menatap tengkuk satu sama lain.

Jarum di tangan Julia bergetar. Di sebelahnya, Delphie mengangguk pelan — jarum untuk Hasan sudah siap. Hasan sendiri berdiri di belakang Julia, wajahnya datar, tapi rahangnya menegang.

“Siap?” bisik Hasan.

“Kamu tahu apa yang kamu lakukan?” Julia membalas pelan.

“Tentu saja tidak,” jawabnya, senyum tipis di wajahnya. “Dorian, tampilkan status sinkronisasi. Kita mulai sekarang.”

CLEB.

Jarum menembus kulit.

Cairan biru menyusup ke saraf.

“Synch 0 %.”

Dunia berhenti.

Dengung mesin lenyap.

Getaran menguap.

Seolah mereka dikubur hidup-hidup di ruang hampa yang sunyi total.

“Synch 10 %.”

Gelombang energi menghantam tubuh mereka.

Setiap saraf tersentak, setiap neuron terbakar kilatan cahaya.

Pandangan membias — bukan gelap, tapi terlalu terang.

“Synch 20 %.”

Julia melihat kembali Dayan — Sora, tim intai, dan kehancuran.

Hasan melihat dua versi dirinya beradu dalam satu ruang: masa lalu dan masa depan tumpang tindih seperti bayangan ganda.

Delphie melayang di antara mimpi dan kenyataan, melihat Delta 4 bercampur wajah-wajah asing yang terasa akrab.

“Synch 30 %.”

Kesadaran mereka bersentuhan.

Ingatannya, ketakutannya, keinginannya — semua saling menular seperti arus listrik dalam darah.

“Synch 40 %.”

Suara Delphie terdengar — bukan dari mulutnya, tapi di kepala mereka semua.

Apa yang terjadi …?

“Synch 50 %.”

Bagian dari proses, pikiran Hasan menjawab. Kita tak hanya menyinkronkan energi, tapi juga jiwa.

“Synch 60 %.”

Dinding kokpit memudar.

Hilang.

Tergantikan oleh ruang tanpa ujung yang berdenyut pelan seperti paru-paru semesta.

Di kejauhan, gerbang raksasa berputar, mengeluarkan cahaya hitam yang memancarkan bunyi tanpa suara.

“Synch 70 %.”

Gerbangnya sudah terbuka, bisik Julia.

Pertanyaannya: siapkah kita masuk?

“Synch 80 %.”

Tiga pasang mata saling bertemu.

Pikiran mereka kini satu jaringan hidup: menyatu, menembus batas tubuh.

Mereka bukan lagi tiga individu.

“Synch 90 %.”

Kapal berguncang hebat. Gerbang The Void melebar — membuka mulutnya seperti makhluk purba lapar cahaya.

Suara Hasan menggema, tidak jelas apakah dari bibir atau dari pikiran mereka:

Kita masuk bersama … atau tidak sama sekali.

“Synch 100 %. Sukses.”

III. The Void

Cahaya lenyap.

Suara lenyap.

Waktu lenyap.

Tidak ada bintang. Tidak ada gravitasi. Tidak ada batas.

Mereka tidak bergerak, tapi juga tidak diam.

The Void bukan sekadar kehampaan.

Ia adalah ruang yang menatap balik.

Realitasnya tidak dibangun dari hukum fisika, melainkan dari sesuatu yang lebih purba: pikiran.

Kehampaan ini memantulkan isi jiwa siapa pun yang datang.

Mereka melihat bintang-bintang yang tak pernah ada, mendengar suara orang yang sudah lama mati, berjalan di atas tanah yang tak pernah mereka injak.

Satu detik bisa terasa seperti seribu tahun — atau sebaliknya.

Dan di balik semua itu, ada kesadaran samar.

The Void hidup. Ia bernafas, memperhatikan, tapi tidak bicara.

IV. Kesadaran Kolektif

Kesendirian di sini mematikan.

Satu pikiran saja akan tersesat selamanya.

Tapi ketika tiga pikiran bersatu, sesuatu berubah.

Delphie—yang hampir tenggelam dalam kegelapan—mendengar suara ibunya dari dalam pikirannya:

Aku di sini.

Hasan, dikelilingi ilusi rasa bersalah, merasakan hal yang sama.

Suara Julia dan Delphie berpadu di kepalanya, bukan gema, tapi kehadiran.

Mereka bukan tiga. Mereka satu.

Batas identitas lenyap.

Hasan = Julia = Delphie.

Kekuatan, ketakutan, dan cinta bercampur menjadi bentuk baru dari kesadaran.

Dengan pikiran kolektif itu, mereka memahami kebenaran The Void:

bahwa ruang ini menjebak lewat fragmentasi.

Bahwa yang tercerai-berai akan hilang,

tapi yang menyatu bisa mencipta.

Cahaya lahir—bukan dari luar, tapi dari dalam mereka bertiga.

The Void mulai retak.

Lapisan kegelapan tersingkir oleh denyut cahaya yang muncul dari kesadaran mereka sendiri.

Satu tarikan napas terakhir dan mereka terlempar keluar.

V. Kembali

Hasan membuka mata.

Tubuhnya berat, seperti baru dilahirkan kembali.

Cahaya kokpit Dorian Grey menstabil.

“Kita… berhasil keluar.”

Delphie perlahan berdiri dan duduk di kursi kapten.

Matanya terpaku pada layar: bintang-bintang yang tidak ia kenal.

Sesuatu di dalam dirinya berubah, rasanya terlalu tenang.

Hasan memeriksa navigasi, lalu membeku.

“Tidak mungkin…”

Julia mendekat.

“Apa yang terjadi?”

Hasan menatap mereka berdua, wajahnya pucat.

“Kita berada di The Void selama dua puluh tahun.”

Kata-kata itu menggantung seperti bom senyap.

Delphie membeku.

“Dua puluh tahun…?”

“Menurut penanda waktu di luar Dorian Grey,” lanjut Hasan pelan, “dua dekade telah berlalu. Kita hanya merasa beberapa menit — tapi di luar, dunia terus berjalan.”

Julia menatap kosong. Dunia yang mereka tinggalkan sudah hilang.

Akhir dari Bab 7.


Bla bla bla