
Bab 8: Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.
2,227 words, 12 minutes read time.
Langit Asing
I. Langit yang Tidak Lagi Sama
Bintang-bintang salah.
Tidak ada yang mengatakan hal ini kepada Delphie, tapi dia tahu. Konstelasi yang dia hafal dari Delta-4 tidak ada. Bahkan yang mirip pun tidak ada. Seakan The Void tidak hanya membawa mereka ke tempat berbeda, tapi ke alam semesta yang berbeda sama sekali.
“Dorian, konfirmasi posisi kita,” suara Julia memecah keheningan kokpit yang mencekam.
“Posisi tidak dapat dikonfirmasi, Navigator Julia,” jawab kecerdasan buatan dengan nada yang untuk pertama kalinya terdengar… ragu. “Sistem navigasi tidak mengenali referensi stellar mana pun. Database bintang tidak cocok dengan pengamatan visual.”
Hasan, yang biasanya tenang dalam situasi apa pun, kini mengernyitkan dahinya sambil menatap layar navigasi. Jari-jarinya bergerak cepat di atas panel, mencoba kalkulasi manual. “Ini tidak masuk akal,” gumamnya. “Bahkan jika kita melompat ke galaksi lain, seharusnya masih ada referensi gravitasi atau…”
“Dua puluh tahun,” potong Julia, suaranya datar. “Kita hilang selama dua puluh tahun. Mungkin bintang-bintang bergeser, atau…”
“Atau kita bukan di semesta yang sama,” Delphie menyelesaikan kalimat ibunya dengan bisikan yang hampir tidak terdengar.
Ketiga orang terdiam. Di luar jendela kokpit, hamparan bintang yang asing berkedip dengan pola yang tidak familiar. Beberapa tampak terlalu biru, yang lain terlalu merah, seakan spektrum cahaya itu sendiri mengikuti aturan yang berbeda.
Julia merasakan perutnya bergolak. Bukan karena mual—Bio-suit lamanya sudah membiasakan tubuhnya dengan segala macam kondisi ekstrem. Tapi ada sesuatu yang salah dalam tingkat yang lebih fundamental. Seperti ketika seseorang bangun di rumah yang sama tapi semua furniture telah dipindah beberapa inci dari posisi aslinya. Familiar, tapi salah.
“Delphie,” kata Julia pelan, “kamu masih merasakan… koneksi itu?”
Delphie mengangguk. Sejak merger dengan Vesica Piscis di The Void, ada semacam jaring halus yang menghubungkan pikiran mereka bertiga. Sekarang jaring itu terasa tegang, bergetar seperti senar yang hampir putus.
“Ada sesuatu yang mengamati kita,” bisik Hasan, matanya masih tertuju pada instrumen. “Radar menunjukkan… tidak, ini tidak mungkin.”
“Apa?” Julia dan Delphie bertanya bersamaan.
“Sinyal yang mengitari kita. Pola dan frekuensinya… seperti heartbeat. Seperti bernapas.”
Dorian Grey bergetar ringan, hull mikrobot-nya menyesuaikan diri dengan kondisi ruang yang aneh. “Mendeteksi anomali gravitasi pada bearing 347 mark 12. Objek besar mendekati.”
Di layar utama, bayangan gelap mulai terlihat. Bukan kapal atau stasiun—lebih seperti struktur organik yang mengapung di ruang hampa. Permukaannya berkilau dengan cahaya yang berputar spiral, membentuk pola yang menyakitkan mata jika ditatap terlalu lama.
“Garis Nol,” gumam Julia, membaca data yang muncul di layarnya. “Sektor ini disebut Garis Nol.”
“Kenapa namanya begitu?” tanya Delphie. Teks muncul di layar “Karena di sini,” jawab NiuNiu—semua baru menyadari bahwa gadis itu sudah berdiri di ambang pintu kokpit, entah sejak kapan, “semua hitungan dimulai dari nol lagi.”
II. Pendaratan di Garis Nol
NiuNiu melangkah masuk ke kokpit, gerakannya sunyi seperti biasa. Dia tidak mengenakan Nanosuit, hanya pakaian hitam sederhana yang membuatnya tampak seperti bayangan yang bergerak.
“Berapa lama kamu berdiri di situ?” tanya Julia dengan nada waspada.
NiuNiu tidak menjawab. Dia mengetikkan sesuatu di perangkatnya, dan teks muncul di layar utama: “Cukup lama untuk tahu kalian belum siap untuk tempat ini.”
“Siap untuk apa?” Delphie bertanya.
“Untuk bertemu dengan versi kalian yang lain.”
Hasan menoleh cepat. “Versi lain? Maksudmu apa?”
Tapi perhatian mereka teralihkan oleh alarm yang tiba-tiba meraung. Objek besar itu—yang Dorian sebut sebagai struktur—semakin mendekat. Dari jarak yang lebih dekat, mereka bisa melihat bahwa itu adalah stasiun ruang angkasa, tapi dengan desain yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Arsitekturnya organik, mengalir seperti tulang yang tumbuh alami, dengan pencahayaan biru yang berdenyut seperti pembuluh darah.
“Parthenon,” baca Hasan dari layar identifikasi. “Stasiun Parthenon, orbit di Lingkar Luar Garis Nol.”
“Dorian, kondisi energi kita?” tanya Julia.
“Tenaga tersisa 23%, Navigator Julia. Hyperjump terakhir menguras sebagian besar cadangan. Tanpa pengisian ulang, sistem life support akan gagal dalam 6 jam 42 menit.”
Julia mengutuk dalam hati. Mereka tidak punya pilihan. Mau tidak mau, mereka harus mendekati stasiun itu—apakah itu jebakan atau bukan.
“Stasiun Parthenon memancarkan sinyal docking,” laporkan Dorian. “Mereka mengizinkan kita mendekat.”
“Terlalu mudah,” gumam Hasan. “Tidak ada yang gratis di luar angkasa.”
NiuNiu mengetik lagi: “Parthenon bukan milik satu klan. Tempat semua klan menyembunyikan sisa-sisa kekuatan mereka. Neutral ground.”
“Neutral?” Julia tidak yakin. “Dalam situasi seperti ini, tidak ada yang benar-benar netral.”
“Benar. Tapi mereka butuh kalian hidup-hidup. Setidaknya untuk sementara.”
Delphie merasakan perasaan tidak nyaman merambat di tulang belakangnya. Sebagai kapten, keputusan ada di tangannya. Tapi setiap pilihan tampak seperti jalan menuju perangkap yang berbeda.
“Kita docking,” putusnya akhirnya. “Tidak ada pilihan lain.”
Dorian Grey perlahan mendekati stasiun Parthenon. Semakin dekat, semakin jelas bahwa struktur itu jauh lebih besar dari perkiraan awal—hampir sebesar kota kecil, dengan berbagai sayap dan menara yang menjulang ke segala arah. Cahaya biru yang berdenyut itu tampak semakin intens, seperti jantung raksasa yang berdetak.
“Docking bay 7 terbuka untuk kita,” lapor Hasan.
“Terlalu spesifik,” Julia bergumam. “Mereka sudah menunggu.”
Saat Dorian Grey masuk ke dalam hangar, mereka melihat puluhan kapal lain yang terparkir—beberapa dengan desain yang familiar dari berbagai klan, yang lain dengan bentuk yang tidak pernah mereka lihat. Yang paling mengejutkan, banyak dari kapal-kapal itu tampak rusak atau terbengkalai, seakan pemiliknya sudah lama tidak kembali.
“Selamat datang di Parthenon,” suara perempuan bergema melalui komunikator. “Saya Administrator Kira. Kalian diharapkan di Level Observasi dalam satu jam. Jangan mencoba meninggalkan hangar sebelum debriefing selesai.”
Komunikator terputus dengan bunyi klik yang final.
“Diharapkan,” Julia mengulangi dengan nada sinis. “Bukan diundang. Diharapkan.”
Delphie menatap keluar jendela ke hangar yang luas. Di antara kapal-kapal yang terparkir, dia bisa melihat sosok-sosok berpakaian seragam abu-abu bergerak dengan gerakan yang terlalu seragam, terlalu presisi. Seperti boneka yang dikendalikan oleh satu pikiran.
“Ibu,” bisiknya, “aku tidak suka tempat ini.”
Julia menggenggam tangan anaknya. “Aku juga, sayang. Tapi kita akan menghadapinya bersama.”
NiuNiu, yang sedari tadi diam, tiba-tiba mengangkat kepalanya dengan ekspresi yang sangat jarang terlihat di wajahnya: ketakutan.
“Ada sesuatu yang salah,” ketiknya cepat. “Tempat ini seharusnya kosong. Parthenon ditinggalkan lima tahun lalu.”
III. Delphie & Cermin Diri
Satu jam kemudian, mereka berjalan melalui koridor Parthenon yang membingungkan. Dinding-dinding stasiun bukan terbuat dari logam biasa, melainkan bahan yang tampak setengah organik—berkilau seperti mutiara tapi hangat saat disentuh, dengan urat-urat bercahaya yang berjalan di permukaannya seperti sistem saraf.
Administrator Kira, yang menjemput mereka di hangar, ternyata seorang wanita paruh baya dengan mata yang tajam dan senyum yang tidak pernah mencapai matanya. Dia mengenakan seragam abu-abu yang sama dengan petugas lainnya, tapi ada lencana khusus di dadanya yang berkilau dengan cahaya yang sama seperti dinding.
“Debriefing akan dilakukan secara individual,” jelasnya sambil berjalan. “Protokol keamanan standar untuk… pengunjung dari Void.”
“Pengunjung?” Julia tidak suka dengan pilihan kata itu. “Kami bukan turis.”
“Tentu saja tidak,” Kira tersenyum tipis. “Kalian adalah sesuatu yang jauh lebih menarik.”
Mereka tiba di sebuah ruangan besar dengan jendela transparan yang menghadap ke luar angkasa. Delphie terpukau oleh pemandangan—Garis Nol tampak seperti spiral galaksi miniatur, dengan bintang-bintang yang berputar dalam pola yang hampir hidup.
“Delphie Rose,” Kira memanggil. “Anda akan menggunakan Ruang Observasi 3. Yang lain, silakan menunggu di sini.”
“Tidak,” Julia langsung protes. “Kami tidak akan dipisah.”
“Ini bukan permintaan,” suara Kira berubah dingin. “Ini adalah prosedur. Untuk keselamatan kalian sendiri.”
NiuNiu menyentuh lengan Julia, menggeleng sedikit. Pesan di layar portabelnya berbunyi: “Tidak apa-apa. Delphie butuh menghadapi ini sendiri.”
“Menghadapi apa?” tanya Julia, tapi NiuNiu sudah berpaling.
Dengan hati berat, Delphie mengikuti Administrator Kira ke ruang yang lebih kecil. Ruangan itu sederhana—hanya sebuah meja, dua kursi, dan jendela besar yang menghadap langsung ke spiral Garis Nol.
“Duduklah,” kata Kira. “Proses ini mungkin akan… membingungkan pada awalnya.”
“Proses apa?”
Tapi Kira sudah keluar, meninggalkan Delphie sendirian. Pintu tertutup dengan bunyi hiss yang soft, dan suasana ruangan tiba-tiba berubah. Cahaya meredup, dan bintang-bintang di luar jendela tampak bergerak lebih lambat, seperti sedang berenang dalam madu.
Delphie duduk di kursi yang menghadap jendela, mencoba menenangkan diri. Merger connection dengan Julia dan Hasan masih terasa, tapi lemah—seperti radio dengan sinyal buruk. Dia mencoba fokus pada pola bintang di luar, tapi matanya terus tertarik pada pantulannya di permukaan jendela.
Pantulan itu… berkedip dulu.
Delphie mengerjapkan mata, tapi pantulannya berkedip sedetik sebelum dia berkedip. Kecil. Hampir tak terlihat. Tapi cukup untuk membuat bulu kuduk lehernya berdiri.
“Kamu melihatnya juga, kan?” tanya pantulan itu.
Delphie terlonjak dari kursinya, jantung berdetak kencang. Pantulan di jendela tidak bergerak mengikuti gerakannya. Sebaliknya, sosok itu—yang persis seperti dirinya—tetap duduk tenang dengan senyum yang tidak pernah Delphie buat.
“Siapa kamu?” Delphie berbisik.
“Aku adalah kamu yang seharusnya,” jawab pantulan itu dengan suara yang persis seperti Delphie, tapi dengan nada yang lebih dingin, lebih pasti. “Aku adalah kamu yang tidak takut pada keputusan sulit.”
“Aku tidak takut pada—”
“Kamu takut,” potong pantulan itu. “Takut memilih siapa yang harus mati supaya yang lain bisa hidup. Takut menggunakan kekuatan yang The Void berikan padamu. Takut menjadi apa yang diperlukan untuk menyelamatkan semesta.”
Delphie mundur dari jendela, tapi pantulan itu tidak bergerak. Sosok di dalam kaca itu berdiri, mendekati permukaan dari sisi yang lain.
“Aku tidak akan menjadi seperti mereka,” kata Delphie. “Tidak akan menjadi seperti Vrishchik, atau NiuNiu, atau siapa pun yang berpikir membunuh itu mudah.”
“Mudah?” pantulan itu tertawa—suara yang identik dengan tawa Delphie tapi tanpa kehangatan. “Tidak ada yang mudah tentang memilih. Tapi memilih adalah satu-satunya hal yang memisahkan kita dari chaos. Dan chaos sudah datang, Delphie. Zero sudah bergerak.”
“Kamu tahu tentang Zero?”
“Aku tahu tentang banyak hal yang kamu pilih untuk tidak tahu.” Sosok itu menekan tangannya pada kaca dari dalam. “Aku tahu bahwa Julia bukan ibumu yang sebenarnya. Aku tahu bahwa NiuNiu menggunakan kalian untuk tujuan yang belum dia ceritakan. Aku tahu bahwa Hasan menyembunyikan sesuatu yang akan membuat kalian semua terbunuh.”
“Bohong,” tapi suara Delphie bergetar.
“Aku tidak pernah berbohong. Aku tidak bisa berbohong. Aku adalah cermin, Delphie. Aku menunjukkan apa yang ada, bukan apa yang kamu ingin lihat.”
Pantulan itu melangkah mundur dari kaca, tapi matanya tidak pernah lepas dari Delphie. “Pertanyaannya sekarang adalah: apakah kamu siap melihat kebenaran? Atau kamu akan tetap memejamkan mata sampai semua yang kamu sayangi mati karena kelemahanmu?”
IV. Gwaneum, Bayangan Pertama
“Siapa namamu?” tanya Delphie, mencoba menjaga suaranya tetap stabil.
“Gwaneum,” jawab pantulan itu. “Nama yang sama yang akan kamu pakai jika kamu cukup berani untuk menjadi dirimu yang sebenarnya.”
“Aku sudah menjadi diriku. Aku Delphie Rose, kapten Dorian Grey.”
“Kamu adalah anak kecil yang bermain kapten,” suara Gwaneum berubah tajam. “Kamu memberikan perintah tapi tidak pernah mengambil tanggung jawab atas konsekuensinya. Berapa banyak yang akan mati karena kamu terlalu lembut untuk membuat pilihan yang sulit?”
Delphie merasakan amarah mulai menggantikan ketakutannya. “Membuat pilihan sulit tidak berarti menjadi monster.”
“Monster?” Gwaneum tertawa lagi. “Kamu pikir NiuNiu monster? Dia menyelamatkan hidup kalian berkali-kali dengan cara yang tidak akan pernah kamu berani lakukan. Dia membunuh untuk melindungi, memanipulasi untuk menyelamatkan, berbohong untuk menjaga yang tidak bersalah tetap tidak mengetahui kebenaran yang akan menghancurkan mereka.”
“Dia menggunakan kita!”
“Dan kamu akan membiarkan semua orang mati demi menjaga tanganmu tetap bersih.” Gwaneum maju lagi ke kaca. “Zero tahu tentang kelemahanmu. Dia mengandalkan sifat manusiamu untuk mengalahkan kalian. Sementara kamu ragu-ragu, dia sudah memindahkan ribuan bidak di papan permainan yang bahkan tidak kamu sadari sedang dimainkan.”
Delphie menatap sosok di cermin yang memiliki wajahnya tapi mata yang asing—dingin, kalkulatif, tanpa keraguan. “Kamu bukan aku.”
“Aku adalah kamu setelah kamu belajar bahwa kebaikan tanpa kekuatan hanya akan membawa kehancuran. Aku adalah kamu setelah kamu melihat Julia mati karena kamu tidak mau mengambil tindakan yang diperlukan. Aku adalah kamu setelah kamu menyaksikan Hasan dirobek-robek oleh Zero karena kamu masih percaya pada keajaiban dan harapan.”
“Berhenti,” bisik Delphie, menutup telinga.
“Aku adalah kamu setelah kamu menyadari bahwa NiuNiu benar—bahwa semesta ini tidak peduli pada moral manusia kecilmu. Yang peduli hanyalah siapa yang cukup kuat untuk mengambil keputusan yang akan menyelamatkan yang tersisa.”
Delphie membuka mata dan menatap Gwaneum dengan tatapan yang berubah. Bukan lagi takut, tapi sesuatu yang lebih kompleks—penolakan bercampur dengan pengakuan yang tidak mau dia terima.
“Kamu salah,” katanya pelan. “Kemanusiaan kita adalah satu-satunya hal yang membedakan kita dari Zero. Jika aku kehilangan itu, maka apa bedanya menang atau kalah?”
Gwaneum diam untuk pertama kalinya. Dia memiringkan kepala, mempelajari Delphie dengan mata yang tidak berkedip.
“Interesting,” katanya akhirnya. “Mungkin ada cara ketiga yang belum kulihat.”
“Cara ketiga?”
“Antara menjadi monster dan menjadi korban. Antara kekuatan tanpa belas kasihan dan belas kasihan tanpa kekuatan.” Gwaneum mundur dari kaca, sosoknya mulai memudar seperti kabut yang terkena sinar matahari. “Tapi ingat ini, Delphie Rose—saat pilihan datang, dan pilihan itu akan datang lebih cepat dari yang kamu kira, kamu harus memilih. Dan di alam semesta ini, ragu-ragu adalah pilihan untuk membiarkan chaos menang.”
“Tunggu,” Delphie maju ke jendela. “Kamu akan pergi?”
Gwaneum tersenyum—untuk pertama kalinya, senyum yang familiar, senyum yang sama dengan yang Delphie lihat di cermin setiap hari. Tapi ada sesuatu di balik senyum itu, sesuatu yang membuat dada Delphie sesak.
“Aku tidak pergi ke mana-mana,” kata Gwaneum, sosoknya semakin transparan. “Aku akan selalu ada, dalam setiap keputusan yang kamu hindari, dalam setiap tindakan yang tidak kamu ambil. Dan suatu hari, ketika semuanya runtuh di sekitarmu, kamu akan memanggil namaku.”
Delphie menekan tangannya pada kaca dingin. “Dan jika aku memanggilmu?”
Gwaneum hampir sepenuhnya menghilang, hanya bayangan samar di permukaan jendela. Suaranya terdengar seperti gema dari tempat yang sangat jauh.
“Maka aku akan datang. Dan kamu akan mengetahui apa artinya menjadi dirimu yang sesungguhnya.”
Sosok itu lenyap, meninggalkan Delphie sendirian dengan pantulan normalnya—wajah yang sama, tapi mata yang sekarang penuh dengan pertanyaan yang tidak bisa dijawab.
Di luar jendela, spiral Garis Nol terus berputar, bintang-bintang bergerak dalam pola yang hampir hipnotis. Dan untuk sesaat, Delphie merasa seolah dia bisa melihat pola yang lebih besar—permainan kosmik yang dimainkan dengan hidup dan mati sebagai taruhannya.
Pintu ruangan terbuka, dan Administrator Kira masuk dengan senyum profesional yang sama.
“Bagaimana debriefingnya, nona Rose?”
Delphie menoleh dari jendela, dan untuk sesaat, Kira terdiam. Ada sesuatu yang berbeda dalam mata gadis itu—bukan lagi ketakutan atau ketidakpastian, tapi sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuat Kira, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, merasa tidak nyaman.
“Menarik,” jawab Delphie pelan, suaranya tenang tapi dengan undertone yang membuat Kira mengingat pada sosok-sosok berbahaya yang pernah dia temui. “Sangat menarik.”
Dia berjalan melewati Kira menuju pintu, kemudian berhenti tanpa menoleh.
“Satu pertanyaan, Administrator. Apa yang terjadi pada orang-orang yang datang ke Parthenon tapi tidak pernah pergi?”
Kira tidak menjawab, tapi keheningannya sudah memberikan jawaban yang cukup.
Delphie tersenyum—bukan senyum Gwaneum yang dingin, tapi juga bukan senyum polosnya yang lama. Ini adalah sesuatu yang baru, sesuatu di antara keduanya.
“Terima kasih untuk debriefingnya,” katanya, dan berjalan keluar meninggalkan Kira yang berdiri diam di ruangan yang tiba-tiba terasa sangat kosong.
Di koridor luar, Julia dan Hasan menunggu dengan wajah cemas. NiuNiu berdiri agak terpisah, tetapi matanya terfokus pada Delphie dengan intensitas yang tidak biasa.
“Bagaimana, sayang?” tanya Julia, meraih tangan anaknya.
Delphie menggenggam tangan ibunya, merasakan kehangatan yang familiar. Tapi ada sesuatu yang berubah dalam cara dia menatap dunia—seperti seseorang yang baru bangun dari mimpi panjang dan menyadari bahwa kenyataan jauh lebih rumit dari yang pernah dibayangkan.
“Aku baik-baik saja, ibu,” katanya. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia tidak yakin apakah itu sepenuhnya benar atau sepenuhnya bohong.
Gwaneum menatap Delphie dari jauh dengan mata yang sama persis, berkata dengan suara yang sama persis: “Aku bukan bayanganmu. Kau bayangan dariku.”
V. Cahaya yang bersuara
Lorong Parthenon terasa lebih sunyi dari biasanya.
Udara menebal.
Lampu di sepanjang dinding bergetar samar — bukan karena gangguan listrik,
tapi karena sesuatu sedang menembus dimensi.
NiuNiu mendongak pelan.
Frekuensi yang tak terdengar manusia membuat pupilnya menyempit,
gelombang cahaya menari di tepi matanya seperti data yang salah render.
“Dia.”
Satu kata di gelang holonya, dingin, final.
Administrator Kira menatap layar kontrol.
Gravitasi dalam stasiun melengkung, angka-angka berubah menjadi simbol yang tidak dikenal.“
Ini bukan anomali teknis… ini resonansi identitas.”
Kemudian ruang bergetar.
Tidak ada kilat. Tidak ada suara ledakan.
Hanya cahaya yang bersuara —
suara yang tidak melewati telinga, tapi menekan langsung ke tulang.
Semesta seperti menarik napas panjang.
Dan dari tengah udara yang retak,
muncul retakan putih vertikal, setipis helaian rambut, seterang seluruh bintang.
Cahaya itu berdenyut—setiap denyutnya mengubah arah gravitasi di seluruh stasiun.
Dinding kristal Parthenon mulai mengeluarkan nada rendah,
seolah bangunan itu sedang berdoa.
Delphie bisa merasakannya, dia tau rasa ini.
Hasan menahan napas, tangan mulai terasa dingin.
Julia menarik Delphie ke belakang, tapi NiuNiu tak bergerak—ia tahu pola itu.
Itu bukan serangan. Itu kedatangan.
Hyperjump.
Retakan itu merekah seperti kelopak bunga.
Udara menguap jadi cahaya,
dan satu sosok muncul melangkah keluar perlahan, seolah baru kembali dari sisi lain waktu.
Jubah putih menutupi nanosuit putih, bergelombang seperti air.
Mahkota logam halus di dahi, menyala dengan logo rahang matahari Didymoi.
Langkahnya tak bersuara, tapi setiap langkah meninggalkan gema di struktur ruang.
Sosok itu berhenti di tengah lorong.
Cahaya di sekelilingnya memudar, tapi udara tetap bergetar—
seolah realitas belum memutuskan apakah akan mengizinkannya ada.
“Parthenon tidak banyak berubah,”
katanya, suaranya tenang, tapi memiliki bobot yang membuat semua orang menunduk.
“Aku sudah menunggu kalian, mereka yang bisa kembali dari The Void.”
Julia waspada.
Hasan tersenyum kecut.
Delphie merasa jantungnya berdegup cepat.
NiuNiu menatap lurus—
di matanya, terlihat rasa lapar predator.
Agnia Nakamoto tersenyum samar.
Senyum seorang ratu yang pernah menantang Tuhan dan menang.
“Waktunya kita bicara,” katanya.
“Tentang siapa sebenarnya yang menulis ulang sejarah.”
Cahaya dari mahkotanya memancar lembut.
Dinding kristal Parthenon bergetar, menyalakan tulisan kuno di permukaannya:
[LOG PARTHENON // ENTRI BARU TERDETEKSI]
IDENTITAS: AGNIA NAKAMOTO
STATUS: AKTIF. KEMBALI DARI LUAR WAKTU.
Akhir dari Bab 8.
Bla bla bla
