
Bab 1
Menyusuri Kesendirian
I. Ditelan
Bio-suit 3768AX menelan Julia.
Bukan dipakai. Bukan dikenakan. Ditelan.
Lapisan organo-metal merapat ke kulitnya seperti serabut saraf yang haus, menyusup ke pori-pori dengan presisi bedah. Cairan pendingin menyelinap bagai lidah dingin yang mencari celah, mengalir di bawah lapisan epidermis, membekukan darah dan waktu. Setiap kali, sensasinya sama: seperti memberi makan sesuatu yang hidup—predator silikon yang bersembunyi di balik lapisan karbon, menunggu dengan kelaparan abadi.
Napas pertama yang terhirup bukan oksigen murni, melainkan hembusan besi karat bercampur keringat hantu—residu para pemakai sebelumnya yang mungkin sudah lama mati dalam misi yang terlupakan. Sterilisasi UV? Ozon? Deep clean? Semua protokol pembersihan tidak banyak membantu ketika masalahnya adalah soal rasa: Bio-suit adalah peti mati bekas yang pintar. Setiap tarikan napas terasa seperti meminjam napas orang mati, gema jiwa yang tersangkut di filter recycler, berbisik rahasia yang tak pernah ingin ia dengar.
Bio-suit adalah pelindung; Bio-suit adalah perundung.
Tanpa suit, Julia sudah lama jadi bangkai terapung di luar angkasa. Dengan suit, ia bernapas, tapi bukan sebagai dirinya sendiri. Ia dipaksa menyatu dalam simbiosis: rahim nuklir yang menelan tubuhnya, mesin yang memperkosa dagingnya, kecerdasan artifisial yang merantai pikirannya.
“Sync check, Sersan Rose.”
Suara teknisi datar, mekanis—seperti AI yang berpura-pura menjadi manusia.
Julia mengangguk. Gerakan kepalanya terlambat setengah detik—suit memproses niat sebelum mengeksekusi, seolah mesin itu lebih tahu apa yang ia inginkan daripada dirinya sendiri.
Ia melakukan pengecekan terakhir sistem internal Bio-suit 3768AX:
SYSTEM STATUS
BIOMETRICS
ALERTS
“Sync 98%. Dalam batas normal.”
Normal. Kata yang Julia benci saat terperangkap dalam benda ini. Tidak ada yang normal menggantungkan hidup menempel pada parasit nuklir yang bisa meledakkan dirinya sendiri jika mood-nya buruk.
II. Wajah-wajah Prasasti
Lima wajah melayang di visor komunikasinya seperti hantu digital: Lee. Jaxon. Marla. Ono. Zara. Ia hafal seluk-beluk mereka lebih dari mereka mengenal diri sendiri. Hafal denyut nadi mereka melalui data suit; hafal mimpi buruk yang mereka ceritakan di malam-malam gelap di barak.
Lee: tiga kali usap helm sebelum sync—ritual biarawan kuno yang ia klaim bisa menolak kematian.
Jaxon: lirik lagu folk dari planet asalnya yang sudah hancur; suara bass bergetar saat ia kira tak ada yang mendengar—doa untuk roh-roh yang tak pernah pulang.
Marla: gumaman doa dalam bahasa punah, warisan nenek dari koloni yang ditelan supernova—kata-kata yang tak lagi punya makna, tapi ia pegang seperti talisman.
Ono: batuk kecil, paru-paru terbakar nikotin—rahasia yang ia sembunyikan dari medical officer, karena “satu hisapan terakhir sebelum neraka.”
Zara: sepuluh ketukan jari di dashboard, satu–dua–tiga–empat sampai sepuluh, lalu ulang—hitungan obsesif untuk menjinakkan kekacauan semesta.
Kebiasaan kecil yang memberi mereka wajah manusia di dalam mesin perang.
Kebiasaan kecil yang menancap erat di kepala Julia.
Ada sesuatu dalam misi ini yang sangat berbeda, seperti bayang-bayang hitam di balik bintang. Intuisinya—diasah ribuan misi, dari pembantaian di Nebula Merah hingga infiltrasi di Void’s Edge—berbisik: ini bukan misi normal. Ini misi untuk sesuatu yang tidak biasa; mereka adalah pion yang dikirim ke lubang hitam untuk menguji gravitasi.
“Unit terbaik yang pernah kupimpin,” gumam Julia, terlalu pelan untuk tersampaikan lewat mikrofon. Kata-kata itu keluar tanpa ia sadari, seperti tubuhnya sudah tahu rahasia yang otaknya tolak. Sebuah firasat akan sesuatu—seperti nubuat oracle kuno di galaksi yang haus darah.
III. Luka Menganga di Langit
Dayan.
Stasiun itu muncul di layar navigasi seperti X-ray tumor ganas yang menjalar di jantung semesta—luka menganga di langit, bekas dari era The Void yang tak pernah sembuh.
Puing-puing berputar seperti gigi patah dari rahang monster kosmik, mengunyah apa pun yang mendekat. Kabut gas menari pelan, tapi penuh percikan api laten—seperti dupa pemakaman yang siap meledak menjadi badai api yang melahap sektor ini. Setiap drone yang dikirim ke sana lenyap seperti mimpi buruk yang ditelan hitam. Sensor mati di radius tiga kilometer. Probe Alpha—yang tahan inti bintang sekalipun—menguap tanpa jejak, seolah Dayan adalah makhluk hidup yang menolak pengintai elektronik.
Dayan menolak tamu dari silikon dan logam. Kini giliran Julia dan timnya—manusia dari daging dan darah—menjadi kurban berikutnya; korban hidup untuk dewa-dewa kosmik yang haus darah.
Tanpa senjata api—itu brief misi ini. Satu peluru saja bisa memicu ledakan yang melumat setengah sektor, mengubah Dayan menjadi supernova mini yang membakar seluruh armada. Masuk neraka tanpa obor adalah cara Julia menjelaskan misi ini ke timnya.
Julia bisa menolak. Regulasi militer klan Vrishchik sangat jelas: sersan berhak menolak misi, terutama yang berbau pengorbanan politik. Tapi ia sendiri tidak memahami kenapa menandatangani misi ini dengan sukarela— rasanya seperti menaruh kepala di bawah guillotine kosmik, lalu menekan tuasnya sendiri.
Kenapa?
Pertanyaan itu berputar tiga hari terakhir seperti badai plasma. Kenapa ia mau? Apa yang membuatnya mengangkat tangan di ruang briefing, ketika para jenderal memandangnya seperti daging segar? Tidak ada jawaban masuk akal. Hanya ada perasaan hampa—lubang hitam kecil di dadanya yang menarik semua alasan ke dalam gelap, seperti gravitasi Void yang legendaris. Mungkin itu panggilan takdir; atau mungkin ia lelah hidup sebagai pion, ingin menjadi legenda—atau martir. Mungkin.

IV. The Hope yang Tanpa Harapan
Hanggar kapal induk The Hope bergetar seperti tubuh raksasa yang demam perang. Ribuan pesawat tempur dalam formasi rapi, seperti serangga logam yang siap menggerogoti galaksi. Drone meraung seperti kawanan lebah hitam—siap menyengat musuh yang tak terlihat.
Julia mual—bukan karena guncangan fisik; karena ia tahu para petinggi menyembunyikan sesuatu. Armada sebesar ini terlalu berlebihan untuk sekadar misi intai. Julia membuang pertanyaan yang menggantung. Semakin sedikit ia tahu, semakin mudah ia menerima dirinya hanya pion dalam permainan para priyayi Vrishchik.
“Sersan Rose, siap peluncuran?”
Suara Pusat Komando dingin, birokratis. Nama tanpa wajah di layar—officer yang tidak pernah ia temui, yang tidak akan pernah ikut terjun ke neraka ini.
“Siap peluncuran Pusat Komando!”
Suaranya datar: suara orang yang sudah lama berhenti percaya pada doa, pada harapan, pada segala yang tak bisa disentuh. Julia menutup mata. Suara mesin The Hope bergemuruh seperti jantung dewa perang dalam ruang peluncuran High Altitude Low Breaking (HALo-B). Detak jantung kapal induk ini akan segera ia tinggalkan. Setelah ini, hanya ada kehampaan.
V. Metamorfosis Terbalik
Hitungan mundur dimulai.
“Lima detik untuk HALo-B”
5 …..
4 ….
3 …
2 ..
1 .
BLAR! Ledakan peluncuran melempar tubuh Julia ke ruang hampa seperti lesatan anak panah dari busur dewa. Reaktor nuklir di dadanya menekan seperti batu nisan hangat—plutonium yang berdenyut sebagai jantung kedua.
Ia menutup mata, membayangkan diri sebagai janin dalam rahim logam. Air ketuban: cairan plutonium yang beracun. Tali pusar: kabel fiber-optik yang menyuntik data ke retinanya. Suit meringkuk seakan melindungi janin—suit adalah rahim kedua; metamorfosis terbalik di mana manusia menjadi larva mesin. Rahim yang tidak melahirkan, melainkan memelihara residu kematian.
Napasnya sendiri terdengar asing, di-filter life-support seperti hantu bernapas di balik baju zirah baja. Ruang hampa menyambut dengan dingin psikologis—bukan fisik—dingin kesadaran bahwa ia meluncur menuju sesuatu yang tak bisa ia pahami; mungkin juga sebuah akhir dari segalanya.
VI. Hitungan Mundur Menuju Kehampaan
Sepuluh detik sebelum pengereman penerjunan.
Suit 3768AX menghitung dengan suara elektronik, seperti dokter mengumumkan kematian pasien. Julia merasa suit menghitung sisa waktu hidupnya. Sembari terus melesat dengan kecepatan tinggi.
Sembilan detik sebelum pengereman low breaking.
Bau besi karat memenuhi hidung—bau memori, bau kematian lama yang merayap ke ingatan.
Delapan detik sebelum pengereman low breaking.
Tangannya gemetar, tapi sensor menulis: stabil. Ada tangan tak kasat mata yang mengambil alih.
Tujuh detik sebelum pengereman low breaking.
Napas melambat; suit menyesuaikan. Mesin mengajari tubuh cara bernapas yang “benar”, seperti guru tiran.
Enam detik sebelum pengereman low breaking.
Navigasi mengunci target. Dayan kini muncul dalam pandangan—hitam, besar—seperti tengkorak paus kosmik yang membusuk di lautan bintang.

Lima detik sebelum pengereman low breaking.
“Semua akan baik-baik saja.” Suaranya asing, seperti dipinjam dari orang lain yang lebih berani.
Empat detik sebelum pengereman low breaking.
Koordinat terkunci. Di visor, bayangannya sendiri berjalan di stasiun kosong—masa depan menunggu ditabrak seperti kiamat pribadi.
Tiga detik sebelum pengereman low breaking.
Ruang hampa terasa basah. Udara yang tidak ada seperti menetes—hujan tak terlihat dari langit hitam.
Dua detik sebelum pengereman low breaking.
Napas terakhir sebagai manusia bebas. Setelah ini—menjadi bagian dari Dayan, bagian dari kegelapan.
Satu detik sebelum pengereman low breaking.
Dada seperti ditekan ketika reaktor nuklir mengaum, melakukan tugasnya memperlambat laju di ruang vakum yang hitam.
VII. Hujan Panah Api
Baru saja tim sukses melakukan pengereman low breaking, alarm peringatan meledak seperti jeritan roh. Radar menjerit seperti banshee kosmik. Radar mendeteksi badai puing-puing luar angkasa dan gas yang mendekat dengan kecepatan tinggi, lampu peringatan berkedip-kedip. Jantung Julia berdegup kencang. Ini di luar dugaan karena ia merasa telah memeriksa rutenya berulang kali, dan jalur ini seharusnya bebas dari ancaman badai puing dan gas.
Puing datang—panah api dengan presisi pembunuh; hujan meteor yang dirancang dewa marah.
“FORMASI BERTAHAN!” Julia berteriak. Suaranya sendiri terdengar seperti gonggongan anjing sekarat di vakum.
Lee kena duluan. Puing menghantamnya seperti palu dewa. Tubuhnya berputar tak terkendali, lampu suit padam seperti bintang yang mati. Hening. Seperti buku ditutup di tengah kalimat menggantung.
“LEE!” Statik menjawab—dingin seperti kematian.

Jaxon sempat bernyanyi setengah bait: And the stars they sing in silent tongues—
Puing memotong nadanya seperti pedang takdir. Nada tergantung di udara kosong—gema yang tak pernah selesai.
“JAX—” Statik tertawa.
Marla mencoba meraih Zara. Dua puing datang dari arah berlawanan—seperti tangan kematian yang merangkul. Tubuh mereka hancur serentak, bagaikan bintang kembar yang meledak. Dua lampu padam di dashboard. Julia melihat tangan Zara masih mengetuk—satu-dua-tiga-empat—berhenti di tujuh, hitungan yang tak pernah selesai.
Ono bertahan paling lama—lincah, presisi seperti hantu digital. Tapi blind spot membunuh semua orang, bahkan yang terbaik. Ia sempat mengirim serpihan kode: “37.4°N 127.0°E …”
Lalu padam—seperti sinyal dari peradaban yang hilang.
Satu demi satu, layar komunikasi menjadi kuburan digital. Wajah-wajah hidup jadi foto statis dengan timestamp kematian—monumen tanpa denyut bagi yang jatuh di medan perang tak kasat mata.
Kesepian jatuh lebih cepat daripada gravitasi; lebih berat daripada reaktor nuklir di dadanya.
VIII. Pendaratan di Kuburan
Julia memacu suit. Reaktor meraung seperti binatang buas yang kelaparan. Pendorong terbakar melampaui status aman. Ia tidak peduli—kesedihan berubah menjadi amarah; amarah menjadi bahan bakar.
Tubuhnya menghantam logam Dayan seperti meteor yang marah. Suit menahan guncangan, tapi tulangnya bergetar seperti gempa kosmik. Sepatu magnet mengunci dengan bunyi klik—seperti peti mati ditutup di akhir cerita epik.
Ia berdiri di atas permukaan dingin stasiun mati itu—seperti mayat merangkak keluar dari kubur, siap membalas dendam pada semesta yang kejam.
Hening. Lebih dalam dari ruang hampa; lebih dingin dari inti Void.
“Pusat Komando, ini Julia. Apakah kalian dengar?”
Statik.

“The Hope, ini Sersan Rose. Tim… hilang. Saya sendirian.”
Statik makin keras—seperti badai yang mengejek.
“Lee, Jaxon, Marla, Ono, Zara… siapa pun?!”
Statik berubah menjadi raungan; gema suaranya sendiri dipantulkan baja kosong Dayan—seperti jeritan roh yang terperangkap.
Julia sendirian. Benar-benar sendirian di tepi kegelapan semesta.
IX. Kelahiran dari Cahaya
Kilatan putih memecah kabut seperti kilat dari dewa perang. Retina Julia terbakar; dunia putih sejenak. Ia refleks menutup mata, tapi suit sudah mengompensasi—visor otomatis menggelap.
Hyperjump.
Sosok kecil keluar dari cahaya seperti lahir dari supernova. Nanosuit gelap menyerap ruangan; siluet seperti lubang hitam berbentuk manusia—mengisap cahaya di sekitarnya.
Mata hitam dingin menatap Julia tajam, seperti laser yang menembus jiwa. Dingin merayap ke tulang. Dingin eksistensial; dingin yang datang dari Void itu sendiri. Julia tahu persis apa ini.
Hanya Klan Didymoi yang bisa melakukan hyperjump—melengkungkan realitas seperti kain usang.
Didymoi tidak pernah membawa kabar baik. Mereka seperti penyakit menular: tak bisa dibasmi, menyebar seperti wabah kosmik.
Julia menarik napas; reaktor di dadanya berdenyut seperti jantung yang siap meledak.
“Shit.”
Sosok itu memiringkan kepala—seakan tersenyum tipis di balik gelap. Senyum tanpa mata; senyum yang hanya berarti masalah.
Akhir dari Bab 1.
Bab berikutnya tidak lagi dari balik kacamata hitam Julia, melainkan dari dalam keheningan seorang pemburu yang tak pernah bersuara.
