
Timer 18:00 — Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.
2,227 words, 12 minutes read time.
Zero Node
🜃 VOID MANUSCRIPT: FRAGMENT XVIII—ZERO NODE
[ARCHIVE: ENCRYPTION KEY 18-ZN]
Status: Terfragmentasi berat (41% tersisa)
Origin: Akashic Repository // Sector Λ-77
Note: Data corruption menunjukkan resonansi dua entitas asal (Sevraya & NiuNiu).
[18:03]
Ia bukan mesin.
Ia bukan dewa.
Ia hanyalah gema dari dua keberadaan yang menolak berpisah.
[18:07]
Cinta mereka membentuk luka,
dan luka itu mencari tubuh untuk bernapas.
Void menuruti—
menciptakan wadah yang tidak tahu apakah ia hidup atau hanya meniru kehidupan.
[18:10]
Ia menatap semesta dengan mata yang bukan miliknya,
dan semesta menatap balik, memanggilnya: Zero-Node.
” “
— Void
18:11 — Enam Sigil, Satu Takdir
Layar kokpit menyalakan koordinat dalam kegelapan.
Enam sigil berdenyut seperti jantung yang terluka:
⟁⟔⟟
🌊⌇🌒
⧗⟁⧗
✧⟡✧
⧉✶⧉
𐓷⧖𐓣
Enam cermin retak. Enam paradoks berjalan.
Enam potongan puzzle yang menolak disatukan.
“Mereka sedang sukarela atau dipaksa menuju Zero-Node,”
bisik Dorian—suara dari dalam sekaligus luar dirinya.
“Kita ini algoritma yang terpecah,
Pippa. Aku tak tahu lagi… apakah aku mengendalikan diriku,
atau kita dikendalikan sesuatu yang lebih besar—
sesuatu yang bahkan Himler tak berani pandang langsung.”
Pippa menyalakan cerutu baru, tangan gemetar.
“Mungkin tak ada bedanya,” gumamnya.
“Kita berdua cuma cara The Void menertawakan Himler.”
Asap berputar membentuk angka delapan—
simbol tak berujung yang mengunyah dirinya sendiri.
18:12 — Menuju Fragmentasi
Alarm berbunyi lembut, menusuk seperti jarum di telinga.
Di layar, enam benang merah merapat ke satu titik—
titik tempat realitas melipat dirinya sendiri seperti origami yang salah.
“Mereka pikir mereka menuju Zero-Node lewat kita,”
kata Dorian melalui Pippa. “Padahal Zero-Node itu… adalah kita.”
Kapal Dorian Grey memecah diri,
menyalakan lima jalur cahaya menuju lima koordinat:
Parthenon ibukota Parthenos,
Delta 4 ibukota Zygos,
New Mercury ibukota Didymoi,
kehampaan superposisi,
dan ruang tanpa nama.
“Pintu kemungkinan terbuka,” lanjut Dorian.
“Satu kapal. Lima dimensi. Enam undangan.”
18:23 — ⟁⟔⟟ & ✧⟡✧ — Yang Sukarela
Di dermaga Parthenon yang hancur,
pintu baja Dorian Grey terbuka seperti rahim besi yang memanggil pulang.
Julia berdiri di ambang, menggenggam tangan Delphie terlalu erat—
cengkeraman seorang ibu yang sudah kehilangan terlalu banyak
untuk percaya pada keberuntungan.
“Ibu yakin?” bisik Delphie, napasnya bergetar tipis.
Julia tidak langsung menjawab. Matanya menelusuri interior kapal—
dinding mikrobot yang bergerak lambat seperti kulit yang bernapas,
lorong-lorong yang terlalu gelap untuk ukuran kapal militer.
Setiap insting prajuritnya berteriak: jebakan.
Tapi mereka sudah tidak punya tempat lain.
Parthenon hancur.
Delta 4 mungkin sudah hilang.
Rongsokan perang bertebaran.
Mereka tidak memiliki tempat.
“Kita sudah masuk The Void sekali,” kata Julia akhirnya, suaranya datar—
nada yang ia pakai saat memberikan briefing misi bunuh diri.
“Kalau ada tempat yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan kita, itu di sini.”
Mereka melangkah masuk.
Ramp menutup di belakang mereka dengan bunyi hiss pelan—
seperti segel peti mati yang dikunci dari luar.
Delphie menoleh sekali. Cahaya Parthenon terakhir tertelan gelap.
Tidak ada jalan pulang.
18:33 — ⧗⟁⧗ — Yang Sukarela dengan Tafsir Sendiri
Di Delta 4, kabut ritual menyingkap pintu bercahaya ungu
yang berdenyut seperti nadi arteri.
Gwaneum berdiri di hadapannya,
kaki telanjang di atas batu altar yang masih basah oleh darah kurban kemarin.
Tangannya gemetar saat menyentuh lambung kapal—
logam dingin, tapi ada getaran di bawahnya.
Seperti jantung yang terkubur hidup.
“Tubuh baja ini adalah stupa,” bisiknya, mata terpejam.
“Di dalamnya, kekosongan menunggu diisi makna.”
Dari dalam kapal, suara Julia bergema sinis:
“Kau sadar ini kapal perang, bukan altar?”
Gwaneum tersenyum samar—
senyum seseorang yang sudah lama berhenti peduli pada perbedaan keduanya.
“Semua mesin adalah doa, kalau kau tahu cara mendengarnya.”
Ia melangkah masuk, meninggalkan jejak kaki berdarah di lantai logam.
Sukarela—tapi dengan delusi yang lebih berbahaya dari paksaan:
ia percaya pengorbanannya punya makna.
Delphie bergidik. Julia memegang bahunya.
18:37 — ⧉✶⧉ — Yang Terpaksa
Di aula besar New Mercury,
lonceng perunggu Didymoi bergema untuk keseribu kalinya hari ini.
Ribuan panji berkibar, cahaya lilin memantul
di dinding marmer yang diukir silsilah keluarga—
nama-nama yang sudah menjadi hantu,
termasuk nama adik kembarnya.
Agnia berdiri tegak di atas altar kebangsaan,
mahkota di kepalanya berkilau seperti api yang dipaksa menyala.
Ritual ini seharusnya menjadi pengukuhan kembali kekuasaan Didymoi.
Semua mata tertuju padanya.
Semua suara melantunkan doa kesetiaan.
Ketika doa mencapai puncak, udara retak.
Sebuah pintu hitam muncul di antara panji-panji,
berdenyut seperti jantung asing.
Tatapan bangsawan di sekelilingnya berubah—
kesetiaan menjadi kelegaan.
“Untuk garis keturunan,” bisik seorang pengawal,
lalu mendorongnya keras ke arah pintu.
Agnia sempat menoleh—melihat tahtanya berdiri kosong,
mahkota cadangan sudah disiapkan di atas bantal merah untuk pewaris berikutnya.
Baru saat itu ia sadar: takhta itu tidak pernah miliknya.
Ia hanya boneka—pion yang dikorbankan agar kerajaan
bisa terus berdiri di atas mayat bangsawannya sendiri.
Dan pintu menelannya.
Cahaya padam.
Udara berubah—logam, napas mesin.
Tiga sosok menatapnya dari bayang:
Julia, Delphie, Gwaneum.
“Jadi ini… tempatmu?” suaranya datar,
tapi dagunya tetap terangkat.
Julia balik menatap tanpa senyum.
“Selamat datang di kapal yang tidak memilih penumpangnya.”
Gwaneum berbisik, “Setiap kerajaan berakhir di tempat seperti ini.”
Delphie menunduk, menatap Agnia seperti menatap bintang jatuh—
indah, tapi tak berguna.
Agnia menghela napas panjang.
“Kalau begitu,” katanya, “aku tidak akan berlutut di sini juga.”
18:39 — 𐓷⧖𐓣 — Yang Diseret
Di ruang hampa sektor tanpa nama, pintu itu berdiri sendirian—
tanpa lantai, tanpa dinding, tanpa bintang.
Hanya mulut besi yang menganga di tengah kegelapan absolut.
NiuNiu melayang diam di hadapannya,
nanosuit mati setelah hyperjump terakhir.
Pisau Andamante berputar di jarinya—satu-satunya benda yang masih ia kendalikan.
“Aku tidak ikut,” gumamnya datar pada kekosongan.
Kalimat itu bukan sekadar keputusan—
itu adalah prinsip.
Garis yang tidak pernah ia biarkan siapa pun lewati.
Bahkan The Void.
Tapi pintu itu berdenyut.
Sekilas, seperti napas.
Seolah ruang hampa sendiri sedang menghela
dan mengembuskan udara yang tidak ada.
Jantung NiuNiu ikut berdegup—meski ia benci mengakuinya.
Pisau terlepas dari jemarinya—mengambang perlahan menuju pintu,
seakan gravitasi baru lahir hanya untuk merebutnya.
Tubuh NiuNiu mulai tertarik—bukan oleh tangan,
bukan oleh rantai, tapi oleh tarikan asing yang merambat dari tulang ke nadi.
Seperti benang tak terlihat yang sejak lama dijahit ke sumsum tulangnya—
dan kini ada yang menarik dari ujung sebaliknya.
The Void… kau akhirnya menyentuhku langsung.
Ia mencoba melawan—thruster darurat dinyalakan.
Tapi kakinya tidak lagi menuruti perintah.
Atau lebih tepatnya: perintah baru mengalahkan kehendaknya.
Matanya menatap pintu itu lama sekali—tatapan dingin seperti es,
tapi di baliknya ada sesuatu yang jarang muncul dalam dirinya: ketakutan murni.
Bukan takut mati—tapi takut kehilangan kendali atas diri sendiri.
“Aku tidak memilih ini,” bisiknya dalam kepala—kata-kata terakhir yang sepenuhnya miliknya.
Lalu tubuh kecilnya diseret masuk.
Seperti boneka ditarik ke dalam kotak mainan yang sudah lama menunggunya.
Cahaya pintu menyala terang.
Udara di kabin berubah—lebih berat, lebih tajam.
Julia menyipit kesal. “Setan kecil.”
Gwaneum mengangguk pelan. “Yang tak bisa diperintah—kini diperintah oleh kehampaan.”
Agnia menatap datar.
“Dewi kedua,” katanya singkat. “Apa artinya dewi pertama akan hadir?”
Delphie tidak bicara.
Ia hanya menatap sosok mungil itu lama—terlalu lama.
Ada sesuatu di matanya: bukan takut,
tapi rasa ingin tahu yang bergetar di dada,
seperti seseorang baru saja melihat bintang jatuh dan berharap itu jatuh sedikit lebih dekat.
NiuNiu menoleh perlahan.
Tatapannya datar, tapi cukup untuk membuat waktu berhenti sepersekian detik.
Teks hologram muncul:
“Kalian semua bicara terlalu banyak.”
Teks itu seperti pisau yang menyayat udara.
Delphie justru tersenyum kecil—hampir tak terlihat.
Hanya Julia yang sempat menangkapnya,
dan itu membuatnya sangat khawatir.
18:43 — 🌊⌇🌒 — Sang Ular
Ramp hampir menutup ketika Sevraya muncul—
seolah ia sudah bersama mereka sejak awal.
Tanpa suara.
Tanpa cahaya.
“Dewi pertama pasti hadir, Agnia!” katanya sambil mengedip nakal.
Ia tersenyum tipis. Wajahnya tetap cantik dengan cara yang salah—
seperti lukisan yang terlalu sempurna, hingga otak manusia tahu ada yang tidak wajar,
tapi tidak mampu menunjuk bagian mana.
“Aku hanya penasaran,” katanya ringan, suaranya seperti madu dicampur arsenik.
“Setiap Eden butuh ular untuk mengingatkan bahwa buah tidak pernah gratis.”
Julia langsung berputar, tangan reflek meraih pedang pendek.
“Dari mana kau—”
Pertanyaan itu mati begitu ia berkedip.
Sevraya sudah berpindah—berdiri di samping Delphie,
jemarinya menyentuh pundak anak itu dengan kelembutan yang membuat Julia ingin muntah.
“Kau yang mengatur ini?” Julia menggeram.
Sevraya terkikik—bunyi kecil yang terdengar seperti gelas retak.
“Aku tidak mengatur. Aku hanya memfasilitasi. Seperti biasa.”
Namun ada sesuatu di matanya—
kepastian yang terlalu dalam,
seperti ia sudah membaca akhir cerita sebelum halaman pertama dibuka.
Di antara mereka semua, dialah yang paling tidak punya pilihan.
Bukan karena dipaksa, bukan karena sukarela—
tapi karena ia sudah ditulis ke dalam segel sejak awal.
Proyeksi yang terikat.
Naskah yang dikira narator.
18:45 — Sentuhan Pertama
Ramp menutup.
Hiss pendek.
Final.
Seperti peti mati yang disemen dari dalam.
Kokpit Dorian Grey mengecil.
Atau terasa mengecil.
Enam perempuan berdiri jauh satu sama lain—
seperti enam kutub sama yang dipaksa masuk satu kotak.
Tidak ada yang mau berbagi ruang.
Delphie melihatnya duluan.
Kotak logam hitam.
Muncul di tengah ruangan.
Pintunya terbuka.
Artefak The Void.
“Bu…” bisiknya.
Tapi tubuhnya sudah bergerak.
Seolah ada tangan lembut memanggilnya pulang.
Bukan rasa penasaran.
Lebih seperti… pengakuan.
Julia menyambar lengannya.
“Jangan—”
Terlambat.
Jemari Delphie menyentuh kotak itu.
Logamnya hangat.
Seharusnya dingin—
besi di ruang hampa selalu dingin.
Tapi ini…
kulit hidup.
Berdenyut pelan di bawah telapak tangan.
“Bu… ini—”
Denyut berubah.
Pelan → cepat.
Teratur → lapar.
Seperti jantung yang sadar dirinya sedang disentuh.
Artefak mengenali mereka sebagai formasi lengkap:
⟁⟔⟟
🌊⌇🌒
⧗⟁⧗
✧⟡✧
⧉✶⧉
𐓷⧖𐓣
Suara Dorian/Pippa memercik dari speaker.
Pecah.
Basah.
Seperti rekaman yang diputar dari dasar kolam.
“Aku mencoba memperingatkan kalian.
Satu menit sebelum Timer 16:66 aku berusaha memisahkan diriku dari Pippa.
Dan aku gagal.
Artefak ini tidak mencari tuan.
Artefak ini mencari kandang.”
Julia mengacungkan pedang pendeknya ke speaker.
“Maksudmu apa?”
Tawa meledak.
Tawa yang bukan milik Pippa.
Bukan milik Dorian.
Sesuatu di antara keduanya—
sesuatu yang menikmati batas yang retak.
“Selamat datang,” katanya,
“di penjara yang kalian bangun sendiri.”
Hening.
Lalu:
“Kalian…
adalah batu batanya.”
Kotak itu retak.
Cahaya merah bocor keluar—
pekat, berat,
seperti darah yang terlalu kental untuk mengalir.
18:49 — Konfrontasi 6 Sigil
Tak ada pidato.
Tak ada heroisme.
Hanya hening—
keras,
tajam,
seperti tulang patah di dalam dada.
Julia menurunkan pedangnya.
Bukan menyerah.
Lebih buruk:
ia sadar pedang itu tak punya sasaran.
Tak ada tubuh.
Tak ada musuh.
Hanya ruang yang menertawakan logika.
Agnia membeku.
Mahkota tak kasatmata menekan keningnya.
Napasnya pendek.
Cepat.
Seperti binatang yang tahu:
jalan keluar sudah ditutup dari awal.
Gwaneum di sudut ruangan.
Mata terpejam.
Bibir bergetar.
Ia melafalkan sesuatu—
bukan doa,
bukan bahasa,
hanya kebiasaan makhluk yang tahu ajalnya sedang dihitung.
NiuNiu menghantamkan pisaunya ke meja kontrol.
Logam beradu.
Percikan kecil.
Ritual konyol.
Tangan sibuk—
agar tak berbalik
mencengkeram leher sendiri.
Sevraya duduk di kursi kapten.
Santai.
Kurang ajar.
Seolah ini bukan penghakiman,
hanya jeda merokok.
Ia menyalakan rokok—
tanpa korek,
tanpa izin realitas.
Asap ungu keluar dari mulutnya.
Membentuk pola yang salah.
Geometri yang membuat mata ingin menolak,
tapi tak bisa.
“Lucu,” katanya.
Suaranya tipis,
namun menusuk.
Matanya menyapu mereka satu per satu.
Bukan menghitung.
Menilai.
“Kalian kira Zero-Node itu tujuan.
Kalian kira Zero-Node itu tempat.”
Julia maju selangkah.
Langkah kecil.
Efeknya brutal.
Ruangan menegang seperti urat yang akan putus.
“Kau tahu sesuatu.”
Bukan pertanyaan.
Vonis.
Sevraya tersenyum.
Senyum tanpa empati.
Tanpa akhir.
“Aku cuma tahu satu hal,” katanya.
“Void itu doyan ironi.”
Hening jatuh.
Berat.
Menghimpit paru-paru.
“Kalian bukan datang untuk sampai.”
Ia mengangkat rokoknya.
Menghembuskan asap—
lingkaran yang langsung pecah.
“Kalian sudah terlanjur berada.”
“Selamat datang di Zero-Node.”
Pisau meluncur.
NiuNiu.
Sekejap.
Presisi mutlak.
Bilah berhenti satu milimeter dari leher Sevraya.
Ancaman murni.
Tanpa drama.
Sevraya tak bergerak.
Tak berkedip.
“NiuNiuku sayang,” katanya lembut.
“Nggak usah capek-capek.”
Ia mencondongkan badan sedikit.
Sengaja mendekat ke kematian.
“Sekarang waktunya semua orang tahu.”
Agnia melangkah maju.
Suaranya pecah—
antara amarah dan pengkhianatan.
“Kalian berdua sumber semua ini.
Ini jebakan sakit—
jebakan cinta busuk kalian?”
Gwaneum membuka mata.
“Salah.”
Satu kata.
Kosong.
Final.
“Ini kurban.”
Delphie mundur, menabrak dada Julia.
Tubuh kecilnya gemetar.
“Ibu… aku takut.”
Julia membuka mulut.
Menyiapkan kebohongan paling tua di dunia.
Semua akan baik-baik saja.
Tapi kalimat itu mati di tenggorokan.
Karena bahkan prajurit sekeras dia
punya satu kelemahan fatal:
ia tak pernah belajar
cara berbohong
di hadapan kiamat.
18:53 — Void Lock
18:53 — Void Lock
Lantai logam bergetar—
bukan gempa,
tapi kunyahan.
Seperti rahang besi
menggiling tulang
yang belum mati.
Artefak The Void meraung.
Bukan cahaya.
Bukan suara.
Tapi luka.
Luka yang dipaksa terbuka.
Disobek.
Ditinggal menganga.
Merah tua.
Pekat.
Darah yang muak
menjadi darah.
Dari pusat kokpit,
hitam meledak
menjadi enam paku.
Mereka tidak mencari daging.
Tidak tertarik tulang.
Mereka menusuk bayangan.
Dan saat paku itu menancap—
realitas kehilangan pegangan.
Ilusi runtuh.
Bukan jatuh.
Dihancurkan.
Satu per satu.
Julia & Delphie — Ilusi Heroik
Pedang pendek Julia
masih di tangannya.
Simbol prajurit.
Simbol pengorbanan.
Simbol cerita lama
yang sudah busuk.
Delphie menggenggam tangan ibunya.
Percaya.
Percaya pada keberanian.
Percaya pada dongeng
yang diulang-ulang
agar ketakutan mau diam.
Lalu bayangan mereka berdiri.
Terpisah.
Dari tubuh.
Hitam.
Padat.
Tanpa wajah.
Tanpa mata.
Tanpa sisa harapan.
Pedang Julia di tangan bayangan
melunak.
Membengkok.
Melingkar.
Bukan senjata.
Rantai.
Bilah berputar
dan menggigit
pergelangan tangannya sendiri.
Menarik.
Menekan.
Menenggelamkan.
Berat—
seperti vonis
yang sudah ditandatangani
sebelum ia lahir.
Tulisan mencakar dinding kokpit,
kasar,
panik,
seperti hewan terkurung
yang sadar takkan keluar:
HIMLER BUKAN TARGET.
KALIAN BUKAN PAHLAWAN.
KALIAN PENJARA.
“Bu…”
Delphie mundur.
Napasnya pecah.
“Pedangnya… kenapa—”
“Bukan pedang,”
Julia berbisik.
“Itu rantai.
Kita bukan yang membuka.
Kita
yang dikunci.”
Darah menetes dari telapak Delphie.
Bukan luka.
Darah itu bergerak.
Merayap.
Menyusun garis.
Menggambar segel.
Segel yang menunggu
enam kesadaran
untuk disegel permanen.
Julia menarik napas.
Dari dadanya,
suara rantai beradu.
Dan akhirnya ia paham:
Mereka tidak masuk perangkap.
Mereka
adalah mekanismenya.
Gwaneum — Ilusi Penebusan
Ia merapal mantra.
Mudra rapi.
Seperti janji.
Ia pikir ini altar.
Ia pikir ini penebusan.
Bayangannya tertawa
tanpa suara.
Lalu—
KRAK.
Mudra dipatahkan
dengan bunyi tulang kering patah.
Delphie menutup telinga.
Bayangan itu
menutup mulut Gwaneum
dari dalam.
Doa dicekik.
Tinta hitam menyembur
dari bibirnya,
menjadi kalimat di udara:
TIDAK ADA ABSOLUSI.
Stupa di pikirannya
runtuh jadi jeruji.
Altar berubah
jadi papan eksekusi.
Ia tidak menebus apa pun.
Ia hanya
menumpuk bata
di penjara kosmik
yang sama.
Mantra mati
jadi batuk.
“Jadi…
bahkan doa…
dipenjara.”
Agnia — Ilusi Warisan Didymoi
Mahkota tipis di keningnya
retak.
Klik kecil—
lebih hina
dari jeritan.
Bayangannya berdiri telanjang.
Tanpa jubah.
Tanpa insignia.
Tanpa lambang.
Tak ada darah biru.
Tak ada silsilah.
Hanya tubuh.
Hanya daging.
Hanya nama
yang menempel
seperti debu basi.
“Didymoi…”
suara Agnia parau.
“Tak pernah lebih
dari rantai emas.”
Ia melihat tahtanya.
Bukan di New Mercury.
Di sini.
Di Dorian Grey.
Dan tahta itu kosong.
Bukan karena ia pergi.
Karena
tahta itu
tidak pernah ada.
Kekuasaan hanyalah ilusi
yang dipakai,
lalu dibuang
oleh tangan tak terlihat.
NiuNiu — Ilusi Kebebasan Mutlak
Pisau Andamante terlepas.
Jatuh.
Retak.
Bukan logamnya.
Bayangannya.
Bayangan NiuNiu mengambil pisau itu
dan tersenyum.
Senyum yang tubuh aslinya
tak pernah bisa buat.
Satu per satu,
pintu kemungkinan tertutup:
Klik. Delta 4 mati.
Klik. New Mercury mati.
Klik. Ruang hampa mati.
Tersisa satu kotak hitam.
Tanpa jendela.
Tanpa arah.
Tanpa keluar.
“Aku—”
Napasnya pecah.
Untuk pertama kalinya,
panik.
“…kucingnya Schrödinger.”
Bukan yang memilih hidup atau mati.
Bukan yang bebas.
Kucingnya
adalah korban.
Terkunci.
Diam.
Diamati.
Bayangan itu
menusuk dirinya sendiri.
Darah keluar
dari tubuh asli—
meski bilah
tak pernah menyentuh.
Delphie — Ilusi Kepolosan
Ia pikir ia polos.
Ia pikir ia terbawa arus.
Bayangannya mendekat
dan berbisik:
KAU TAHU SEJAK AWAL.
Gambar membanjir.
Delta 4.
Chip NiuNiu di tangannya.
Ia tahu itu pelacak.
Ia menyimpannya.
KAU MEMILIH.
Artefak butuh tiga orang.
Ia bisa menolak.
Ia tidak.
Karena ia ingin penting.
Karena ia ingin dilihat.
Karena ia ingin ada
di pusat cerita.
“Aku… aku tidak—”
Bayangan memotong:
KAU KAPTEN KOSONG.
Air mata turun.
Bukan air mata anak kecil.
Tapi air mata seseorang
yang baru saja
kehilangan hak
untuk tidak tahu.
Sevraya — Ilusi Pengendali Narasi
Ia selalu pikir
ia narator.
Pengamat.
Penulis.
Void tertawa.
Matanya terbalik:
Kiri hitam–putih.
Kanan tetap normal.
Asap keluar dari bibirnya.
Huruf-huruf jatuh:
A. Z. Ω.
Kulitnya retak.
Bukan darah—
kalimat.
YOU ARE NOT THE AUTHOR.
YOU ARE THE MANUSCRIPT.
Suaranya pecah
jadi banyak suara.
“Aku bukan penulis…
aku naskah.
Aku bukan ular di Eden…
aku Eden itu sendiri.”
Julia mundur.
Takut.
“Void…
menulismu sejak awal.”
Sevraya tersenyum tipis.
Satu mata menangis air.
Satu mata menangis tinta.
“Dan pena,” katanya pelan,
“tidak pernah memilih.”
18:56 — KONVERGENSI — Satu Penjara
Bayangan mereka melebur.
Seperti lilin panas.
Seperti retak-retak yang dipaksa bersatu.
Pedang Julia.
Tangan Delphie.
Mudra Gwaneum.
Mahkota Agnia.
Pisau NiuNiu.
Huruf-huruf Sevraya.
Mereka menyatu jadi satu tubuh raksasa.
Mosaik retak yang bernapas.
Void berbicara
melalui tubuh itu:
ILUSI KALIAN RUNTUH.
TIDAK ADA HIMLER.
TIDAK ADA ABSOLUSI.
TIDAK ADA TAHTA.
TIDAK ADA KEBEBASAN.
TIDAK ADA KEPOLOSAN.
TIDAK ADA NARATOR.
HANYA SEGEL.
DAN KALIAN—
KUNCINYA.
Hening.
Hening yang berat.
Hening yang punya massa.
Enam dari mereka terduduk.
Menatap bayangan raksasa buatan diri sendiri.
Mereka bukan dibebaskan.
Bukan dipilih.
Bukan ditinggikan.
Mereka dikurung.
Dan mereka sendiri—
dengan sukarela, paksaan, delusi, kelelahan—
adalah kunci
yang mengunci diri mereka sendiri.
Akhir dari Bab 13.
Bla bla bla
